Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Hanung
Seminggu kemudian, Anin berdiri di depan cermin besar di kamar, memandang dirinya yang tampak anggun dalam balutan kebaya tradisional dan kain wiru peninggalan mendiang ibunya.
“Cantik banget istriku,” puji Giandra lembut.
Lelaki itu berdiri di belakangnya, melingkarkan tangan di pinggang Anin, kemudian menaruh dagunya di bahu sang istri. Embusan napas Giandra menyapu kulit leher Anin, membuat jantung Anin berdegup kencang.
“Aku kasihan sama Kak Sri. Dia pasti sedih karena hari ini Kak Hanung nikah lagi,” ucap Anin lirih, matanya tetap menatap pantulan dirinya di kaca.
“Hmm, itulah akibat menikah tanpa dilandasi cinta dan cuma bermodalkan dijodohkan orangtua,” balas Giandra santai.
Anin menoleh pelan, menatap wajah Giandra yang hanya berjarak sejengkal dengan wajahnya. “Ta–tapi kita juga menikah karena dijodohkan orangtua dan tanpa cinta. Apa kamu akan menikah lagi kalau aku cacat seperti Kak Sri?”
Giandra tersenyum tipis. “Kata siapa kita menikah tanpa cinta?” tanyanya balik.
Anin terdiam, keningnya berkerut menatap Giandra dengan wajah serius.
“Aku udah jatuh cinta sama kamu sejak awal kita bertemu. Waktu kamu hampir lompat dari jembatan itu ... Akulah yang menolongmu,” ungkap Giandra lembut.
Anin tertegun, bibirnya sedikit terbuka—tak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Giandra mengusap lembut rambutnya, menyingkirkannya ke leher, lalu mengecup lehernya.
...🌹🌹...
Sri terpaku di ambang pintu, matanya nanar memandangi Hanung yang tengah dirias dalam balutan kemeja putih dan jas putih.
“Kenapa kau ada di sini?” tanya Hanung tanpa menoleh Sri sedikit pun.
“Aku masih tak menyangka suami yang kucinta akan menjadi milik orang lain,” jawab Sri dengan suara gemetar hebat.
Hanung terkekeh pelan. “Selama ini aku memang bukan milikmu. Aku menikahimu demi memenuhi keinginan Yasir dan supaya derajatku berada di atas Giandra, tapi ternyata si brengsek itu malah dinikahkan dengan putri pertama Darsono.”
Setelah selesai dirias, Hanung beranjak, dan melangkah melewati Sri tanpa menatapnya sedikit pun. Sementara Sri hanya menunduk, air matanya membasahi ujung jarik yang telah lusuh karena sering terinjak kursi rodanya.
...🌹🌹...
Giandra menghentikan mobilnya di halaman rumah megah bercat putih. Taman di sekelilingnya dipenuhi bunga segar, sementara lampion kecil bergantungan di setiap sudut.
“Ini rumah siapa?” tanya Anin pelan.
“Rumah calon istrinya Kak Hanung. Acara pernikahannya di sini,” jawab Giandra.
“Rumahnya mewah banget, tapi kenapa dia mau jadi istri kedua?” gumam Anin heran.
“Karena dulu dia mantan kekasih Kak Hanung sebelum dijodohkan dengan Sri,” balas Giandra.
Anin terdiam, matanya menatap kosong ke depan. Giandra keluar, berjalan memutar ke sisi kiri mobil, lalu membukakan pintu untuk Anin.
“Ayo, turun,” ajak Giandra lembut. Namun, tak ada jawaban. Anin terpaku, seolah kakinya enggan berpijak. Giandra menatapnya dengan alis terangkat. “Hmm, kamu mau aku gendong?”
Anin tak bergeming. Tanpa pikir panjang, Giandra menunduk, kemudian mengangkat tubuh kecil Anin ke dalam pelukannya.
“Loh, loh ... Turunin aku, Giandra!!” teriak Anin dengan mata membelalak.
“Nggak mau!! Siapa suruh kamu diam aja pas aku ajak turun tadi,” jawab Giandra santai sembari tetap melangkah menuju pintu rumah.
“Ihh, aku takut!! Berasa kayak mau jatuh dari ketinggian!!” seru Anin sembari berusaha memukul punggung Giandra. Namun, lelaki itu tetap tak menggubris, dan melangkah masuk ke dalam rumah yang ramai oleh tamu lain. Semua mata tertuju pada mereka. Anin menunduk, menyembunyikan wajahnya di bahu Giandra.
Giandra berhenti di depan kursi putih yang tak jauh dari tempat ijab akan berlangsung. Dia pun menuruni Anin, kemudian mereka duduk di sana. Anin mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Ke mana Kak Sri?” bisiknya.
Giandra hanya mengangkat bahu, lalu merangkul bahu Anin agar bersandar di pundaknya. Beberapa menit berlalu, Hanung dan mempelai wanita duduk di hadapan penghulu.
Anin menatap Hanung yang sedang mengucap ijab kabul. Namun, pandangannya langsung teralihkan saat melihat Sri duduk di bawah panggung bersama keempat anaknya. Wajah mereka begitu pucat, dan mata mereka sembap.
“Kamu lihat, itu Kak Sri dan anak-anaknya.” Anin menunjuk, Giandra mengikuti arah telunjuknya. “Aku takut istri barunya Kak Hanung nggak bisa menerima mereka,” tambahnya.
Giandra menghela napas panjang. “Kamu takut mereka akan bernasib seperti kamu dulu ya?”
Anin mengangguk pelan. “Bu Siti dulu jahat banget sama aku. Waktu kecil, dia beli makanan enak cuma buat Delima dan aku disuruh makan lauk sisa dua hari lalu yang udah berlendir.”
Giandra mengusap kepala Anin dengan lembut. “Insya Allah, mereka nggak akan alami itu. Aku yakin ibuku pasti sayang sama cucunya, kecuali cucu dari kita,” jawabnya.
Setelah acara selesai, mereka melangkah keluar. Namun, langkah Anin terhenti saat melihat Sri termenung sendirian di sudut halaman.
“Kamu tunggu di sini ya. Aku mau ke Kak Sri sebentar,” ucap Anin.
Giandra hanya mengangguk, membiarkan Anin berjalan mendekati Sri.
“Kak Sri kenapa ada di sini? Harusnya kakak ikut acara makan bersama Kak Hanung, dan anak kalian,” tutur Anin sembari berdiri di sebelahnya.
Sri menoleh, tatapannya tajam seperti pisau. “Untuk apa kamu di sini? Cepat pergi! Aku tidak sudi melihat wajahmu!!” usirnya.
“Aku cuman—”
“PERGI!!” bentak Sri, kemudian mendorong tubuh Anin hingga hampir terjatuh.
Giandra langsung berlari menghampiri, tatapan tajamnya tertancap pada Sri. “Istriku kasihan lihat kamu, tapi sikapmu masih sama, bahkan semakin parah. Pantas Kak Hanung milih nikah lagi.”
Dia merangkul Anin, dan menuntunnya menjauh. “Jangan pernah deketin orang gila seperti Sri lagi. Aku nggak mau kamu terluka,” ujar Giandra.
Sri hanya memandangi kepergian mereka dengan mata memerah dan senyum getir.
...🌹🌹...
Dua minggu kemudian ...
Sri mendorong perlahan kursi rodanya menuju meja makan yang penuh hidangan mewah. Aroma masakan menyeruak, membuat perutnya yang kosong bergejolak.
“Wah ... Enak sekali aroma makanannya,” ucap Sri sembari tersenyum sumringah.
Dia meraih piring, hendak mengambil nasi.
“BERHENTI!” teriak seseorang dari arah belakang.
Sri menoleh, mendapati wanita tinggi, berwajah cantik namun dingin, berjalan mendekat.
“Ada apa?” tanya Sri dengan nada tajam.
“Siapa yang nyuruh kau makan di sini? Makanan ini cuma untuk suami dan ibu mertuaku,” jawab Rasti—istri kedua Hanung—dengan wajah sinis.
“Saya ini istri pertama! Saya berhak makan di sini!!” Sri membalas dengan nada tinggi.
Rasti mendengus, kemudian merampas piring dari tangan Sri, dan mendorong kursi rodanya keluar dari ruang makan.
“Kau mau bawa saya ke mana?” tanya Sri gelisah.
“Kau lapar, kan? Aku akan kasih makan setelah kau bekerja untukku!!” tekannya.
“Kerja? Kerja apa?” tanya Sri tak mengerti.
Rasti tak menjawab, dia hanya menyeret kursi roda itu ke luar rumah, kemudian memasukkan Sri ke dalam mobil, dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi.
...🌹🌹...
Mobil berhenti di pinggir jalan yang ramai. Rasti keluar, menarik kursi roda Sri dengan kasar.
“Kalau mau makan, kau harus ngemis di sini! Nggak ada makanan kalau kau nggak dapat uang sama sekali!!” seru Rasti penuh penekanan.
“Apa?” Sri menatapnya tak percaya.
Tiba-tiba Rasti mendorong tubuh Sri hingga jatuh ke aspal. ”Aduh!!” rintih Sri sembari menatap telapak tangannya yang berdarah.
Rasti hanya melirik dingin, lalu berbalik, dan melangkah meninggalkan Sri sendiri di tepi jalan. Sementara itu, di antara deru kendaraan dan tatapan iba orang-orang, Sri menunduk, menahan tangis yang akhirnya tumpah bersama hujan yang tiba-tiba mengguyur kawasan itu.