“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luluh
“Neng, maafkan Aa ya. Karena selama ini sering mengabaikanmu.”
“Nggak apa-apa Aa. Neng mengerti kok, ini demi Meisya.”
Zayn tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia semakin tersiksa dengan ketulusan Zara dalam merawat Meisya.
“Jangan turun dulu, Neng!” cegah Zayn, saat mereka telah sampai di depan stadion. Tempat Zara akan bertanding.
Zayn sadar benar dengan sikap Meisya akhir-akhir ini. Dia tak bisa lagi menutupi perasaannya terhadap dirinya. Sebuah pengharapan yang berlebihan. Ya...Meisya menyukainya, bukan sebagai kakak namun sebagai seorang kekasih.
Bila Meisya tidak sakit, Dia akan dengan tegas menolaknya. Tapi sekarang berbeda. Meisya benar-benar membutuhkan perhatian dan juga kasih sayang dari dirinya.
Apalagi akhir-akhir ini Khadijah juga mendesaknya untuk sesuatu hal serius yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya.
“Kak, tolonglah Meisya. Kalau tidak, kakak akan menyesal seumur hidup kakak.”
“Maksudmu apa, Dik?”
“Kenapa Kakak tak sadar-sadar juga. Dia menginginkanmu, Kak.”
Bukannya Zayn tak tahu. Tapi Zayn tak bisa. Tak bisa menyakiti Zara.
Zayn hanya bisa menangis sendiri, dengan ketidakberdayaannya menghadapi masalah ini.
Dia juga merasa bersalah, bahwa dia turut andil dari parahnya penyakit Meisya. Dengan mengabaikan perasaan Meisya selama ini.
Namun apakah cara ini yang harus dia tempuh, untuk mengurangi rasa bersalahnya.
Dia ingin menangis.
Ingin sekali Zayn mengungkapkan persoalannya kepada Zara. Tapi tak mungkin. Pikiran Zayn benar-benar buntu. Dan tak mampu lagi mencari jalan keluar. Dia membutuhkan orang yang bisa membuat dirinya tenang.
“Ada apa, Aa Gus?” tanya Zara.
Zayn tidak menjawabnya, tetapi dia langsung memeluk Zara dengan sangat erat.
“Peluk aku, Neng?”
Zara yang tak tahu maksud Zayn sebenarnya, segera membalas pelukannya. Dia merasakan tubuh Zayn bergetar hebat. Bukan karena hasrat, melainkan karena jiwanya yang gelisah.
“Aa Gus,” panggilnya.
Zayn seperti tak mendengar. Bahkan kini Zayn mencium bibirnya dengan rakus.
“Balas aku, Neng.”
Zara menurutinya, membalas ciuman Zayn sejauh yang ia bisa. Mereka dalam keadaan seperti itu untuk beberapa saat. Sampai tubuh Zayn agak tenang.
“Terima kasih Neng,” kata Zayn sesaat kemudian dengan bibir menyungging sebuah senyuman.
Meskipun hatinya masih diliputi kesedihan, tapi kini dia sudah bisa lebih tenang.
“Aa Gus bisa saja,” jawab Zara dengan tersipu malu.
“Selamat bertanding ya. Semoga sukses.”
“Doakan juara satu, Aa Gus.”
“Pasti. Semoga Neng juara satu.”
Aamiin.
“Mungkin nanti Aa tak bisa menjemput Neng. Tapi Aa akan pesankan go-car untuk menjemputmu.”
“Terima kasih, Aa Gus.”
Setelah bersalaman, Zara pun segera keluar dari mobil.
“Assalamualaikum, Aa Gus.”
‘Waalaikumsalam, Neng .”
Zara segera berlari meninggalkan Zayn. Dia bergegas ke dalam stadion untuk bersiap-siap menghadapi pertandingan yang sebentar lagi akan dimulai.
Zayn hanya memperhatikan saja dari dalam mobil. Sengaja dia tidak turun, karena dia harus segera pergi. Sudah waktunya untuk inspeksi rutin di restorannya. Sebelum kembali lagi ke rumah sakit, menjenguk Meisya.
Pertandingan berlangsung sangat ketat. Perlu perjuangan keras untuk sampai di final.
Di final, pertandingan makin menegangkan. Dan alhamdulillah, Zara bisa melewatinya dengan baik. Sehingga memperoleh juara.
Dia sangat bersyukur dan bangga. Usahanya selama ini membuahkan hasil yang baik di tengah tantangan-tantangan yang harus dihadapinya. Baik tantangan dari Umi Shofia ataupun harus menemani Meisya di rumah sakit.
Dia sangat gembira dan ingin secepatnya menunjukkan mendali yang diperolehnya kepada Zayn.
Setelah berfoto dengan timnya dan berselfie ria, Zara segera meninggalkan tempat pertandingan. Dia tak mau menunggu teman-temannya yang akan merayakan kemenangan mereka.
“Bu nyai, kenapa sih buru-buru,” tanya mereka.
“Saudaraku di rumah sakit,” jawab Zara.
“Yaaaa... Nggak seru dong, nggak ada bu nyai.”
Bukannya menjawab, Zara justru kabur meninggalkan mereka.
“Pergi dulu ya. Assalamualaikum,” ucap Zara.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka dengan cemberut. Rasanya kurang seru kalau anggotanya tak lengkap. Tapi bagaimana lagi, mereka juga menyadari kalau Zara saat ini tidak bisa diganggu.
“Sudah yuk, kita lanjutkan acaranya.”
Sementara itu Zara yang menunggu di depan stadion terlihat agak kesal. Karena beberapa kali ia menghubungi Aa Gus, namun teleponnya tidak juga diangkat.
“Sedang apa sih, Aa Gus. Apa sedang sibuk banget ya.”
Zara mencoba untuk husnudzon, daripada menggerutu yang tidak perlu. Dia pun memesan go-car sendiri.
Tak lama kemudian, go-car yang dia pesan datang.
“Mbak Zara.”
“Benar.”
Sopir itu pun membuka pintu mobilnya.
“Ke rumah sakit, pak.”
“Ya, Mbak.”
Tak perlu waktu lama mereka pun telah tiba di rumah sakit.
🌺
Sementara itu di rumah sakit, Umi Sofia sedang asyik menonton pertandingan tenis di televisi yang ada di depan ruangan Meisya dirawat. Sesekali dia berteriak memberi semangat.
“Ayo Zara,” teriaknya sambil sesekali bertepuk tangan.
“Horrr...re.” Hampir saja dia melompat dan berteriak keras, saat Zara memenangkan pertandingan dan memperoleh juara 1. Dia lupa kalau saat ini berada di tempat umum.
Umi Shofia segera kembali ke kamar Meisya. Dia ingin mengabarkan kepada Zayn dengan keberhasilan Zara.
Namun langkahnya harus terhenti, ketika melihat putra-putrinya tampak sedang bicara serius.
“Keadaan Meisya hari ini sangat tidak baik, Kak.” kata Khadijah.
“Jangan kau salahkan Kakak terus. Kakak sudah berusaha. Mungkin ini sudah dikehendaki oleh yang maha kuasa.
Kakak tidak bisa berbuat apa-apa. Kakak tidak tahu harus bagaimana lagi agar Meisya bisa lebih baik, Dik?” jawab Zayn.
“Apakah Kakak tidak bisa memberikan kebahagiaan kepada Meisya di akhir hidupnya.” Khadijah terus saja membujuk Zayn agar menikahi Meisya. sahabat, saudara dan temannya semenjak kecil.
Zayn tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya berontak, tapi melihat Meisya yang tanpa daya berjuang melawan penyakitnya membuat dirinya dalam dilema.
“Zayn, aku tahu ini berat. Tapi Umi rasa Khadijah benar. Tak ada salahnya kamu mengalah sedikit untuk Meisya,” Umi Shofia menimpali.
“Bagaimana dengan Zara, apakah kalian memikirkan perasaannya?” tanya Zayn yang membuat semuanya terdiam.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Umi Shofia mundur teratur. Dia tak ingin membahasnya. Meskipun dalam hatinya dia ingin meluluskan permintaan Khadijah.
Baik Khadijah dan dirinya tahu bahwa Meisya telah lama menaruh hati pada Zayn. Tapi sudahlah, Itu sudah berlalu.
Sekarang baginya tidak ada beda antara Meisya maupun Zara. Dua-duanya sudah dianggap sebagai putrinya.
Lain dengan Khadijah, dia masih berharap dengan sangat bahwa Zayn meluluskan permintaannya. Dia tak mau sahabatnya yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri itu merana di ujung hidupnya.
Setelah berpikir lama, akhirnya Zayn pun luluh.
“Baiklah.”
Khadijah terharu. Dia ingin mengucapkan terima kasih, tapi Zayn segera mengangkat tangannya seakan berkata, “Itu tidak perlu.”
Apakah ini benar atau salah. Biarlah beban ini dia tanggung sendiri.
Dengan gontai, dia duduk di samping ranjang Meisya. Hati seakan teriris melihat wajah Meisya yang memucat dan kurus.
Zayn menyentuh wajahnya dengan lembut....
sejatinya mencinta dalam diam itu lebih baik apalagi yang kau cintai telah dimiliki oleh orang lain berarti memang bukan jodoh
jika masih tetap memaksa sungguh dirimu smakin terluka
cinta yang sesungguhnya akan bahagia dengan kebahagiaan orang yang kita cintai meski akhirnya bukan kamu yang disisinya
ikhlaslah dengan takdir
cinta itu suci murni jangan dinodai dengan keegoisan memanfaatkan kesempatan
tapi begitu alurnya.
mohon bersabar ya...🙏🙏
ak black list cerita author klo kyk gini.
mending zara g setor amalan baca surat yg akhirnya di poligami.
by lah ga suka ceritanya
palagi yg berhubungan dgn pesantren. trs byk yg poligami apapun alasan nya.
entah itu kyai ustad ulama pling g suka klo mrka pny istri lbh dari 1