Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.
Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.
Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu & Kenangan
"Jelasin sama Mama… kronologinya gimana?!" suara Berlin lirih, parau, nyaris tak keluar. Sisa tenaga yang dimilikinya ia pakai hanya untuk bertanya.
Lyodra duduk di ujung ranjang, tubuhnya kaku, tatapannya kosong menembus dinding. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya bersuara, pelan namun menghujam,
"Kita… berantem, Ma."
Berlin menelan ludah, jantungnya terasa dicekik.
"Ken… pulang dari klub. Mabuk." Suara Lyodra pecah di tengah kalimat, matanya mulai berkaca. "Terus kita debat, aku emosi, aku pergi. Aku cari dia lagi… tapi—" suaranya tercekat, pundaknya bergetar hebat. "Aku lihat dia… ciuman sama cewek lain. Aku nggak kuat, aku pergi. Ken ngejar aku, Ma… dan di situlah dia… kecelakaan."
Tangis Lyodra pecah tanpa bisa ditahan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang hebat.
Berlin merasa lututnya nyaris ambruk. Ada perih, marah, dan tak berdaya bercampur jadi satu. Napasnya memburu, matanya panas. Ia ingin marah pada keadaan, pada nasib, pada siapa saja tapi hanya bisa mendekat, memeluk sebentar bahu putrinya, lalu berbisik. "Maafkan Mama… maafin Mama nggak bisa jagain dia…."
Berlin berbalik, langkahnya gontai, seperti tiap tapak menambah beban batu di punggungnya. Ia ingin keluar sebelum dirinya ikut runtuh di depan anaknya.
Tepat di ambang pintu, suara lain memotong, tajam dan menyakitkan.
"Nah… kan, sesuai yang saya duga, Mbak," suara Merin terdengar angkuh, berdiri bersedekap di dekat pintu dengan ekspresi puas terselubung. "Anak Mbak itu… bermasalah. Buktinya? Masalah kerjaan aja dia gampang tersinggung, sampai begini jadinya."
Berlin menoleh sekilas. Tatapannya dingin, nyaris tanpa kata, tatapan seorang ibu yang sedang menahan amarahnya di ujung jurang. Ia tak membalas satu kata pun. Hanya menghela napas berat, lalu menatap Hyra.
"Hyra… antarkan saya… ke tempat ibadah," suaranya lirih, tapi tegas. "Saya mau berdoa… saya mau orang-orang mendoakan anak saya selamat…."
Hyra mengangguk cepat, membantunya berjalan.
Tak lama kemudian, Berlin duduk bersimpuh di lantai dingin rumah ibadah. Tangannya gemetar saat ia membuka dompet, mengeluarkan lembaran-lembaran uang, memberikannya untuk amal.
"Doakan anak saya… tolong… doakan dia kembali…" ucapnya parau, nyaris pingsan menahan perasaan.
--✿✿✿--
Seusai itu, dunia seakan meremas dada Lyodra. Napasnya pendek-pendek, setiap hembusan terasa berat, seperti ada batu besar yang menggantung di paru-parunya. Warna di hidupnya pudar, semuanya abu-abu, kosong.
Ia berdiri di tepi jembatan saat gerimis. Payung bening di tangannya bergetar, jari-jarinya pucat menggenggam gagangnya terlalu erat. Matanya tak lepas dari arus sungai yang deras, airnya keruh seperti menelan segala harapan.
Hatinya berbisik, Tolong… satu tanda saja… mimpi… bayangan… apa pun yang bisa nunjukin dia masih ada…
Tapi nihil. Sunyi. Tidak ada mimpi, tidak ada firasat, hanya suara hujan yang menyayat telinganya.
Penyesalan menggerogoti dirinya tanpa ampun. Kenapa aku nggak bisa jaga mulut? Kenapa aku marah saat dia paling butuh aku? Kenapa aku malah ninggalin dia? Pikiran itu terus memukulnya, berulang-ulang, hingga rasanya ia ingin berteriak membelah langit.
Matanya bengkak, perih. Air mata seakan habis, namun hati tetap menangis. Selama seminggu penuh ia mengambil cuti, menolak bertemu siapa pun. Hanya doa yang jadi pegangannya, dan setiap kali tim SAR menyusuri sungai saat cuaca mengizinkan, ia ikut menunggu di tepi, menatap setiap perahu dengan harapan yang hancur setiap kali mereka kembali dengan tangan kosong.
"Kemungkinan dia sudah hanyut jauh, Bu," kata salah satu relawan dengan hati-hati. Kata-kata itu menusuknya seperti seribu jarum.
Lyodra hancur. Ia menolak kata "sudah hanyut." dan "tidak ada harapan." Ia menolak takdir itu. Ken nggak mungkin pergi gini… nggak mungkin…
Ia mulai menghabiskan tabungannya, menyewa tim tambahan, mengumumkan hadiah besar untuk siapa saja yang menemukan suaminya.
Namun Merin justru menahannya, berdiri anggun di tepi jembatan, menabur kelopak bunga mawar merah yang berjatuhan dan hanyut terbawa arus.
"Sudah, Lyly. Belajarlah ikhlas," ucapnya lembut, seolah peduli. "Ken sudah nggak ada. Ini… bentuk penghormatan kita untuknya."
Lyodra menatapnya dengan mata kosong. Kelopak-kelopak itu menari di air, seolah mengubur harapannya hidup-hidup.
Namun jauh di dalam hatinya, suara lirih tetap berbisik, Aku nggak akan berhenti. Aku akan cari kamu, Ken. Hidup atau mati.
Sekeras baja Lyodra menentang.
"Ken masih hidup, Ma! Aku yakin seratus persen!" suaranya pecah, bergetar di antara tangis yang tak bisa ia bendung lagi.
Merin menatapnya tajam. "Buktinya apa, Lyly?"
Lyodra menegakkan tubuhnya, meski lututnya lemas. "Keyakinan aku, Ma! Aku baru bisa ikhlas… nanti, tapi bukan sekarang. Aku belum siap! Aku bahkan belum sempat peluk dia… Kita berantem waktu itu, Ma. Ken pergi ninggalin aku pas kita lagi nggak baik-baik aja!" suaranya meninggi, lalu patah di ujung kalimat.
Merin menarik napas panjang, mencoba menahan nada suaranya agar terdengar lembut. "Biar kamu nggak terus-terusan sedih, lebih baik cari kesibukan sambil nunggu kabar baik." Ia mengelus bahu Lyodra dengan gerakan perlahan, hampir seperti seorang predator yang menenangkan mangsanya.
"Mau sampai kapan aku harus nunggu, hah?!" bentak Lyodra tiba-tiba, air matanya kembali pecah. Ia lalu berbalik, masuk ke kamar, dan mengurung diri dengan suara pintu yang dibanting keras.
Merin mengikuti, mengetuk pelan. "Lyly, Mama nggak mau kamu sakit…"
Dari balik pintu terdengar suara lirih, parau, nyaris memohon, "Aku udah sakit, Ma. Aku sakit karena Ken ninggalin aku gitu aja. Aku takut dia di luar sana… kelaparan, sendirian… apa dia kedinginan? Apa dia masih bernafas? Aku nggak tahu… aku nggak tahu, Ma.…"
Suara itu seperti pisau berkarat yang menggores perlahan, menyakitkan namun tak bisa dihentikan.
--✿✿✿--
"Sebelumnya saya minta maaf dan turut berduka atas musibah yang menimpa suami kamu. Namun, saya juga perlu personal asisten untuk mengatur jadwal harian saya. Jadi, apakah kamu mau kembali bekerja atau tidak? Jika tidak, silakan mengirimkan surat pengunduran diri."
Pesan itu masuk ke ponsel Lyodra, membuat dadanya terasa ditusuk. Ia menatap layar ponselnya lama, jari-jarinya gemetar. Antara ingin marah, sakit hati, atau sekadar menangis. Tapi air matanya sudah terlalu sering jatuh sampai rasanya kering.
Malam itu ia hanya duduk menatap kosong ke luar jendela, menyesali waktu, menyesali kata-kata terakhirnya pada Kenziro.
Besoknya, dengan mata bengkak dan wajah pucat, Lyodra memaksa dirinya bersiap ke kantor. Senyum palsu ia tempelkan, rapi tapi rapuh.
Di meja kerjanya, segala tumpukan agenda terasa seperti beban batu di dadanya. Fokusnya berantakan, jarinya berhenti di atas keyboard lebih sering daripada mengetik. Pandangannya kosong, pikiran selalu kembali ke arus sungai dan bayangan Kenziro yang hilang.
Tiba-tiba sebuah cup boba cokelat diletakkan di mejanya.
"Siapa tahu bisa sedikit bikin kamu lega," suara Romeo terdengar lembut, berbeda dari biasanya.
Lyodra menoleh, sedikit terkejut. "Ah… terima kasih, Pak," ucapnya, mencoba tersenyum tipis. Ia membuka sedotan dan menyeruput perlahan, berharap manisnya bisa menahan pahit yang terus menggantung di lidahnya sejak hari itu.
Ia mengelap bibir dengan tisu, lalu kembali terdiam.
Romeo memperhatikannya, lalu berjalan mendekat, duduk di sofa panjang di dekat meja. "Kamu maksain diri masuk kerja… di saat hati kamu masih hancur begini?" suaranya rendah, serius. "Saya nggak akan maksa."
Lyodra menarik napas dalam. "Tidak apa-apa, Pak. Saya… baik-baik saja. Terima kasih," jawabnya tetap formal, meski nada suaranya serak. Ia kembali menatap laptop, pura-pura sibuk.
Romeo hendak membalas, namun ponselnya tiba-tiba bergetar. Satu nama di layar membuat ekspresinya berubah dingin: Rania.
Ia mengepalkan tangan, berdiri tergesa. "Saya keluar sebentar," katanya singkat lalu melangkah pergi dengan langkah cepat, menyisakan Lyodra yang kembali terjebak dalam sunyi pikirannya sendiri.
Romeo menggerutu sepanjang perjalanan, wajahnya kaku menahan emosi. Begitu sampai di rumah Rania, ia membuka pintu tanpa mengetuk, mendorongnya kasar hingga menimbulkan suara berderak.
Pemandangan dapur langsung menusuk matanya. Tepung bertebaran seperti salju kotor di lantai, baskom kecil terbalik, sendok, saringan, bungkus tepung sobek di sana-sini. Di tengah kekacauan itu, Rania berdiri santai, mengenakan celana pendek dan kaos longgar, sibuk menggenggam mixer listrik yang berdengung.
"Lo beneran dateng? Mau minum apa?" sapanya, nada suaranya manis tapi kosong, seperti robot yang diprogram untuk bersikap ramah.
Romeo mendekat, tatapannya langsung ke meja dapur. Tiga loyang kue berjejer, diantaranya satu gosong, satu tak mengembang, dan satunya peyot tak terbentuk seakan dihantam benda berat. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan amarah.
"Ini… tiga-tiganya gagal? Yang satu gosong, yang ini bantet, dan yang ini? Astaga, bentuknya aja nyiksa mata. Kamu belajar dari mana sih?"
"Internet," jawab Rania singkat tanpa menoleh, mixer masih berputar.
"Terus resepnya bener nggak?"
Rania mengangkat bahu ringan, ekspresi wajahnya datar. "Mana gue tau. Gue udah habisin dua kilo telur. Sekilo pertama pecah semua soalnya gue kepleset, sekardus tepung juga habis karena salah takaran terus."
Romeo mendesah frustasi. "Kamu mau buka toko kue apa gimana?"
Rania mematikan mixer, menoleh padanya, dan tersenyum lembut yang anehnya justru bikin bulu kuduk berdiri. "Santai aja kali," ucapnya pelan, lalu mendekat dan mengecup pipinya.
Romeo refleks mengusap bekasnya dengan punggung tangan, ekspresinya penuh jijik.
Rania tertawa kecil, lalu mengecupnya lagi, kali ini lebih lama. "Gue udah sembuh, tau," katanya ringan, "Lenyakit menular seksual gue udah bersih. Dokter baru ngirimin hasil tesnya tadi pagi."
Romeo menutup mata sebentar, mencoba menahan rasa mual yang merayap. Apa orang yang baru sembuh dari gangguan jiwa… selalu seperti ini? pikirnya. Atau ini cuma dia yang… rusak?
Tanpa menunggu respon, Rania berbalik, memutar kompor, merebus air. Tangannya lincah menuangkan bubuk kopi, gula, dan susu ke cangkir.
"Ngapain?" tanya Romeo datar.
"Bikinin suami aku kopi susu… yang semanis aku," jawabnya genit, menoleh sekilas sambil tersenyum miring.
Romeo menggeleng, suaranya tegas. "Gak usah. Jangan."
Romeo sempat teringat, perutnya seketika mual hanya karena bayangan masa lalu saat dirinya keracunan makanan buatan Rania. Sampai tiga hari dirawat di rumah sakit, karena muntah dan diare parah jadi membuatnya kapok untuk menyentuh apapun yang dibuat oleh wanita ini.
"Loh, kenapa? Gak pake racun kok… cuma gue ludahin, hehe."
Romeo langsung menghentikan gerakannya, menatap Rania tajam. "Kamu gila, Ran?"
Rania menoleh, tersenyum tipis, senyumnya ganjil. "Kan dari dulu gue udah gila. Makanya gue harus ke dokter mulu. Tapi sekarang…" ia mengangkat gelas berisi kopi, "Gue bakalan belajar jadi orang baik. Biar lo bangga."
Nada suaranya manis, tapi entah kenapa terdengar seperti ancaman terselubung.
Romeo hanya menatapnya heran, mencoba membaca pikirannya yang sulit ditebak.
"Ini minum!" seru Rania, mendekat, menyodorkan cangkir itu tepat di bawah hidung Romeo. Matanya berbinar-binar, terlalu lebar untuk terlihat wajar. "Ayo cepat!"
Romeo mengambil gelas itu, meniup sebentar, lalu meneguk seteguk kecil, sekadar formalitas. "Terus… masih suka dibaca nggak buku yang saya kasih?"
Rania mendengus kecil, lalu tertawa lirih. "Gue udah baca seratus kali. Sampe hafal tiap halaman. Tapi kayaknya… belum cukup juga tutorial jadi cewek idaman pria kaya, ya?" Ia menaikkan satu alisnya, menatap Romeo dengan tatapan tajam sesaat sebelum kembali mengutak-atik adonan.
Handphone Romeo bergetar. Ia segera berdiri, mengangkat telepon dengan nada lebih tenang. "Iya, halo Bu," ucapnya, lalu berjalan menjauh ke ruang tamu.
Sementara itu, Rania berhenti sejenak. Ia menatap punggung Romeo, lalu berkeliling dapur mencari cara agar mixer tetap menyala tanpa dipegang. Ia mengaitkan kabelnya di dekat rak piring agar adonan tetap berputar, lalu… perlahan melangkah mendekat ke arah ruang tamu.
Menguping.
Matanya fokus, bibirnya melengkung sedikit. Siapa lagi perempuan yang berani nelepon suami gue?
Setelah percakapan telepon berakhir, Romeo berbalik. Tatapannya langsung mengunci pada Rania yang berdiri terlalu dekat dengan ambang pintu.
"Kamu nguping?" suaranya datar, tapi mengandung peringatan.
Rania refleks memalingkan wajah, tersenyum tipis seolah tak terjadi apa-apa. "Oh, enggak. Cuma lagi… liatin bunga itu, baru mekar."
Romeo menatap ke arah yang dimaksud, hanya rak piring kusam, sisa tepung belepotan, dan mixer bergetar sendirian. "Gak ada bunga di sini. Kamu gak pernah suka bunga kan."
Rania berkedip pelan, lalu tertawa kecil, nada tawanya menggantung aneh di udara. "Oh iya… yaudah. Bener. Itu… tadi ibu kamu, ya? Dia kira aku apa? Dia suka gak kalau tau aku ini sebenernya cuma… simpenan kamu?"
Kalimatnya menusuk, diucapkan begitu santai, padahal tajam.
"Enggak," jawab Romeo singkat, dingin.
Rania mendekat, jarak di antara mereka menyempit, matanya menatap lurus, terlalu lama. "Tapi aku suka, Rom… jadi simpenan kamu. Setidaknya… aku ada gunanya buat kamu, kan?"
Romeo diam. Ada jeda tegang, udara di ruang itu terasa menekan.