Selama ini, Rambo mengutuk diri dalam kehidupan nikah paksa yang terjadi antaranya bersama Erin 3 bulan belakang. Sayang, tak ada ruang untuk Erin dalam kehidupan Rambo yang masih memendam cinta lama.
Hingga semua berubah ketika waktu mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati di masa lalu, Marwah.
Dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama telah menikah, Rambo yang tak bisa menahan rasa cintanya pada Marwah, akhirnya terjebak dalam konflik terlarang dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan ancaman yang semakin banyak, terutama pada Marwah yang sering mendapat kekerasan dari suaminya, juga Erin yang tak mau melepaskan Rambo, mampukah Rambo melindungi wanita yang dicintainya... Atau haruskah ia menerima hidup bersama Erin selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 - Besok Lusa
"Masih ada 30 menit sebelum kita berangkat ke kantor, aku sapu rumah dulu dan cuci piring dulu ya." Ucap Rambo sambil memutar badan ke belakang.
Davin dan Zico, masing-masing langsung cepat mendekat menawarkan sejumlah bantuan atau mungkin menunjukkan simpati pada komandannya itu.
"Saya saja yang cuci piring, Mas."
Tawaran dari Davin itu hanya dibalas dengan tawa singkat dari Rambo. "Kenapa? Aku kan sudah mengatakannya jangan terlalu sungkan begitu. Kalian itu tamu, bukan pembantu. Sudahlah, duduk saja di meja makan situ."
"Kami tidak sungkan sama sekali, Mas. Mencuci piring tidak ada kaitannya dengan rekan atau tamu. Bukankah Mas sendiri juga yang mengatakan kalau kita bukan sekedar rekan. Jadi, biar kami bantu kesibukan kamu, Mas." Timpal Zico dari sisi kanan Davin.
Rambo memandangi mereka, itu bukan pertama kalinya ia mendapatkan loyalitas macam ini. Di Kepolisian, mereka belajar banyak hal, salah satunya adalah bagaimana saling tolong menolong antar anggota.
"Jangan bekerja sendiri, kita tetap di sini." Itu merupakan bukti kesetiaan dari anggota Rambo, setelah Davin mengatakannya barusan sambil menepuk pundaknya.
Ujung bibir Rambo menyungging. "Aku mengerti, lakukanlah yang mau kalian lakukan. Cucian ini biar aku yang selesaikan."
Dan sepertinya baik Zico ataupun Davin keduanya seperti sudah terbiasa menerima perintah. Mereka segera bergerak usai Rambo berkata. Davin mengambil sapu, sementara Zico mengambil lap.
Waktu berlalu sekitar 15 menit, Erin datang dengan tas sosialita dan dandanan kantor super elegan. Dia turun dari tangga tanpa menghampiri Rambo, walau hanya sekedar untuk menc1um tangannya.
"Loh, jadi kerja bakti? Kalian pasti sangat akrab." Senyuman lebar terukir di goresan wajah jelita Erin. Ia memang terlalu sempurna sebagai wanita, "Mas, aku berangkat ya. Dah!"
Rambo hanya diam di ujung meja. Dua anak buahnya itu berdiri dan melihat bolak-balik dari dirinya ke Erin yang sudah berangkat. Rambo memanggil mereka dan menyuruhnya duduk bersama di meja makan. "Maaf, aku tahu dari semalam kalian merasa kurang nyaman dengan sikap istriku. Dia memang begitu.''
Meskipun mereka semua tampak lebih bersahabat, mata Rambo menyipit ketika dia melihat ke arah Davin dan Zico.
"Ada apa? Ada yang mau kalian katakan padaku." Kata Rambo. Meskipun itu tampak lebih terdengar seperti tuduhan.
"Tidak apa-apa Mas."
"Aku mau bercerai," sahut Rambo sambil memalingkan muka.
"Cerai?" Davin bergegas memutari meja makan dan berjalan menuju kursi di sebelah kanan Rambo. Agar lebih dekat. Sementara Zico hanya memajukan kursinya saja ke depan, merapat pada meja.
Mata Davin menyipit dan sosoknya menjadi kaku. "Masalah apa Mas? Apakah karena hal itu, Istrimu cuek dan seenaknya begitu?"
Ups, Davin keceplosan. Untuk Rambo tidak gampang tersinggung.
"Kamu merasakannya juga, kan? Berarti bukan aku saja yang gila. 3 bulan aku hidup bersama Erin, tapi aku tak pernah sekalipun mendapat hak ku sebagai suami. Memang bangga punya istri yang cantik dan perempuan karir sepertinya, tapi aku hanya lelaki sederhana, aku hanya ingin hidup dilengkapi oleh kasih sayang wanita. Tapi istriku---"
"Maaf Mas, tapi kenapa kamu mau menikahinya dulu? Apa waktu kalian pacaran dulu, tidak nampak sifat ganjal atau kurang cocok?" Zico memotong, sebelum Rambo menyelesaikan penjelasannya. Tapi ini tidak menjadikan Rambo emosi, ia jauh lebih tenang dari yang biasanya.
"Kami dijodohkan," jawab Rambo singkat. "Itulah sebabnya aku mengalami ini semua. Aku tidak tahu bahwa istriku hanyalah gadis manja kaya, dia masih terlalu dini untuk menanggung tanggung jawab mengurus suami."
"Aku paham sekali, Mas. Aku sangat memaklumi," kata Davin. "Jujur, tanpa mengurangi rasa hormat ku padamu dan istri. Aku sedikit terkejut dan menaruh simpati lebih padamu, Mas. Aku tak menyangka kalau seorang komandan tukan ringkus penjahat, rupanya harus ahli juga mengurus rumah tangga... "
"Tidak masalah, terima kasih."
"Jadi, Mas balik ke awal; kamu yakin dengan kata-katamu tadi untuk bercerai?" Tanya Zico, melihat mereka satu persatu, dari Davin hingga tatapannya berakhir di Rambo. "Istrimu cuek dan semena-mena padamu, apakah karena rencanamu untuk menceraikannya?"
"Bukan," Rambo menarik napas. "Sifat itu memang sudah mendarah daging dalam jiwanya, aku yakin tidak akan berubah walaupun aku menyayanginya sepenuh hati. Itu memang sifat bawaannya, dia lahir di keluarga terpandang, wajar kalau pembawaannya manja dan tukang perintah. Tapi, itu tidak cocok untukku, aku sudah coba memakluminya selama beberapa bulan terakhir, bahkan kemarin dua hari yang lalu kami sempat ribut besar dan aku menjanjikan untuk bercerai. Dan dia tahu apa yang menjadi keinginanku, dia tahu apa yang kurang dan jadi sebab masalah ini. Dia sampai memohon dan berjanji padaku malamnya, dia berjanji tak akan ini itu, dia berjanji untuk merubah semuanya. Jadi, kemarin pagi aku memutuskan pulang, coba untuk memberinya kesempatan lagi. Sayangnya, kalian bisa lihat buktinya semalam dan hari ini; semua janji itu nihil."
Rambo berkata sambil melirik mata dua orang lawan bicaranya di samping kiri dan kanan, bergantian. Kemudian ia melanjutkan; "Aku sengaja bawa teman ke sini, untuk lihat perubahan sikapnya, apakah ia akan melaksanakan janjinya atau tidak. Rupanya bohong! bahkan setelah ada kalian, dia lebih angkat dagu di hadapanku, memerintah ku di depan orang lain. Itu cukup menyakitkan hati bukan? itu cukup menjatuhkan harga diriku sebagai suami, bukan?" Ucap Rambo, berkali-kali mencengkeram celananya.
Setelah puas memandang dua orang anggotanya itu, Rambo akhirnya menunduk, menggambarkan gairah kesedihan yang amat dalam. "Kalian masing-masing sudah menikah. Aku yakin kalian mampu membedakan bagaimana perbedaan drastis andara istri kalian dengan Erin, istriku. Bagaimana yang aku rasakan? Kalian paham kan?"
"Terlalu sakit, bahkan untuk kami yang sekedar mendengar, Mas." Davin mencengkeram jarinya dalam satu kepalan di atas meja.
"Ya, begitulah. Seperti yang ku katakan tadi di awal, aku sadar kalau kalian merasa canggung saat istriku berkata atau berada di tengah-tengah kita. sungguh, aku sudah tak sanggup lagi. Semua sudah lebih dari cukup untuk semua kesabaranku selama ini."
"Sangat disayangkan Mas. Ku akui aku adalah pribadi yang membenci perpisahan, tapi aku pun sangat memaklumi hatimu." Davin kembali menghela napas, kemudian melanjutkan pembicaraan.
"Apa yang kamu inginkan untuk bisa kami bantu, Mas?" tanya Zico, mendekatkan lagi wajahnya untuk menarik perhatian Rambo.
"Bantu aku bercerai!" Rambo memandang ke depan dengan tajam dan saksama. "Bantu percepat proses perceraian ku. Bantu aku, bersaksi lah dan perkuat lah yang ku rasakan ini."
Sempat hening beberapa saat, hingga akhirnya Davin kembali menyahut dari samping, "Kapan mau mengajukan gugatan, Mas?"
"Besok lusa." Jawab Rambo singkat.
"Sudah ada bukti lain, Mas?" kata Davin, "Tidak ada hal dan kesalahan berat yang lain? misalnya Perselingkuhan? Melakukan kekerasan?"
Jantung Rambo seperti berhenti berdetak saat mendengar pertanyaan anggotanya, Davin. Rambo segera mengatur napas, dan mendengus.
"Tidak ada, hanya itu." Suaranya tetap tegas, sehingga tak menimbulkan kecurigaan apa pun di mata anggotanya itu. "Karena itu, aku sangat membutuhkan bantuan kalian. Besok hari libur, jadi Besok lusa aku baru akan mengajukan gugatan, aku sangat berharap dengan bantuan kalian proses ceraiku bisa dipercepat."
"Saya siap bantu, Ndan! hari ini izinkan saya bicara dengan rekan di Pengadilan untuk bantu proses di sana nanti." Seru Davin, sambil memasang sikap siap, nampaknya mereka kini telah menempatkan diri sebagai rekan kerja, karena telah mendapat perintah dari atasan.
Baik, ini sudah sangat bagus. Rambo semakin yakin dengan rencananya. Tinggal Anta Reza, aku butuh bantuannya untuk mendapatkan surat izin mengajukan cerai. Pikir Rambo dalam hati.
Benar, saat ini setelah 5 tahun berjalan, mereka yang dulunya rekan, kini telah berubah posisi menjadi atasan. Anta Reza naik lebih dulu dari Rambo. Permintaan ini bisa jadi hal yang sulit, bisa juga mudah. Rambo harus benar-benar bisa meyakinkan sahabatnya itu akan keputusannya untuk bercerai, karena Anta Reza itu.... pria yang terlalu lurus dan sangat memegang teguh ikatan perkawinan.