Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9 ~ Ternyata ....
Bab 9
Ruang kerja itu mendadak riuh dan Mona masih bicara sambil sesekali terbahak. Bukan tanpa alasan, karena Adel dan Mona resmi diangkat menjadi karyawan tetap setelah dua bulan magang. Tergolong cepat, karena ada yang sampai satu tahun baru diangkat karyawan tetap malah ada yang sampai resign lagi karena tidak jelas kapan statusnya berubah.
Adel masih membaca surat pemberitahuan dari HRD di tangannya. Secepat itu. Tadi pagi hanya alasannya saja ingin menanyakan masalah ini padahal ia ingin bertemu Zahir untuk alasan lain. Namun, Mona menggantikannya bertemu Zahir dan hanya beberapa jam sudah terealisasi.
“Tenang aja, nanti aku traktir.”
“Benar ya, Mon.”
“Iya,” ucap Mona lagi. “Lanjut kerja lagi, nanti ada yang sirik,” cetus Mona melirik Desi yang juga meliriknya sinis. “Ingat ya, kita sudah satu level, sama-sama karyawan tetap. Jadi, nggak usah pake gaya senior dan junior.”
Mona pun kembali duduk. “Heh, kok ngelamun?”
“Oh, nggak. Heran aja, kok secepat ini,” seru Adel.
“Udah nikmati aja, semua karena kerja keras kita. Kerja keras kamu juga kerja keras aku,” seru Mona.
Adel mengernyitkan dahi, entah mengapa ia merasa kerja keras yang dimaksud agak rancu. Seakan pencapaian ini karena cinta semalam yang ia lakukan dengan Zahir.
“Mon, aku perlu bicara dengan Pak Zahir. Mbak Neli bilang beliau sibuk.”
“Itu ….” Mona menggaruk kepalanya, tidak yakin dan belum ada ide menjawabnya. Tadi pagi setelah ia berhasil membuat Zahir menuntaskan hasrat, ada pesan dari pria itu agar menjauhkan dari Adel yang mulai mengganggu. “Gimana ya?”
“Apa Pak Zahir tidak mau tanggung jawab?” tanya Adel lirih dan khawatir. Bahkan ia menggeser kursinya lebih dekat agar tidak perlu bicara keras dan percakapannya didengar yang lain.
“Hmm, gimana ya.” Mona tampak berpikir bahkan menggerakan jemari di atas meja.
Mendadak Adel merasa oksigen di ruangan itu menipis dan membuatnya sesak dan rongga dada yang terasa kembang kempis.
“Mon, nasib aku gimana kalau Pak Zahir tidak tanggung jawab.”
“Bukan gitu.” Mona berdecak kembali menggaruk kepalanya “Akhir-akhir ini Pak Zahir kayaknya bakal sibuk terus. Aku curi dengar dan sempat lihat jadwalnya di meja Neli. Katanya Presdir akan mengganti direktur kita. Sepertinya Pak Zahir jadi kandidat calon direktur itu, makanya beliau sibuk.”
Adel sudah mendengar kalau direktur akan diganti karena rencana mutasi untuk memimpin di perusahaan cabang. Namun, tidak tahu kalau Zahir menjadi kandidatnya.
“Tapi ini masalah harga diri dan masa depan aku, Mon. Tidak bisa diabaikan lalu memikirkan masa depannya sendiri. Dia janji mau tanggung jawab dan aku harus pastikan kapan. Bagaimana kalau dia berubah pikiran? Atau dia dijodohkan keluarganya?”
Adel bahkan sampai memegang lengan Mona dan menggoyang pelan karena khawatir dengan apa yang dipikirkan.
“Iya, aku paham. Nanti kita temui bersama. Kita kerja dulu deh, masa baru diangkat jadi karyawan eh besoknya dipecat.”
“Bantu aku bicara dengan dia ya,” mohon Adel dan dijawab Mona dengan anggukan.
‘Ck, bikin ribet aja,’ batin Mona.
***
Zahir melangkah cepat keluar dari lift menuju ruang rapat. Ia berada di lantai khusus direksi, dimana ruang kerja direktur juga presdir berada. Hampir ia terlambat, semua manajer sudah tiba hanya dia yang datang terakhir.
Rapat yang harusnya tadi pagi diundur setelah makan siang dan ia baru tahu. Entah salah Neli yang lambat info atau memang mendadak. Padahal ia baru saja makan siang dengan kekasihnya. Beruntung tidak terjebak macet. Sambil mengatur nafas dan menyentuh ikatan dasi khawatir tidak berada di tempatnya.
“Kayak yang capek, habis ngapain?”
Zahir hanya menghela nafas dan melirik sekilas pada Aldo manager HRD yang duduk di sampingnya. Aldo malah kembali berbisik membahas surat rekomendasi pengangkatan Adel dan Mona.
“Sepertinya ada udang di balik batu. Mana diantara mereka yang kamu manfaatkan?”
Zahir diam saja, ia fokus pada rapat ini. Sudah mendapatkan informasi dari salah satu pemegang saham, kalau namanya ada di kandidat pengangkatan direktur. Pintu ruangan terbuka dan masuklah seorang pria langsung duduk di kursi yang digunakan untuk pemimpin rapat
“Selamat siang.”
Semua peserta rapat menjawab sapaan itu, tapi tidak dengan Zahir. Yang ia tunggu adalah Indra Daswira, pimpinan tinggi di perusahaan itu -- Digital Solution Company -- juga pemegang saham terbesar. Namun, yang muncul malah Kemal, asisten dari Indra Daswira.
Meski hanya sebagai asisten Indra, Kemal sangat dipercaya dan tampak sebagai eksekutif muda.
“Sehubungan dengan ketidakhadiran Pak Indra yang harus menghadiri kegiatan lain dan tidak bisa dibatalkan apalagi digantikan dan rapat ini tetap harus berjalan. Saya menggantikan beliau menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian,” tutur Kemal sambil menatap para peserta rapat.
Zahir bersandar sambil menatap Kemal, mendengarkan apa yang disampaikan meskipun enggan. Ia harus bertemu Indra langsung, untuk menunjukan siapa dirinya agar pria itu lebih memperhitungkan posisinya.
“Seperti yang kita ketahui bersama kalau posisi direktur saat ini akan berganti, kurang lebih dua bulan lagi direktur yang sedang menjabat akan berpindah ke anak cabang di kota lain. Ada yang perlu menjadi perhatian, dua nama kandidat direktur baru adalah dari internal perusahaan sedangkan beberapa nama lain dari luar. Rekomendasi pemegang saham dan keluarga Pak Indra sendiri. Keputusan belum final, masih memungkinkan beliau akan menunjuk salah satu diantara kalian. Lakukan saja yang terbaik.”
Kemal terus bicara sesuai arahan sampai akhirnya rapat ia akhiri. Meninggalkan ruangan dan menuju ruang kerja Indra, ada berkas yang harus dia ambil.
“Pak Kemal, bisa bicara sebentar.”
Kemal menghentikan langkah dan menoleh, melirik arlojinya.
“Lima menit,” ujar Kemal. Bukan sok sibuk, tapi ia harus kembali mendampingi Indra Daswira.
Zahir terkekeh pelan. “Apa seorang asisten bisa sesibuk itu?”
Kemal mengernyitkan dahi lalu bersedekap dan memandang balik pria di hadapannya. Dari nada bicara, jelas pria ini merendahkan Kemal meski auranya terlihat meyakinkan.
‘Ah, Zahir Renaldi,' batin Kemal menyadari siapa pria di hadapannya.
“Waktu terus berjalan, to the point saja,” ujar Kemal.
“Oke,” sahut Zahir. “Pertemukan saja dengan Pak Indra, di luar kantor. Makan malam atau makan siang, bebas. Saya ikut jadwal beliau.”
“dan hal itu untuk ….”
“Temukan saja saya dengan beliau, katakan saja Zahir Renaldi ingin bertemu. Zahir, putra dari Murni Sari.”
Kemal tau maksud Zahir, ingin memperkuat posisinya. Bisa jadi ia akan melobi dan Murni Sari mungkin ada hubungannya dengan Indra di masa lalu.
“Saya sampaikan dulu pada beliau, tunggu kabar saja.” Kemal pun berbalik menuju ruang kerja Indra.
“Jangan sampai tidak, posisi kamu taruhannya,” ucap Zahir.
Kemal hanya tersenyum sinis dan melanjutkan langkah. Sampai di ruang kerja Indra, menuju meja kerja pria itu dan mengambil map yang dia butuhkan. Teringat sesuatu, Kemal pun mengeluarkan ponsel menghubungi seseorang.
“Halo, Bi. Gue udah kirim data yang lo minta. Gimana, masih betah dengan kerjaan lo sekarang. Ngangkat galon atau beli makan siang,” ujar Kemal lalu terkekeh.
Terdengar decakan di ujung sana. “Jangan nelpon di jam kerja, gue sibuk.”
Panggilan pun berakhir sepihak.
“Halah, dasar gondrong.”
Kemal mengetik pesan. [Zahir salah satu kandidat pengganti Pak Indra, atasan lo.] Pesan pun terkirim pada Abimanyu.
“Kita lihat apa reaksinya,” ucap Kemal dengan senyum smirk.
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan