Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penantian Yang mendewasakan
"Dalam penantian, bukan hanya waktu yang berjalan. Tapi hati yang ditempa, diuji, hingga akhirnya menemukan makna sejati dari keikhlasan."
---
Kabar yang Menggetarkan Hati
Sudah lebih dari dua tahun sejak Arpa dan Fathir memulai perjalanan penantian ini. Hari-hari berlalu dalam keteguhan dan kesabaran. Mereka telah melewati berbagai ujian, mempertanyakan banyak hal, namun satu yang tak pernah goyah adalah keyakinan mereka bahwa Allah selalu mengatur segalanya dengan cara yang terbaik.
Pagi itu, Arpa duduk di meja belajar di kamarnya. Di sampingnya, secangkir teh hangat mengepul, mengisi udara dengan aroma jahe yang lembut. Ia membuka jurnalnya dan mulai menulis, kebiasaan yang telah ia lakukan sejak pertama kali Fathir pergi ke Timur Tengah.
"Hari ini aku merasa lebih tenang dari biasanya. Mungkin karena aku mulai terbiasa dengan ritme penantian ini. Aku tidak lagi menghitung hari atau mengkhawatirkan masa depan terlalu jauh. Aku hanya ingin menjalani hari ini dengan baik, tanpa terbebani oleh kecemasan."
Namun, sebelum ia sempat melanjutkan tulisannya, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah notifikasi pesan suara masuk dari Fathir.
Hatinya berdebar. Sudah beberapa hari mereka tak saling berkirim pesan. Dengan tangan sedikit gemetar, ia memasang earphone dan memutar pesan suara itu.
Suara Fathir terdengar jelas, hangat seperti biasa.
Fathir: “Assalamualaikum, Arpa.”
Arpa tersenyum tipis. Waalaikumsalam, Fath.
Fathir: “Hari ini aku ada kabar baik. Alhamdulillah, aku sudah menyelesaikan semua studi dan ujian akhirku. InsyaAllah, dalam beberapa bulan ke depan aku akan kembali ke Indonesia.”
Jantung Arpa seakan berhenti berdetak sejenak.
Tangannya spontan menutup mulut, matanya membesar, dan detik berikutnya dadanya dipenuhi gelombang emosi yang sulit diungkapkan. Ini adalah momen yang selama ini ia nantikan—momen yang selama dua tahun terakhir terasa begitu jauh, begitu abstrak, tiba-tiba kini menjadi nyata.
Fathir melanjutkan pesannya, suaranya terdengar sedikit bergetar, seolah ia sendiri masih berusaha memahami apa yang ia katakan.
Fathir: “Aku nggak tahu bagaimana harus mengungkapkan perasaanku sekarang. Antara lega, bahagia, tapi juga ada sedikit rasa takut. Setelah semua ini, aku ingin memastikan bahwa kita masih berada dalam jalan yang Allah ridhoi. Aku nggak mau terburu-buru, Arpa. Aku ingin melangkah dengan cara yang benar.”
Arpa menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Ia meraih ponselnya dengan tangan sedikit gemetar, lalu menekan tombol rekam untuk membalas.
Arpa: “Waalaikumsalam, Fath…” suaranya lirih, bergetar oleh emosi yang menumpuk. Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan.
"Alhamdulillah… Aku nggak bisa berkata-kata. Aku ikut bahagia mendengar kabar ini. Dan aku juga sepakat. Jika Allah sudah mengatur pertemuan ini, maka aku ingin kita menjalani semuanya dengan penuh keberkahan.”
Ia menekan tombol kirim, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Tangannya terangkat ke dadanya, merasakan detak jantungnya yang masih berdetak cepat.
Ia menatap ke luar jendela, melihat langit yang cerah dengan awan putih yang berarak pelan.
"Ya Allah, setelah sekian lama, Engkau mendekatkan jarak kami. Tapi aku tahu, ujian belum selesai. Bantu aku tetap menjaga hati ini dalam jalan-Mu."
---
Perasaan yang Tak Biasa
Setelah mendengar kabar itu, perasaan Arpa tak lagi sama. Ada kebahagiaan yang meluap, tapi juga ada kegelisahan yang samar.
Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Banyak hal bisa berubah dalam waktu selama itu.
"Apakah dia masih Fathir yang dulu? Apakah aku masih Arpa yang dulu? Apakah kami masih memiliki pemahaman yang sama tentang masa depan?"
Ia menggeleng pelan.
"Arpa, kamu sudah melewati ini dengan kesabaran. Jangan biarkan keraguan merusak apa yang telah kamu bangun selama ini."
Namun, meski ia mencoba menenangkan hatinya, tetap ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
Apakah setelah ini segalanya akan berjalan lancar?
---
Godaan yang Mengusik Hati
Beberapa hari setelah menerima pesan Fathir, Arpa diundang dalam sebuah acara keluarga besar di rumah salah satu kerabatnya. Ia datang dengan hati ringan, mengira acara ini hanya sekadar kumpul biasa. Namun, ia tidak menyangka bahwa pertemuan ini akan mengguncang keyakinannya.
Di antara para tamu, ada seorang pria yang mencuri perhatian banyak orang—Daffa, sepupu jauhnya.
Daffa adalah pria yang sopan, berwawasan luas, dan memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Ia baru saja menyelesaikan studinya di luar negeri dan kembali ke Indonesia untuk membangun kariernya. Banyak anggota keluarga yang memujinya—bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi juga karena akhlaknya yang santun.
Sejak awal acara, Daffa beberapa kali menunjukkan perhatian kepada Arpa. Awalnya, Arpa menganggapnya sebagai basa-basi biasa. Namun, semakin lama, ia mulai menyadari bahwa Daffa memiliki maksud yang lebih dari sekadar percakapan ringan.
---
Percakapan yang Menggetarkan Hati
Setelah acara makan malam selesai, Daffa mendekati Arpa yang tengah duduk di taman belakang rumah. Langit malam bertabur bintang, angin berhembus pelan, membawa aroma khas tanah yang baru saja disiram.
“Arpa,” panggil Daffa pelan.
Arpa menoleh dan tersenyum sopan. “Iya, Daffa?”
Daffa duduk di kursi di hadapannya. Ada ketegasan dalam tatapannya, seolah ia telah memikirkan sesuatu dengan matang.
“Aku dengar dari Bibi Aisyah kalau kamu aktif di dakwah kampus. Itu mengagumkan. Jarang ada perempuan yang bisa mempertahankan prinsipnya di zaman sekarang,” katanya sambil tersenyum.
Arpa mengangguk sopan. “Alhamdulillah, aku hanya berusaha melakukan yang terbaik.”
Daffa tampak ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Kalau boleh tahu, apa setelah lulus nanti kamu punya rencana untuk menikah?”
Jantung Arpa berdegup kencang. Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi. Ia bisa merasakan bahwa Daffa tidak sedang berbicara secara umum—ia sedang berbicara tentang dirinya sendiri.
Arpa menarik napas pelan sebelum menjawab, “Saat ini aku masih dalam proses penantian, Daffa.”
Daffa mengernyit. “Penantian?”
Arpa tersenyum tipis. “Iya. Ada seseorang yang sedang aku tunggu. Kami sepakat untuk menjaga hati hingga waktunya tiba.”
Daffa menatap Arpa dalam-dalam, lalu menghela napas panjang.
“Arpa,” katanya serius, “aku nggak ingin membuatmu tidak nyaman, tapi aku juga nggak bisa menahan ini lebih lama. Aku serius ingin melamar kamu.”
Arpa membelalakkan mata, terkejut dengan kejujuran Daffa yang tiba-tiba.
“Aku sudah lama mengagumi kamu, Arpa. Aku tahu mungkin ini terdengar mendadak, tapi aku bukan orang yang suka bermain-main. Aku ingin mencari istri yang bisa menjadi teman hidup, pendamping dalam dakwah, dan aku melihat semua itu dalam dirimu.”
Arpa terdiam. Ia tidak menyangka bahwa Daffa akan mengungkapkan niatnya secepat ini.
“Daffa… aku menghargai niat baikmu,” kata Arpa dengan suara pelan. “Tapi aku… aku masih dalam proses menunggu seseorang.”
Daffa menatapnya dengan sorot mata penuh keyakinan. “Arpa, maaf kalau aku terlalu jujur, tapi bagaimana kalau ternyata dia nggak kembali? Bagaimana kalau penantian ini berujung sia-sia?”
Arpa merasakan ketegangan dalam dirinya. Pertanyaan itu adalah salah satu ketakutan terbesarnya—dan kini seseorang mengucapkannya secara langsung.
“Daffa, aku percaya bahwa Allah nggak akan membiarkan hamba-Nya menunggu tanpa alasan. Jika dia bukan untukku, maka Allah pasti akan memberi jalan terbaik. Tapi aku nggak ingin berjalan di dua jalur yang berbeda. Aku ingin tetap setia pada apa yang sudah aku yakini.”
Daffa mengangguk pelan, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia belum menyerah.
“Arpa, aku tahu aku bukan satu-satunya pilihan dalam hidupmu. Tapi aku ingin kamu mempertimbangkan ini dengan hati yang terbuka. Aku siap datang ke keluargamu, berbicara dengan orang tuamu, dan mengkhitbahmu secara resmi. Aku ingin melangkah dengan cara yang benar.”
Arpa terdiam. Kata-kata Daffa semakin menggoyahkan hatinya.
---
Kebimbangan yang Menghantui
Sepulang dari acara keluarga, Arpa duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam dengan pikiran yang kacau.
Ia meraih jurnalnya dan mulai menulis:
"Hari ini aku diuji dengan sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku tahu Daffa adalah pria baik, dia memiliki segala kriteria yang diinginkan dalam seorang suami. Tapi hatiku masih terikat pada penantian ini."
"Aku takut… bagaimana kalau aku menunggu Fathir terlalu lama, lalu akhirnya dia tidak kembali? Tapi aku juga takut… bagaimana kalau aku menyerah sekarang, lalu menyesal di kemudian hari?"
Ia menutup jurnalnya, menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Fathir.
Arpa: “Fath, bagaimana caramu tetap yakin dalam penantian ini?”
Beberapa menit kemudian, balasan datang.
Fathir: “Arpa, aku nggak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku tahu satu hal—jika niat kita lurus, Allah nggak akan mengecewakan kita. Aku memilih menunggu bukan karena aku yakin 100% kamu akan tetap di sana, tapi karena aku yakin 100% bahwa menjaga hati dalam jalan Allah adalah hal yang benar.”
Arpa menutup matanya. Jawaban Fathir adalah tamparan lembut yang membuatnya sadar kembali.
Penantian ini bukan tentang Fathir atau dirinya. Ini adalah tentang bagaimana mereka menjaga cinta dalam keikhlasan.
---
Doa dalam Sujud Malam
Malam itu, Arpa duduk di sajadahnya lebih lama dari biasanya. Ia menengadahkan tangan, memanjatkan doa yang telah menjadi bagian dari dirinya selama bertahun-tahun.
"Ya Allah, jika Fathir benar-benar Engkau takdirkan untukku, maka kuatkan hatiku untuk tetap teguh. Jika tidak, maka berikan aku petunjuk agar aku bisa membuat keputusan yang benar. Aku takut membuat keputusan yang salah, aku takut melukai hati seseorang. Ya Allah, bimbing aku dalam kebimbangan ini."
Di belahan dunia lain, di Timur Tengah, Fathir pun melakukan hal yang sama.
Di tengah keheningan malam, ia duduk di balkon asramanya, menatap langit yang bertabur bintang.
"Ya Allah, aku telah berusaha menjaga hati ini. Aku telah berusaha menahan diri dari godaan dunia. Jika memang Arpa adalah takdirku, maka pertemukan kami dalam keberkahan. Tapi jika bukan, maka lapangkan hatiku untuk menerima takdir-Mu dengan ikhlas."
Di tempat yang jauh, dalam waktu yang berbeda, doa mereka bertemu di langit yang sama.
---
"Penantian sejati bukan hanya tentang menunggu seseorang, tetapi tentang memperbaiki diri sambil menanti rencana terbaik dari Allah."