"Kenapa kau menciumku?" pekik Liora panik, apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
"Kau yang menggodaku duluan!" balas Daichi menyeringai sembari menunjukkan foto Liora yang seksi dan pesan-pesan menggatal.
Liora mengumpat dalam hati, awalnya dia diminta oleh sahabatnya untuk menggoda calon pacarnya. Tapi siapa sangka Elvara malah salah memberikan nomor kakaknya sendiri. Yang selama ini katanya kalem dan pemalu tapi ternyata adalah cowok brengsek dan psikopat.
Hingga suatu saat tanpa sengaja Liora memergoki Daichi membunuh orang, diapun terjerat oleh lelaki tersebut yang ternyata adalah seorang Mafia.
Visual cek di Instagram Masatha2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masatha., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Liora tidak menyangka jika tebakan Daichi benar. Acara makan malam dengan rekan kerja yang dikatakan oleh Yudistira justru lebih tepat dikatakan acara pertemuan dua keluarga untuk acara perjodohan.
Langit malam tampak berkilau di atas restoran bintang lima tempat keluarga Liora dan Mada berkumpul. Di antara suara gelas beradu dan tawa basa-basi orang dewasa, Liora duduk kaku di sisi papanya. Gaun merah mudanya tampak sempurna, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat untuk disebut tenang.
“Liora semakin dewasa ya, Yudistira. Anakmu ini cantik dan anggun sekali." ujar papanya Mada sambil tersenyum, tapi senyumnya menyimpan maksud lain.
“Kamu juga beruntung. Mada anak yang sopan dan bertanggung jawab,” timpal Yudistira sambil menatap keduanya secara bergantian.
"Tentu saja, Mada dan Liora bibit yang berkelas!" timpal mamanya Mada begitu riang.
Liora hanya tersenyum hambar. Dalam pikirannya, ia bisa menebak arah pembicaraan mereka. Makan malam ini bukan sekadar silaturahmi — ini pertunangan terselubung.
Mada duduk di seberangnya, tampak tenang seperti biasa. Lelaki itu sesekali menatapnya, memberi isyarat halus agar ia tetap sabar. Hanya Mada yang tahu betapa hati Liora tak setenang wajahnya. Di bawah meja, jemarinya saling menggenggam pelan—hanya sepersekian detik—cukup untuk membuat Liora tahu bahwa dia tidak sendirian.
Ketika makan malam selesai, Liora menatap Mada singkat, memberi kode dengan lirikan matanya. Mada, dengan kecerdikannya, langsung mengerti.
“Om, bolehkah aku mengajak Liora sebentar? Udara di luar sepertinya segar,” katanya sambil terkekeh ringan.
Semua tertawa, termasuk Yudistira yang terlihat senang.
“Tentu saja, Mada. Ajak saja, tapi jangan pulang terlalu malam.”
"Iya, Om. Terima kasih sudah mengizinkan," jawab Mada.
Yudistira terkekeh, " Kamu sungguh pemuda yang sopan. Aku sangat menyukaimu."
"Om, tante, aku pamit dulu," timpal Liora pada orang tua Mada.
"Hati-hati ya, Nak," jawab mereka serempak.
Liora pun melangkah beriringan dengan Mada keluar dari restoran.
Begitu pintu mobil tertutup, Liora akhirnya bisa bernapas lega. Jalanan di luar restoran lengang, lampu-lampu kota berpendar lembut di kaca mobil yang mulai berembun.
Mada meliriknya sambil tersenyum miring.
“Kamu kelihatan tegang banget."
"Aku yakin pikiran kita sama."
"Benar, acara makan malam tadi Papa kamu dan Papa aku lagi merancang sesuatu, kan?”
Liora mengangguk, matanya menerawang ke luar jendela.
“Aku juga pikir begitu. Dari cara mereka bicara... kayaknya mereka mau menjodohkan kita.”
Mada tertawa pelan, tapi bukan karena lucu—lebih karena tidak percaya.
“Klasik banget, ya. Dua keluarga kaya yang ingin memastikan anaknya menikah dengan orang ‘tepat’. Tapi karena itu kamu, aku sangat senang."
"Hidupku udah cukup rumit, aku benar-benar tidak memikirkan cinta, ” bisik Liora nyaris tak terdengar.
Mada memutar kemudi menuju jalan yang lebih sepi. Suasana di dalam mobil berubah — sunyi, tapi penuh ketegangan yang menggantung.
“Liora,” panggilnya pelan. “Kalau memang benar mereka berniat menjodohkan kita, kamu mau apa?”
Liora menatap Mada, pupil matanya bergetar di bawah cahaya jalan.
“Aku nggak bisa, Mad. Aku belum siap untuk... siapa pun.”
“Aku tahu,” jawab Mada cepat, tanpa nada kecewa. “Aku nggak akan maksa. Tapi aku juga nggak akan mundur. Aku akan tetap di sini — nunggu sampai kamu siap.”
Kata-katanya lembut, tapi menancap dalam. Di dada Liora muncul rasa bersalah yang samar—antara karena kebohongan yang ia simpan tentang Daichi, dan karena tatapan Mada yang terlalu tulus untuk dibalas dengan dusta.
Hujan mulai turun, mengetuk lembut atap mobil. Liora memejamkan mata sejenak, meresapi.
Mada menatapnya lama, lalu berucap pelan,
“Cinta tidak seburuk itu. Kalau kamu jatuh, aku janji bakal jadi orang pertama yang nyusul ke bawah buat bantu kamu berdiri lagi.”
Liora terdiam. Ada getar di dadanya, bukan cinta, tapi semacam rasa aman yang nyaris ia lupakan.
Kamu lelaki baik, Mada. Tapi aku—sudah menyukai lelaki lain. Walau aku sendiri masih belum yakin dengan perasaan aku. Yang jelas aku tidak ingin memberikan harapan palsu padamu. Lalu apa bedanya aku dengan Papa nanti? pengkhianat bukan hanya tentang selingkuh tapi juga hati yang tidak terjaga.
"Kamu pengen jalan-jalan kemana?" tanya Daichi.
"Pulang."
"Oke, kamu nampak sangat lelah. Kalau mengantuk tidur aja, nanti sampai rumah aku bangunin," bujuk Mada.
Liora mengangguk, lalu menutup matanya. Dia memang lelah, tapi tidak benar-benar tidur. Liora—tetap waspada.
Untungnya Mada lelaki jujur, tidak ada niatan buruk. Sampai di rumahnya langsung membangunkannya.
"Makasih udah nganter, Mad,” ujar Liora pelan.
“Kapan pun kamu butuh tempat buat lari, kamu tahu aku akan berusaha selalu ada,” jawab Mada dengan nada hangat.
Liora tersenyum samar, lalu keluar dari mobil. Begitu langkah kakinya menyentuh lantai teras, senyumnya menghilang. Di balik jendela, ia bisa melihat sosok yang paling tak ingin ia temui malam itu — Nayshila.
Wanita itu duduk di ruang tamu dengan wajah menunggu, bahunya tegak, bibirnya sudah terhias senyum dingin.
“Liora,” sapanya manis tapi menusuk. “Kamu pulang sendirian? Papa kamu di mana?”
Liora menahan diri agar tidak mendengus. Ia bisa saja menjawab sopan, tapi rasa kesal yang menumpuk sejak sore membuatnya ingin bermain sedikit.
“Papa?” Liora melangkah santai, menaruh tas di sofa. “Tadi setelah acara, Papa pergi lagi. Katanya mau ketemu rekan kerja wanita.”
“Apa?” suara Nayshila meninggi, matanya membesar. “Wanita siapa?”
Liora menatapnya datar, lalu pura-pura berpikir.
“Aku nggak tahu, sih. Tapi Papa kelihatannya bahagia banget waktu nerima telepon dari dia.”
“Kamu bohong, kan?” desak Nayshila, suaranya mulai bergetar. “Papa kamu nggak seperti itu!”
“Seperti itu bagaimana? Yang sudah punya istri cantik tapi selingkuh dengan gadis muda?” sarkas Liora datar sambil melangkah menuju tangga.
Wajah Nayshila berubah pucat, tapi Liora sudah tak peduli. Ia terlalu lelah untuk menghirup udara yang sama dengan wanita itu. Langkahnya ringan namun penuh kemenangan kecil saat menaiki tangga.
Begitu sampai di kamar, ia langsung membuka pintu — dan terkejut.
Lampu kamar temaram, tirai tertutup rapat. Di tempat tidurnya, Daichi sedang berbaring santai, laptop Liora di pangkuannya, menonton film seolah itu kamar miliknya sendiri.
“Kamu...” suara Liora tertahan di tenggorokan. “Ngapain di sini?”
Daichi menoleh tanpa rasa bersalah, senyum nakal tersungging di bibirnya.
“Nungguin kamu."
Liora menatapnya tajam. “Daichi! Kalau Nayshila tahu kamu di sini—”
“Tenang aja.” Daichi menutup laptop, bangkit, dan berjalan pelan ke arahnya. “ Oh iya, kamu gak panggil aku kakak lagi. Tapi aku lebih senang begini sih."
"Gila kamu, Daichi. Kalau sampai ketahuan—”
" Sejak kapan kamu takut dengan istri muda papamu? Kalau kamu tidak senang dengannya, aku bisa menyingkirkannya sekarang," lirih Mada dengan tatapan serius.
"Maksud kamu apa?" tanya Liora.
Daichi menyeringai, lalu menggerakkan tangannya ke leher seperti membunuh.
"Jangan! Aku memang benci dia, tapi aku juga tak ingin membunuh!"
"Sayangku memang baik," puji Daichi.
Liora terdiam. Tatapan Daichi menusuk, membuat jantungnya berdebar tak karuan. Antara takut dan tertarik, antara ingin marah tapi juga tak sanggup.
Ia memalingkan wajah. “Udah malam. Aku capek.”
Daichi hanya tersenyum tipis, lalu kembali duduk di tempat tidur.
“Tidur aja. Aku di sini nggak akan ngapa-ngapain..."
Liora menghela napas panjang, menatap lelaki itu dengan tatapan rumit — setengah benci, setengah rindu.
Aku si berharapnya anak yg di kandung Nayshila itu anak dari lelaki lain kyk di drakor-drakor 😂, biar menyesal itu Yudistira sdh meninggalkan mamanya Liora🤣