Rio Tyaga hidup dalam kesialan bertubi-tubi. Ayahnya meninggal di penjara dan setelahnya ia hidup serba kekurangan. Ia mendapatkan uang untuk biaya sehari-hari dari taruhan Drag Race, balap motor liar. Saat itu tiba-tiba motornya hilang, ia kena tipu. Padahal uang jual-beli motor akan ia gunakan untuk hidup sehari-hari dan membeli motor bodong utuk balapan.
Di saat penelusuran mencari motor kesayangannya, Rio terlibat dalam aksi penculikan. Yang diculik oleh kawanan sindikat adalah temannya sendiri, gadis kaya yang populer di sekolah, Anggun Rejoprastowo. Rio berhasil menyelamatkannya dalam keadaan susah payah bertaruh nyawa.
Rio tadinya tidak terlalu kenal Anggun, namun setelah penculikan itu Anggun seakan begitu ketergantungan akan Rio. Tanpa Rio di sisinya ia bersembunyi di sudut kamar, seakan trauma dengan penculikan itu.
Walau benci, akhirnya orang tua Anggun membiarkan Rio si berandal mendampingi Anggun 24 jam 7 hari, termasuk saat Anggun ke sekolah.
Apakah Rio yang dingin akhirnya dapat luluh dengan kedekatan mereka? Bagaimana perasaan Rio sebenarnya? Dan Anggun, apakah memang ada perasaan cinta ke Rio atau hanya memanfaatkannya sebagai bodyguard saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu Episode 2
“Rioooooooo!!!” seru teman-teman Rio saat cowok itu tiba di depan gerbang turun dari ojek onlinenya.
Abbas langsung nangkring di gedongannya, Meneer memeluknya mesra dari belakang, Junot extra nangis meluk kaki, Agung paling kalem, cuma tepuk-tepuk bahu Rio aja.
“Katanya lu diculik Yo!! Kasihaaaaaannn... penculiknya!” seru Meneer.
“Kok bisa lo diculik guenya kagak!” Abbas mulai adu kekayaan ortu.
“Pastiiii ini gara-gara motor gue, tu barang memang jadi incaran pembalap seantero Jekardah! Apalagi warnanya pink! Lo-nya malah kena begaaaalll...” raung Junot. Teman-teman Rio tidak tahu kisah dibalik penculikannya, jadi Rio diam saja.
“Duh, sori banget Not, motor lu ringsek,” Rio merasa tak enak
“Nggak papaaaa, nggak usah dipikiriin, kagak usah diganti juga, nyawa lo lebih penting!” seru Junot sambil menghapus air matanya, “Semaleman gue kepikiran! Ngerti kan sekarang kenapa gue jarang pake tuh motor dan setia nebeng bokap ke skul?”
“Gue aja yang lagi sial, Not. Kagak usah kepikiran,”
“Rio...” seorang wanita memanggil Rio dan menghampirinya. Bu Jenny, Guru Bimbingan Konseling. Termasuk guru seksi di sana. Ada dua guru seksi, yang satu Guru Ekonomi, namanya Bu Ariel, tapi judes sih. Yang satunya Bu Jenny, seksi tapi ramah dan genit.
Semua langsung diam saat Bu Jenny menghampiri Rio, “Nilai kamu meningkat di saat kamu sering berantem. Hebat kamu... kalau serius terus seperti ini saya yakin kamu bisa masuk kampus bergengsi,” tapi jemari Bu Jenny menelusuri kerah kemeja Rio sampai ke kancing kedua.
“Makasih, Bu,”
“Tapi Nilai Ekonomi kamu masih jelek ya,” Bu Ariel muncul di belakang Bu Jenny. “Ya peningkatannya pesat sih, dibandingkan kemarin. Tapi tidak cukup kalau kamu melingkari Fakultas Ekonomi sebagai pilihan ke Universitas, Rio. Kamu harus extra berjuang di ujian berikutnya,”
“Bu Ariel,” Rio mencengkeram lengan Bu Ariel sampai wanita itu berbalik menoleh ke arahnya dengan alis terangkat.
“Ya?”
“Bu, kalau boleh saya minta diajari cara mengatur keuangan, saya punya tabungan di Bank tapi masih bingung bagaimana memaksimalkan manfaatnya,”
“Ho,” Bu Ariel memandangnya dengan bersemangat. Ada secercah harapan di hatinya karena akhirnya si pemberontak mau juga belajar serius meski di saat-saat terakhir kelulusannya. “Boleh saja! Jam makan siang saya traktir di kantin guru sambil belajar. Kalau yang lain mau ikutan boleh juga sih. Calon-calon CEO itu...” Bu Ariel memicingkan mata dengan sinis ke arah teman-teman Rio yang cengengesan.
“Ikutan laah Buuuuu!” seru semua.
“Tapi yang serius ya, awas kalau tidak!” Bu Ariel membalik badannya dengan dramatis, sementara Bu Jenny sebelum mengikuti Bu Ariel dia mengerling dulu ke Rio.
“Njaaaaay, lo diincer guru seksi!” desis Meneer sambil geleng-geleng kepala.
“Bu Ariel idaman gue banget kalo dewasa dikit,” desis Abbas.
“Sekarang juga udah bisa kok, masih single tuh,”
“Tapi judes banget sih,”
“Makin judes makin menantang...”
Dan semuanya terkekeh licik.
“Pada ngomongin apa sih lo semua...” desis Rio sambil melenggang ke dalam gerbang.
Sementara Anggun di belakang mereka menatap adegan itu dengan kesal. Ia baru turun dari mobil sudah disuguhi pemandangan Rio pegang-pegang lengan Bu Ariel.
Emosinya langsung memuncak.
Sekali lagi ia cemburu.
**
“Ibu jangan begitu doooong!” Anggun mendorong Bu Ariel dengan telunjuknya sampai wanita itu mepet ke dinding. “Kita berdua ini kan ada hubungan silaturahmi antar keluarga ya, Ranggasadono dan Rejoprastowo? Jangan sampai ya hubungan kekerabatan kita rusak karena ibu menggoda pacar saya!”
Bu Ariel mengangkat alisnya dengan kaget, “Maksud kamu apa Anggun? Pacar kamu siapa?”
“Jangan pura-pura tidak tahu dong ibuuuuu, dengan mata kepala saya sendiri tadi pagi saya melihat ibu ngobrol mesra dengannya!”
“Kamu salah lihat kali Anggun! Coba sebutkan satu nama ke saya!”
“Rio Tyaga!”
Bu Ariel Ranggasadono, si guru Ekonomi, lebih kaget lagi, “Siapa? Rio Tyaga? Dia pacar kamu?”
Anggun berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Bagaimana bisa? Sejak kapan? Ayah kamu tahu?” Bu Ariel malah balik menginterogasi Anggun.
“Iya tahu,”
“Masa Anggun? Rio itu berandal loh! Masa Ayah kamu setuju?”
“Tentu, silakan konfirmasi saja ke beliau.” Wajah Anggun masih kesal sambil menatap Bu Ariel, “Ibu sendiri, jangan kegatelan ya sama berondong!”
Bu Ariel ternganga mendengar Anggun bicara begitu, “Anggun! Kamu salah paham! Rio hanya minta diajari bagaimana cara mengatur tabungannya di Bank. Anak yang lain juga akan ikutan belajar kok nanti siang!”
“Oh ya? Masaaa?!” tantang Anggun tak percaya.
“Ya! Kalau kamu mau, kamu bisa ikutan juga!”
“Oke! Nanti siang saya juga akan hadir! Awas kalau ibu macam-macam!”
“Anggun! Astagaaaaa...”
Tapi Anggun tak mendengar dan keluar dari ruangan itu ekstra banting pintu.
Bu Ariel tak habis pikir. Ia memang tahu sikap Anggun angkuh sejak kecil, tapi ia tak menyangka Anggun bisa sedemikian kurang ajar padanya kalau menyangkut Rio.
**
Maka siang itu, masih dengan perasaan dongkol, setelah menelpon Pak Banyu perihal hubungan Anggun dan Rio, yang mana memang dikonfirmasi oleh Pak Banyu kalau hubungan mereka sedekat itu. Bu Ariel pun masuk ke kantin ruang guru untuk menemui Rio dan kawan-kawan.
Semua hadirin sudah lengkap, kecuali Anggun.
Bu Ariel pun sambil menghela nafas duduk di depan anak-anak yang sumringah menyambutnya. “Jadi apa yang bisa ibu bantu, Rio?” tanya Bu Ariel mencoba untuk santai saja.
Saat Rio sedang menjelaskan keinginannya, mengenai bagaimana sebaiknya agar uang di tabungannya tidak berkurang dan malah bertambah, jenis investasi apa yang harus ia jalani dan bagaimana cara untuk menghindari pajak penghasilan yang berat, Anggun pun masuk ke kantin, ia langsung duduk di sebelah Rio, dengan cara menarik Junot agar berdiri, dan menempati kursi cowok mungil itu.
“Gue diangkat cewek barusan!” seru Junot kesal. Ia akhirnya duduk di pangkuan Meneer sambil merajuk.
“Ya makanya jangan kekecilan badan lo, ada angin dikit juga mental! Sana makan banyak, olahraga!” Omel Meneer.
“Loh? Loh? Mbak Anggun kok di siniiii?” Abbas mulai melancarkan serangannya.
“Hey cewek, sungkem dulu dong kalau mau duduk. Izin gitu,” desis Agung sambil cekikikan.
“Mending duduk di sini dari pada di situ... kursinya dingin, keras. Di sini ada yang lebih keras nih, heheheh,” desis Abbas.
“Bas, lu godain cewek kayak terong lagi cat calling cabe-cabean, elit dikit napa sih? Lu tuh pewaris Yudha Mas loh!” desis Meneer.
“Ya kalo gue udah jadi pewaris ritmenya berubah laaaah. Mumpung gue bisa kamseupay mode on... dikit!”
Tapi Anggun hanya memicingkan mata sambil menatap Abbas.
“Jangan ngeliatin gue segitunya, nanti lo suka!” Abbas malah menantang Anggun.
Anggun menggelengkan kepalanya tanda prihatin.
“Kamu tahu, Abbas,” ia akhirnya buka suara. Rio langsung tegang . Tapi diam saja mau tahu apa yang akan diucapkan oleh Anggun. “Imej perusahaan dinilai dari kebijakan Manajemennya. Bapak kamu membangun perusahaan dengan tangannya sendiri, Kamu malah nebeng melulu ke bapak kamu, bahkan kamu menghancurkan nama baik bapak kamu. Betapa tidak tahu terima kasihnya kamu menodai Yudha Mas dengan mulut sompral kamu itu.” Sahut Anggun sambil tersenyum tipis ke arah Abbas.
“Salah ucap 1 kata saja, bisa bangkrut bapak kamu. Gara-gara pewaris gobloknya ini,” tambah Anggun masih dengan senyum di wajah.
Semua langsung diam, hening sambil menatap Anggun.
“Dan... kamu Junot? Kok bisa-bisanya Arthasewu Connor yang terhormat punya anak banci? Apa bapak kamu punya salah di masa lalu? Kalau tidak, tunjukan dong kalau aku salah. Bukannya ngeluh sambil nangis melulu. Cengeng!”
Junot menarik nafasnya.
“Semua yang kubilang ini, adalah wujud dari kekesalan orangtua kalian masing-masing, Ya. Mereka tidak bisa bilang ke kalian, karena saking sayangnya sampai membuat kalian kurang ajar. Jadi aku ambil alih walau pun bukan hak dan kewajibanku. Aku hanya ingin keadaan ekonomi negara kita tetap stabil, itu saja...” Anggun menaikkan bahunya tak peduli semua langsung kesal padanya.
Bu Ariel menarik nafas panjang.
Ia memang kenal Anggun sejak lahir, keluarga mereka, Ranggasadono dan Rejoprastowo, bisa dibilang turun temurun bersahabat. Tapi makin dewasa, Anggun semakin menunjukkan sikap yang sombong. Lidahnya semakin tajam dan caranya berbicara menganggap remeh semuanya.
Mata Anggun bertemu dengan Agung.
Anggun langsung menarik nafas.
“Apa?” tanya Anggun.
“Nggak usah bilang kenapa, gue udah tahu lo mau ngomong apa,” dengus Agung.
“Dari dulu kamu juga tahu kamu itu kenapa. Dan kamu tidak berubah... tetap dengan kebego-an kamu. Wajar sih nggak ada yang peduli sama kamu...”
BRAKK!!
Agung berdiri sambil gebrak meja.
“Apa sih maksud lo dateng-dateng menghina kami semua?! Lo pikir lo orang paling cantik, paling pinter? Ya memang sih! Tapi di atas lo masih ada langit heh! Suatu saat lo akan jatoh di tengah ludah lo sendiri!!”
Anggun berdiri lalu berjalan ke arah Agung. Tinggi mereka setara, dan Anggun tidak gentar. Ia menatap tajam Agung sambil terus maju menantangnya.
“Tunjukin ke aku, kalau kamu lebih baik dari orang tua kamu,” kata Anggun sambil mencondongkan tubuhnya meledek Agung. “Takut? Nggak bisa? Susah? Siapa yang sekarang jatuh di tengah ludah sendiri, hah? Mama kamu dulu Ketua Osis di SMA Sincostangen kan? Kalau aku jadi dia, sudah malas aku melihat tampang kamu. Malu-maluin aja nggak ada yang bisa dibanggakan!”
Semua hening.
Agung jadi terduduk saking terpukulnya dia.
Lalu...
Rio pun terkekeh.
“Hehe,”
Anggun menoleh menatapnya tajam.
Semua jadi mengernyit melihat ke arah Rio.
Yang lain lagi mengkel, Rio malah cengengesan.
“Duduk sini Nggun!” Rio menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. “Kalo kamu mau bilang ke temen-temen, tolong belajar yang serius demi masa depan, nggak usah panjang lebar pakai bawa-bawa nama Yudha Mas segala, dong. Hehe,”
Anggun mendengus dan berjalan dengan tenang ke kursi di sebelah Rio. ”Akhirnya ada juga yang bisa menangkap kalimatku dengan pikiran terbuka.”
“Udaaaah pada duduk, pada belajar. Yang mau gue tanyain ke Bu Ariel ini siapa tahu berguna pas lo semua jadi Boss besok, dengerin aja baek-baek. Ya Nggun?”
“Betul.” Jawab Anggun sambil menyibakkan rambutnya ke punggung.
Dan nyatanya aksi Anggun ini lumayan efektif. Semua jadi antusias mempelajari bagaimana cara Bank bekerja. Uang yang ada di tabungan Rio jumlahnya segitu-gitu aja, tapi malah bisa dapat penghasilan dari menyimpan uang di Bank. Pantas, jaman sekarang, yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin.
**
“Kamu ngapain nanya-nanya banyak ke Bu Ariel? Aku juga tahu kok metode Bunga Bank.” Kata Anggun. Saat Rio sampai di rumah sore harinya. Untuk menutupi hubungan mereka, Anggun dan Rio pulang terpisah. Anggun dengan supir Pak Banyu, Rio pakai ojek online.
“Karena beliau tenaga profesional. Dan aku merasa tidak ada salahnya bertanya ke guru sendiri, kan memang itu tugas beliau. Kecuali aku bertanya ke Guru matematika mengenai ekonomi, nah itu jatuhnya sudah mengganggu.”
“Kamu bisa bertanya padaku,”
“Guru di SMA Bhakti Putra bukan sekedar tenaga pengajar, mereka juga praktisi. Sekarang aku tanya, aku salah dimana bertanya itu ke Bu Ariel?”
“Banyak guru ekonomi lain selain Bu Ariel,”
“Apa salahnya ke Bu Ariel?” Rio mengulangi pertanyaannya.
Anggun diam sambil buang muka. “Aku tidak suka cara kalian bertatapan,” akhirnya ia mengakui kecemburuannya.
“Sudah kuduga,” Rio menoyor dahi Anggun sambil tersenyum jahil. “Lagi-lagi cemburu. Aku segitu brengseknya ya? Makasih loh!” kata Rio sambil berjalan melewatinya menuju kamarnya di lantai 2.
**
mewakili netijen