Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Semua orang di Kecamatan Mulia tahu siapa Haji Ujang. Selain Pak Dhika, Haji Ujang merupakan seorang juragan di kampung itu. Bedanya hanya pada sumber usaha yang mereka geluti. Pak Dhika dikenal sebagai pengusaha yang bergerak di bidang pertanian modern, sedangkan Haji Ujang membangun kekayaannya dari perdagangan dan properti.
Orang-orang di kampung sering berbisik bahwa harta Haji Ujang tak akan habis tujuh turunan. Rumahnya megah bak istana dengan pagar tinggi dan cat berkilau, mobil dan motor berjejer di garasi. Meski usianya sudah lebih dari setengah abad, nama Haji Ujang tetap sering jadi bahan pembicaraan para ibu di warung. Bukan soal hartanya saja, melainkan juga urusan rumah tangganya.
Ada wanita yang rela menikah dengan laki-laki tua kaya dan menjadi istri muda demi kehidupan yang terjamin. Sementara itu, istri tua tidak bisa melawan keinginan suami mereka selagi semua nafkah terus dipenuhi. Karena itu, tidak aneh jika di kampung mereka istri tua dan istri muda bisa akur. “Yang penting dapur ngebul,” begitu kalimat yang sering terdengar dari bibir para perempuan kampung.
Dewa mendengarkan semua cerita itu dari dahulu. Karena itulah ketika nama Aisyah diseret-seret dalam gosip kemungkinan dilamar Haji Ujang, hatinya langsung berguncang.
"Sebaiknya kamu berani ambil tindakan jika serius ingin memperistri Aisyah. Menikah tahun depan juga tidak apa-apa, asal sudah ada ucapan pengikat," kata Ryan, suaranya tegas, namun penuh persahabatan. Dia takut sahabatnya terlalu lama memendam perasaan tanpa kepastian.
"Bener. Aku setuju! Bisa saja ada pemuda lain yang juga jatuh hati kepada Aisyah, seperti kamu, Wa. Wanita baik-baik itu sering jadi incaran buat dijadikan istri. Preman kayak Mang Badot saja ketika mencari wanita untuk dijadikan istri ingin wanita baik-baik," lanjut Galuh sambil mengibaskan tangannya, seolah menekankan betapa seriusnya perkataan itu.
Nama Mang Badot membuat Dewa dan Ryan teringat masa lalu. Preman legendaris di kampung mereka itu dulu terkenal beringas, ditakuti siapa saja. Namun segalanya berubah setelah dia ditolak oleh adiknya Ajengan Hambali. Penolakan itu menjadi tamparan keras baginya. Mang Badot lalu bertaubat, belajar agama dengan sungguh-sungguh, hingga akhirnya menikahi seorang perempuan salehah itu. Kini, Mang Badot alias Mang Asep bukan lagi sosok yang ditakuti, melainkan dihormati. Ia menjadi guru mengaji dan juga pengrajin mebel kayu yang sukses.
"Di kampung kita masih banyak pemuda yang belum menikah. Pastinya ada yang mengincar Aisyah selain kamu," tambah Ryan, suaranya sengaja dibuat memanas-manasi.
Dewa menunduk. Hatinya terasa gamang. Napasnya berat seakan menanggung beban yang tidak kelihatan.
"Aku bicarakan dulu sama Emak. Karena aku tidak bisa ambil keputusan. Bagaimana jika keluarga Aisyah meminta segera menikah untuk membuktikan keseriusanku?" ucap Dewa lirih, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Kalau saja dia punya banyak uang seperti Bagja, tentu tidak akan menunda-nunda. Pikirannya berputar cepat, membayangkan kemungkinan terburuk, Aisyah dilamar pria lain. Dadanya terasa sesak.
"Nanti aku sumbang buat uang pengikat," kata Galuh, matanya berbinar, tulus mendukung sahabatnya.
"Aku juga akan ikut nyumbang, walau sedikit," lanjut Ryan sambil menepuk bahu Dewa.
Senyum lebar muncul di wajah Dewa. "Terima kasih. Kalian adalah saudaraku walau tidak sedarah daging."
Ada kehangatan yang menelusup di dada Dewa. Dukungan sahabat-sahabatnya membuat semangatnya sedikit tumbuh kembali.
Rasa penasaran Galuh tidak terbendung. Ia ingin memastikan dengan matanya sendiri, bagaimana sosok Aisyah yang membuat Dewa sampai kehilangan arah.
Siang itu, matahari terik membakar kulit. Jalanan kampung sepi, hanya beberapa anak kecil berlarian sambil membawa layangan. Galuh melaju dengan motornya, panas matahari membuat keringat bercucuran di dahinya. Akan tetapi, ia tidak peduli.
"Mana, sih, orangnya?" batin Galuh sambil memperlambat laju motornya ketika mendekati rumah Ajengan Hambali. Rumah sederhana dengan halaman cukup luas, berpagar bambu setinggi satu meter.
Tiba-tiba mata Galuh menangkap sosok seorang wanita berjilbab berjalan di halaman. Langkahnya anggun, wajahnya teduh meski dari kejauhan. Galuh langsung ternganga.
"Apa dia Aisyah?" gumamnya takjub. "Pantesan Dewa suka sama dia, orangnya cantik sekali." Ada rasa iri bercampur kagum di dadanya.
Gara-gara terlalu terpukau, Galuh tidak sadar motornya terus melaju lurus. Seharusnya ia belok, tetapi tatapannya malah terpaku pada sosok Aisyah.
Beberapa petani yang sedang beristirahat di pematang sawah langsung berteriak. "Awas!"
Namun, semuanya terlambat.
"Aaaaaa!" teriak Galuh, motornya oleng lalu terbang bersama dirinya masuk ke sawah.
Bruk!
Untungnya sawah dalam keadaan kering, dengan banyak tumpukan jerami hasil panen yang belum dibakar. Galuh jatuh menimpa jerami, tubuhnya penuh debu dan serpihan jerami. Ada beberapa luka lecet-lecet di siku dan lutut. Motornya pun terjerembap di lumpur kering.
Beberapa petani yang sedang istirahat makan siang langsung berlari menghampiri. Mereka tidak tertawa melihat kejadian itu, melainkan buru-buru menolong Galuh dengan wajah cemas.
"Astaghfirullah, Bu Guru! Nggak apa-apa?" tanya salah seorang bapak petani sambil mengulurkan tangan.
Galuh meringis, wajahnya memerah menahan malu. Ia berusaha bangkit, lalu menerima uluran tangan petani itu. "Alhamdulillah, saya nggak apa-apa, Pak. Cuma lecet sedikit," ujarnya lirih.
Dua orang petani lain membantu menegakkan motor Galuh yang sempat oleng ke pinggir sawah. Sementara seorang ibu yang ikut di pematang sawah segera mengeluarkan kain kecil dari keranjang bekalnya, lalu mengusap debu di pipi Galuh.
"Ya Allah, Bu Guru. Untung jatuhnya ke jerami, bukan ke sawah basah," kata ibu itu sambil tersenyum prihatin.
Galuh mengangguk pelan, hatinya campur aduk. Malu karena kecerobohannya, lega karena ditolong, tapi juga masih berdebar-debar karena sempat melihat Aisyah di halaman rumah Ajengan Hambali.
"Terima kasih banyak, Pak, Bu. Maaf merepotkan, ya," ucap Galuh penuh sungkan.
"Ah, jangan sungkan, Bu Guru. Wong di kampung ini kita semua saling bantu. Yang penting Ibu nggak apa-apa," sahut seorang bapak tua, menepuk bahu Galuh dengan ramah.
Galuh tersenyum kaku, lalu kembali menyalakan motor. Namun dalam hati ia bergumam, "Pantas saja Dewa jatuh hati sama Aisyah. Dia cantik sekali orangnya."