Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Kesempatan
Hari ini, Nira dan Riki akan berkunjung ke rumah orang tua Riki. Mereka berencana menginap semalam. Segala keperluan Arsa dan Alvin sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam mobil.
Pukul sembilan pagi, mobil berangkat. Perjalanan mereka memakan waktu tiga jam. Nira duduk di kursi belakang bersama kedua anaknya.
Tidak ada obrolan sepanjang jalan. Hanya musik lirih yang diputar Riki menemani perjalanan agar tak terlalu hening. Sesekali Riki melihat spion tengah, memastikan Nira tak kerepotan duduk di belakang bersama kedua anak mereka.
Arsa duduk di sebelah Nira, memakai sabuk pengaman. Sementara Alvin berada di pangkuan Nira. Nira memastikan kedua anaknya tak rewel karena ini perjalanan jauh pertama mereka.
Tiba di rumah orang tua Riki, mereka disambut hangat. Riki sudah memberitahukan kedatangan mereka sebelumnya. Ibunya Riki langsung menimang Alvin. Sementara Bapaknya Riki menggendong Arsa.
“Makanan sudah siap. Kalian makan lah dulu. Biar anak-anak sama kami,” ucap Ibunya Riki ramah.
Nira dan Riki mengangguk lalu melangkah menuju meja makan. Ada beberapa menu khas daerah setempat yang pernah dicicipi Nira dulu saat pertama kali datang ke sini—saat masih berpacaran dengan Riki.
Nira yang sudah lapar langsung mengambil makanan yang ada. Selain ASI-nya yang sudah diperas selama perjalanan, ia juga kelelahan karena memangku Alvin dan mengawasi Arsa sehingga perutnya terasa sangat lapar.
Riki tersenyum, memperhatikan Nira.
“Makan yang banyak, Sayang. Habis ini Alvin pasti minta susu lagi.”
Nira menoleh sekilas,” Hmm.”
“Selama di sini, kita bisa istirahat. Ibu sama Bapak pasti nggak akan biarin Arsa dan Alvin jauh dari mereka.”
“Hmm.”
Riki menghela napas panjang mendengar jawaban singkat Nira. Oh, bukan jawaban. Hanya respon singkat.
“Mumpung mereka sama Bapak dan Ibu, aku ingin bicara penting sama kamu. Tapi nggak di sini.” Nira berkata setelah menggeser piringnya yang sudah kosong.
“Dimana?”
“Di tempat kamu melamarku.”
Riki tersenyum, mengangguk,” Baiklah.”
Selesai makan, mereka langsung berpamitan pada kedua orang tua Riki dan menitipkan anak mereka sementara.
“Kami ingin mengenang masa pacaran kami dulu di kampung ini, Bu, Pak,” jawab Riki saat Ibunya bertanya mereka hendak kemana.
“Emang kalian nggak capek habis perjalanan jauh?” Bapak mengernyitkan dahi.
Riki menggeleng,” Nggak kok.”
Bapak dan Ibunya Riki mengijinkan. Mengatakan bahwa mereka akan menjaga Arsa dan Alvin selama orang tuanya pergi jadi Nira dan Riki tak perlu buru-buru pulang.
Riki dan Nira mengangguk. Keduanya lantas berjalan bersisian. Sesekali mengangguk sopan pada warga kampung yang mereka temui. Satu dua bertanya kabar dan mereka menjawabnya.
Saung yang mereka tuju berada di pinggir jalan, di area persawahan yang membentang jalanan desa.
Di tempat itulah, dulu Riki mengajak Nira, mengenalkan jalanan kampung, dan melamarnya. Kurang lebih suasananya sama dengan kampung halaman Nira. Bedanya, kampung Riki masih berada di satu kota dengan rumah sakit Nira bekerja.
Nira menarik napas panjang, menghirup udara yang sebenarnya panas karena waktu menunjukkan jam satu siang. Tapi, angin yang berhembus cukup menyamarkan teriknya mentari di atas sana.
Riki sebenarnya lelah, tapi saat Nira mengatakan ingin bicara penting, ia tak bisa mengabaikannya. Maka, ia mengalah, menuruti kemauan Nira.
“Aku tahu kamu capek nyetir. Kenapa kamu mau aku ajak ke sini?” tanya Nira tanpa menoleh. Tatapnya tertuju pada hamparan sawah di depan mereka. Tanaman padi nampak mulai menguning sejauh mata memandang.
“Kamu bilang ingin bicara penting. Dan aku ingin tahu apa yang mau kamu bicarakan,” jawab Riki.
Mereka duduk bersisian. Sama-sama menatap ke depan, ke sawah-sawah yang membentang. Suara seruan orang mengusir burung-burung pipit yang hinggap di padi terdengar bersahutan. Entah dimana orangnya, tapi suaranya terdengar jelas.
“Kita dulu memulai hubungan serius dari sini. Dari tempat ini. Posisi duduk kita sama persis. Bedanya, dulu hatiku bahagia saat datang ke sini. Dan sekarang, saat datang kembali ke sini, hatiku terluka.”
Riki menoleh, mengamati wajah Nira yang selalu cantik. Tapi ia bisa melihat ada lelah dalam sorot mata Nira yang menatap ke depan.
Nira tersenyum sendu,” Oleh karena itu. Di tempat ini, dimana awal hubungan serius kita dimulai, maka di tempat ini pula, akhir hubungan ini kita putuskan.”
Riki terhenyak. Menatap dalam wajah Nira yang bibirnya tersenyum saat mengatakan akhir dari hubungan mereka.
“Kita mengawalinya dengan baik-baik, maka kita juga akan akhiri dengan baik-baik. Ya walaupun bohong jika aku baik-baik aja. Nggak ada yang mau akhir hubungan seperti ini. Termasuk aku. Tapi, aku nggak tahu lagi gimana cara mempertahankannya.”
Nira menoleh, menatap Riki dengan senyuman perih,” Kamu pernah bilang kalau aku ingin berpisah, kamu nggak akan menurutinya. Tapi kamu lupa. Aku punya alasan kuat untuk mendaftarkan perceraian kita.”
Nira kembali menatap sawah di depannya,” Aku nggak ngenalin kamu lagi, Rik. Kadang kamu baik, lembut, tapi di waktu yang berbeda, kamu pemarah dan juga kasar. Kamu tahu alasan aku pisah kamar. Kamu juga tahu kenapa aku enggan melayanimu walau ujung-ujungnya kamu memaksaku dengan cara kasar. Aku bersabar karena waktu itu aku hamil lagi. Aku juga nggak ingin mengambil keputusan terburu-buru.”
Nira menarik napas dan mengembuskannya pelan,” Aku bahkan sempat menyesal saat Alvin ada di dalan rahimku. Dia hadir karena sentuhan kasarmu. Dia hadir di saat aku tak menginginkanmu juga menginginkannya. Kamu bisa bayangkan bagaimana setiap hari aku menahan semua kesakitan itu. Dan sekarang, kamu menambah lagi masalah itu. Kamu selingkuh.”
“Jangan mengelak. Aku mendengar semua percakapan kalian malam itu. Itu sudah cukup meyakinkanku kalau kamu selingkuh. Apa kamu menyadari kenapa aku nggak marah? Kenapa aku justru bersikap santai padamu malam itu?” Nira menoleh, menatap Riki.
Riki menunduk, mengggeleng.
“Karena perasaanku sudah mati untukmu, Rik. Sakitnya tetap ada, tapi sekarang lebih ke terserah kamu. Kamu mau melakukan apapun, aku nggak peduli. Toh aku tetap akan menceraikanmu. Bagaimanapun caranya.”
Riki mengangkat wajahnya. Ia memiringkan tubuhnya, menghadap Nira, menggenggam tangan Nira. Nira tak bereaksi. Ia tetap menatap ke depan, ke sawah.
“Aku sadar apa yang aku lakukan sudah keterlaluan. Aku nggak bisa menahan marah dan mengontrol emosiku sampai aku kasarin kamu. Maafkan aku, Nira. Kamu boleh menganggapku jahat. Tapi, aku akan berusaha merubah sifatku. Asal jangan tinggalkan aku.”
Riki menatap Nira, matanya berkaca-kaca,” Aku nggak mau kehilangan kamu dan anak-anak. Dibalik sikapku yang nggak baik ini, aku membutuhkanmu, Nira. Aku membutuhkan seorang wanita yang bisa bertahan denganku walau aku sudah menjahatinya. Aku menyesal sudah melakukan hal buruk itu, Nira.”
Nira terdiam, matanya berair.
Riki mendekatkan tubuhnya. Dengan suara parau, menahan air mata ia kembali berucap,” Dan untuk malam itu, aku nggak akan mengelak. Iya, aku selingkuh. Aku melakukannya demi uang. Selama ini, kamu lebih banyak mengeluarkan uang daripada aku. Dan aku ingin aku ganti yang mengeluarkan uang untukmu dan juga anak-anak kita. Penghasilanku nggak banyak, Nira. Dan wanita itu menawarkan hal yang aku inginkan. Aku berpikir dengan uangnya, aku bisa membuatmu kembali mencintaiku.”
“Apa kamu pikir aku melihatmu karena uangmu?” Nira menoleh cepat, menatap tajam dengan mata basah.
“Apa kamu pikir aku akan bahagia dengan uang hasil perselingkuhanmu?” Nira tersenyum sinis,” Kalau aku nggak mati rasa, mungkin malam itu aku bakal nangis semalaman, Rik. Meratapi nasib.”
Riki mengangguk pelan,” Aku salah, Nira. Aku salah menilaimu. Sejak awal bahkan kamu nggak melihat apa pekerjaanku. Kamu memilihku diantara para pria tampan juga mapan yang mendekatimu. Tapi apa yang kulakukan sekarang?”
Riki melepas genggaman tangannya dan mengusap wajah,” Aku justru melakukan hal yang kamu benci. Aku justu membuatmu mati rasa. Aku sendiri yang menghilangkan cintamu padaku. Aku memang bukan pria yang baik. Seharusnya kita bahagia sekarang. Datang ke tempat ini bersama kedua anak kita dan tertawa bahagia, mengenang masa pacaran kita. Tapi, aku malah merusaknya.”
Nira mengusap air matanya yang jatuh,” Kamu dulu pernah bilang ingin membuatku bahagia. Apa kalimat itu masih berlaku sekarang?”
Riki menatap wajah Nira, mengangguk,” Ya.”
“Ada satu kesempatan untukmu melakukan sesuatu untuk kebahagiaanku.”
Riki menegakkan tubuhnya, tertarik dengan ucapan Nira,” Apa itu?”
“Ceraikan aku.”