Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29 Apakah Aku Masih Berharga Untukmu?
Windu ada di sampingku, suhunya terasa akrab, tetapi kata-katanya dingin dan tajam, menusuk pertahanan yang kubangun selama lima tahun. Aldo Direktur Utama? Korupsi? Menyelundupkan obat ilegal? Dan Lika? Adikku yang cantik itu merencanakan pemerasan menggunakan janin yang bahkan tidak dia inginkan, hanya demi membayar perawatan suaminya yang sakit parah?
Aku menyingkirkan tanganku dari genggaman Windu, memaksanya melepaskan. Meskipun mobil Windu sudah dimatikan, suara deru mesin terakhir masih terasa bergetar di telingaku. Aku butuh udara. Aku butuh jeda.
“Jadi, ini bukan lagi tentang aku yang memilih cinta masa lalu atau kesetiaan pada pernikahan, ya?” desisku, suaraku parau. Aku tidak tahu apakah aku marah pada Aldo, pada Lika, atau pada Windu yang kembali tepat waktu membawa semua kegelapan ini.
“Aerra, tolong jangan menyamakan. Ini bukan cinta masa lalu. Ini masa depan,” balas Windu cepat, nadanya memohon.
Aku tertawa sinis, tawa yang kering dan tidak beremosi. “Masa depan? Windu, kamu baru saja bilang suamiku, orang yang menjabat Direktur Utama dan sangat dipuja, sedang diincar investigasi karena kejahatan obat-obatan! Kamu tahu semua itu, bahkan detil tentang Lika, dan kamu muncul saat semua ini mencapai puncaknya? Apakah kamu pikir aku bodoh? Ini bukan penyelamatan, ini adalah penarikan strategis di tengah kehancuran!”
Windu terdiam. Matanya memancarkan rasa bersalah yang singkat, tetapi ia segera menggantinya dengan ketegasan. “Ya. Itu penarikan strategis. Aku tidak akan bohong, Aerra. Tapi strategi itu aku buat untukmu! Bukan untuk menjebakmu.”
“Apa maksudmu ‘untukku’? Kamu berharap aku akan berterima kasih karena diselamatkan dari badai agar bisa kembali ke pelukanmu?” tanyaku, rasa sakit yang kudapatkan dari pengkhianatan Aldo kini beralih menjadi kecurigaan yang mendalam terhadap Windu.
“Bukan, Aerra. Dengar baik-baik. Aku memang punya info itu. Kami tahu Aldo terlibat jaringan yang lebih besar, jauh lebih besar dari sekadar suap kecil. Ketika Lika mulai menghubungiku lewat Vika, ibuku, aku mulai menghubungkan semuanya,” Windu menjelaskan. Ia meraih bahuku, memaksaku menatapnya.
“Lika memanfaatkan ibuku untuk memastikan aku tahu penderitaanmu, tahu betapa Aldo tidak mencintaimu, tapi dia melakukannya demi uang,” katanya getir. “Awalnya Lika bilang padaku dia kasihan padamu. Tapi setelah aku tahu rencana busuknya di belakang Aldo, aku menyadari Lika bukan malaikat. Tapi, Aerra, fakta bahwa Aldo korup, bahwa dia menghamili adikmu, apakah itu cukup untuk kamu tinggal?”
Pertanyaannya memukulku. Tentu saja tidak cukup. Perselingkuhan sudah menyakitkan, tapi kejahatan kriminal? Itu bisa menghancurkan hidupku sepenuhnya. Tapi Lika juga berdarah dingin. Ia mengorbankan segalanya, termasuk nasib suami sahnya yang sedang sekarat, demi harta.
“Aku... aku tidak percaya. Aldo sangat baik. Dia bucin, dia memanjakanku. Dia ingin sekali punya anak,” gumamku, mencoba mempertahankan gambaran Aldo yang kutahu selama lima tahun ini.
“Ketulusan yang tertutup dosa besar, Aerra. Kamu tidak akan pernah bisa bersih dari itu. Harta gono-gini, status sosial, semua itu tidak ada artinya kalau tiba-tiba kamu ikut terseret karena skandal penyelundupan obat ilegal!” seru Windu. “Dia memanjakanmu karena rasa bersalah, Aerra! Bukan cinta. Mungkin awalnya cinta, tapi seiring berjalannya waktu, semua berubah menjadi upaya menutup rahasia gelapnya!”
Air mataku mulai menetes. Jika ini benar, lima tahun yang kujalani bukan hanya tanpa cinta, tapi di atas bom waktu. Dan selama ini, aku mengira hanya akulah yang menyimpan rahasia. Ternyata Aldo memiliki jurang rahasia yang jauh lebih mengerikan.
“Kenapa Lika memberi tahu ibumu?” tanyaku, fokus pada benang merah kejahatan Lika. “Jika Lika mau memeras Aldo, kenapa dia justru memberiku kesempatan untuk kabur bersamamu?”
Windu menghela napas panjang. “Dia tahu kalau kamu tetap di sisi Aldo, Aldo akan membuang Lika demi kamu, atau paling tidak, Aldo akan memastikan kamu mendapatkan jatah lebih besar sebagai istri sah. Lika ingin kamu pergi, supaya status istri sah itu kosong. Dia bisa memaksa Aldo menikahinya setelah perceraianmu, meskipun dia sudah punya suami. Atau yang lebih masuk akal, Lika tahu bahwa setelah Aldo tahu kamu kabur bersamaku, dia akan semakin membencimu. Itu membuat Lika lebih kuat sebagai satu-satunya ‘korban’ yang setia.”
“Tapi dia hamil!” Aku tidak bisa menerima kejahatan ini.
“Itu kartu terkuatnya. Tapi dengar apa yang dia bilang padaku. Jika kamu, istri sah, benar-benar keluar dari gambar, dia akan meminta Aldo menceraikannya dan memberinya sejumlah uang yang sangat besar. Jika Aldo tidak setuju, Lika mengancam akan membongkar semua penyelundupan itu, lalu Lika akan menggugurkan janin Aldo dan menggunakan uang itu untuk pengobatan suaminya sampai mati. Itu adalah rencana bunuh diri yang penuh ambisi, Aerra. Dia benar-benar kejam,” Windu berbisik, mendekatkan wajahnya. “Dia hanya butuh kamu pergi agar dia bisa menjalankan permainannya sendiri.”
Semua yang kudengar membuatku mual. Susi, Lika, Aldo. Semua bermain di kolam yang sama-sama kotor. Hanya Windu yang tampak seolah berada di tepian kolam, mengulurkan tangan.
“Jadi... kamu sudah membersihkan dirimu? Kamu punya apa yang setara dengan Aldo?” tanyaku dingin, mengacu pada kesuksesannya. “Karir luar negeri itu, apa kamu yakin bersih dari semua uang kotor ini?”
Windu mengangguk. “Aku bukan Direktur Utama. Aku bekerja di perusahaan IT di Silicon Valley, Aerra. Aku berhasil membeli rumah ini, murni dari hasil kerja kerasku. Dan aku sudah mengambil cuti permanen untukmu. Aku ingin memulai lagi, tanpa drama, tanpa kebohongan. Di sini, di rumah ini. Kita bisa mulai hari ini juga.”
Tangannya kembali menggenggamku, kali ini ia menangkup pipiku. Ibu jarinya membelai tulang pipiku dengan lembut. Jantungku berdetak liar. Ini adalah Windu yang kucintai dulu, hangat, meyakinkan, penuh kasih sayang.
“Aku hanya perlu kamu memilih, Aerra. Perceraian dari Aldo itu hanya formalitas yang akan menyusul. Kamu sudah tahu siapa suamimu sebenarnya. Sekarang, aku yang bertanya. Apakah cinta tulus dari pria yang bersih, meski tidak sekaya Aldo, masih berharga untukmu?”
Wajahnya mendekat. Bau parfum yang kukenal bertahun-tahun lalu kini menyelimutiku. Rasa panik, kelelahan, dan kehancuran malam ini membuat kepalaku sangat kosong. Aku merindukan rasa aman yang Windu tawarkan. Dia adalah pelarian yang nyata.
“Aku...” Aku tercekat. Aku akan menjawab ‘Ya’, aku akan mengakhiri malam yang mencekik ini. Aku akan menyerahkan diri pada pelarian yang paling mudah.
Tepat saat itu, sebelum aku bisa mengucapkan kata persetujuan, Windu mengambil keputusan yang paling gegabah. Ia mencondongkan tubuhnya dan menciumku. Itu bukan ciuman yang lambat dan lembut, melainkan ciuman yang cepat dan menuntut, ciuman dari pria yang yakin bahwa aku sudah memilihnya.
Sentuhan bibir itu seharusnya memicu nostalgia. Seharusnya memicu api yang kupendam lima tahun. Tapi alih-alih merespons, aku merasakan penolakan yang dingin dan tajam. Ini salah. Sangat salah.
Aku mendorongnya menjauh, tetapi Windu justru menahanku lebih erat. “Aerra, jangan menolak. Kita sudah buang banyak waktu. Ayo masuk. Aku akan tunjukkan semua bukti yang aku punya.”
Aku menatap matanya. Di balik hasrat itu, ada sedikit kepuasan. Kepuasan seorang pemenang. Dia memintaku untuk kembali padanya atas dasar cinta yang suci, tetapi cara dia melakukannya sama manipulatifnya dengan Lika, hanya saja, alat yang dia gunakan adalah fakta, bukan janin.
“Jangan lakukan ini, Windu,” kataku, memalingkan wajah. “Jangan memanfaatkan kehancuranku. Aku baru saja kabur dari rumah sakit, aku perlu berpikir.”
“Berpikir apa lagi, Aerra? Mau kembali ke Direktur Korup itu? Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu,” katanya tegas. Tiba-tiba, dia mengunci pintu mobil. Ia memajukan tangannya, siap melepaskan sabuk pengamannya.
“Ayo. Kita bicara di dalam. Tidak ada yang akan mengganggu kita di sini. Aku sudah pastikan itu,” bisik Windu, senyum kecilnya tampak terlalu percaya diri.
Tepat pada saat kunci pintu berbunyi, ponsel Windu yang tergeletak di dasbor bergetar nyaring. Itu panggilan video. Nama yang tertera di layar membuat seluruh darahku mengering.
Vika.
Ibu Windu, yang baru saja dia sebut sebagai provokator, penelepon pertamanya. Windu cepat-cepat membalik ponsel itu ke bawah. Ia tampak terkejut, panik.
“Kita abaikan saja,” katanya, suaranya kembali mendesak dan dingin. Ia mengulurkan tangan ke pintu. “Ayo, Aerra. Ibu sudah menelepon Susi. Mereka tahu kita bersama.”