Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketukan di tengah malam
Albrecht benar-benar tidak bisa menahan keterkejutannya. Suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan, “Apa? Mereka adalah pelayanmu?”
Lucien ikut mengerjap, tatapannya bergantian ke arah Rosella lalu kembali pada Orion, seolah masih mencoba mencerna kalimat barusan. Selena sendiri tampak tercekat, bibirnya terkatup rapat, tidak yakin harus bicara atau diam.
Orion hanya mengangkat sudut bibirnya, senyum miring yang sama sekali tidak mengandung kehangatan. “Pelayan rendahan yang berada di kediaman Dreadholt,” ucapnya datar, namun cukup lantang untuk membuat semua orang mendengarnya.
Kata-kata itu jatuh begitu saja, tetapi rasanya menusuk lebih tajam dari pedang. Hati Rosella seakan teriris, dadanya perih seolah ada sesuatu yang diremas paksa. Namun ia menelan sakit itu bulat-bulat. Tidak ada ruang untuk menunjukkan kelemahan di depan orang-orang seperti mereka. Dengan gerakan yang tenang, ia menundukkan kepala, sikap tubuhnya serupa seorang pelayan yang tahu tempatnya.
“Jika saya adalah pelayan rendahan, maka akan lebih baik jika saya cepat menghindar dari hadapan anda, Tuan Duke,” ujarnya dengan suara rendah, hormat, namun terdengar jelas.
Lojareth sempat melirik tajam ke arah Orion, ada sesuatu dalam tatapannya—keheranan, mungkin juga ketidaksukaan—tetapi ia memilih bungkam. Sementara Albrecht dan Lucien saling pandang, sama-sama bingung dengan sikap keras Orion terhadap seorang gadis, yang baru beberapa saat lalu, mereka lihat berani menantang preman pasar.
Ekspresi Orion sendiri mendadak berubah datar. Tidak ada lagi senyum miring, tidak ada kilatan emosi. Tatapannya kosong, seakan semua perasaan telah ia kunci rapat-rapat. Justru ketenangan itu yang membuat suasana semakin menekan.
Rosella kemudian menarik perlahan lengan Feya, memberi isyarat halus agar mereka segera pergi. Feya menurut, meski matanya sempat menatap Orion dengan gugup. Tanpa menoleh ke belakang lagi, keduanya melangkah, meninggalkan kerumunan yang masih diliputi rasa heran.
Setiap langkah menjauh terasa berat. Rosella tidak mendengar lagi keributan pasar, tidak mendengar bisik-bisik orang di sekitarnya. Yang ia rasakan hanya detak jantung yang kacau, dan pandangan yang mulai kabur. Air mata membuncah di pelupuknya, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Tidak boleh menangis di depan orang-orang itu. Tidak boleh.
Feya melirik ke samping, menatap Rosella yang diam-diam berjuang menjaga wajahnya tetap tegar. Kekhawatiran langsung merayapi dirinya. “Rosella ...,” ucapnya lirih, suaranya hampir pecah. Lalu, ketika mereka sudah cukup jauh dari pusat keramaian, ia tak bisa menahan diri lagi. “Bukankah Tuan Duke terlalu berlebihan?! Ucapannya cukup pedas di dengar,” gerutunya, nada suaranya penuh protes, meski lirih karena takut ada yang mendengar.
Rosella berhenti sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh dengan senyum tipis yang lebih mirip upaya menyamarkan luka. “Aku baik-baik saja,” katanya pelan.
Tapi Feya bisa melihat jelas, mata Rosella berkilat lembap. “Kau tidak harus berpura-pura di depanku,” ucap Feya lagi, kali ini lebih lembut. “Aku tahu kata-katanya menyakitkan. Kau sudah cukup kuat menahannya, tapi … aku tidak tahan melihatmu diperlakukan seperti itu.”
Rosella hanya tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Kuat atau tidak, aku hanya seorang pelayan di mata mereka. Itu kenyataan yang tidak bisa kuubah, setidaknya untuk saat ini.”
Feya meraih tangannya, menggenggam erat. “Meskipun begitu, bukan berarti mereka berhak merendahkanmu. Kau lebih dari sekadar pelayan, aku tahu itu. Kalau saja mereka mau melihat lebih dalam.” Suaranya mereda, penuh getir.
Langkah mereka kembali berlanjut. Rosella menunduk, menatap batu jalan di bawah kakinya. Dalam hati, ia berkata pada dirinya sendiri. Tidak apa-apa. Aku akan bertahan. Aku tidak akan selamanya berada di titik ini. Namun semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin perih luka di hatinya terasa.
Udara sore yang dingin menusuk, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya bergetar. Bukan karena angin, melainkan karena harga dirinya yang diinjak di depan banyak mata, oleh lelaki yang paling berkuasa di Dreadholt—dan yang diam-diam, paling sulit ia lepaskan dari hatinya.
~oo0oo~
Malam menutup Dreadholt dalam selimut kelam. Awan tebal merayap di atas langit, menelan hampir seluruh sinar bulan hingga gedung-gedung tua tampak seperti bayang-bayang tanpa wajah. Di kamar sempit yang hanya diterangi remang lilin, Rosella duduk menatap jendela—kaca mengembun, rintik hujan mulai mengetuk ritmis, dan angin menggulung kata-kata yang tak sempat keluar dari bibirnya.
Ia menyandarkan kepala pada bingkai jendela, menutup mata sejenak, lalu membiarkan kerongkongan itu memecah suara kecil, rapuh, seperti benang yang putus. “Ibu,” gumamnya, suaranya serak. “Andai … andai aku sempat melihat wajahmu, meski hanya satu detik.” Kata-katanya tidak meminta jawaban—ia berbicara kepada ruang kosong, pada udara yang menelan segala pengakuan.
Bayangan ibunya muncul samar di khayalan yang tak akan pernah ia rasakan, aroma sabun yang sederhana, tangan yang menuntun ketika kaki kecilnya tersandung, dan tawa yang pernah menempel di sudut-sudut rumah. Semua itu seakan terasa seperti lukisan yang dicopot dari dinding, indah, rapuh, dan mudah hancur. Rosella menunduk, menekan telapak tangan ke bibirnya agar suara isak tak berubah menjadi jerit.
“Apa benar rumor itu—bahwa aku anak pembawa sial?” Ia menatap ke langit malam, berharap ada jawaban dari kegelapan. “Aku tidak menuntut kasih sayang dari ayah, tapi kenapa dia menjadikan aku seperti ini?” Suaranya naik sedikit, tersayat, penuh tanya yang tak mungkin dijawab.
Ia membayangkan, dalam kebohongan kecil yang sering ia buat sendiri, bagaimana seharusnya hidupnya bila ibunya masih ada—apakah ayah akan berubah? Atau apakah semuanya sudah ditakdirkan sedemikian rupa, sehingga cinta mereka menjadi bayangan yang membekas sekaligus menghancurkan?
Hujan turun semakin deras, memecah suasana jadi denting-denting tajam di atap. Petir menyambar, sekali kilat menerangi kamar dan membuat tubuh Rosella menegang. Dadanya terasa penuh, seperti orang yang mencoba menahan api di dalam rongga dada. Kata-kata kasarnya mulai mengalir, nadanya getir: “Kalau kalian menyesal telah membiarkanku lahir, seharusnya dari awal kalian mengakhiri nyawaku saja.” Suara itu bukan lagi gertakan kosong—ia berbicara pada luka yang membara, pada kemarahan yang tak pernah punya tempat untuk meledak.
Tangisnya meledak. Ia terisak, wajahnya memerah, bahu-bahunya berguncang. Air mata mengalir tanpa kendali, menurunkan topeng tenang yang selama ini ia kenakan di muka umum. Di sana, di dalam gelap kamar, ia boleh runtuh.
Tiba-tiba, di antara gemericik hujan, terdengar suara ketukan halus di ambang jendela—sebuah ketukan yang bukan berasal dari angin. Rosella tersentak, meraih saputangan, menyeka wajahnya, lalu menoleh. Seekor gagak hitam berdiri di ambang jendela, bulunya basah, matanya cerdas menatapnya tanpa berkedip. Di paruhnya tergenggam gulungan kertas yang dilipat rapi, diikat seutas benang tipis.
Tenebris.
Rosella menahan nafas. Burung hitam itu melintas di kepala seperti bunyi bel yang tidak asing, lalu tiba-tiba terasa menoreh. Ia meraih surat itu dengan tangan gemetar, membuka lipatan kertas yang sudah sedikit lembab karena hujan. Sekali kilat menyorot, bayangan huruf-huruf itu tampak seperti tatu di kulitnya.
Di dalamnya hanya ada satu kalimat, pendek namun membawa medan yang berat.
“Aku menunggumu di kediamanku.”
Di ujungnya, tanda tangan—Orion.
Burung gagak hitam itu mengepakkan sayapnya lalu pergi begitu saja, menyisakan udara malam yang makin dingin. Rosella berdiri terpaku, jemarinya masih mencengkeram surat yang baru saja ia baca. Dengan geram ia merobek kertas itu, potongan-potongan kecil berjatuhan di lantai seperti salju tipis. Seakan ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa surat itu tidak pernah ada, bahwa ia tidak pernah menerimanya. Namun, amarah yang bercampur dengan resah justru semakin merambati dadanya.
Pikiran Rosella kalut. Ada rasa asing sekaligus akrab yang membuat bulu kuduknya meremang. Ia menatap keluar jendela yang masih basah oleh hujan. Burung gagak itu … bukankah ia pernah melihatnya sebelumnya? Ingatan samar tentang taman bunga beberapa waktu lalu muncul dalam benaknya. Ya, gagak hitam yang bertengger tak jauh darinya waktu itu. Tak salah lagi—itu pasti adalah gagak milik sang Duke.
Rosella menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat hendak menutup gorden usang yang separuhnya robek. Tapi tiba-tiba saja suara ketukan terdengar lagi di kaca jendela. Degup jantungnya melonjak. Ia menoleh cepat, dan benar saja, burung itu kembali, sayapnya basah kuyup, bulu-bulunya meneteskan air hujan. Rosella sempat ragu, hatinya menolak, tapi melihat makhluk itu menggigil di luar membuatnya luluh. Dengan berat hati, ia kembali membuka jendela.
Burung gagak itu melompat masuk, membawa gulungan surat lain di kakinya. Rosella mendesah kesal, namun tangannya tetap meraih kertas itu. Sebelum membukanya, ia meraih Tenebris yang tergeletak di meja, lalu dengan seulas kain kusut miliknya ia mengusap perlahan bulu burung itu. “Dasar makhluk keras kepala …,” gumamnya, setengah kesal setengah iba, meski hatinya sadar gagak itu hanyalah perpanjangan tangan tuannya.
Ketika bulu hitam itu sudah kering, Rosella akhirnya membuka surat kedua. Tulisan yang tergores di sana membuat matanya membesar, dadanya serasa diremas.
"Jika kau tidak mendengarkan perintahku, maka aku sendiri yang akan pergi ke tempatmu. Kita lihat bagaimana reaksi para pelayan ketika mereka menyaksikannya."
Rosella menutup mulutnya dengan tangan. Kedua bola matanya membulat sempurna, sorotnya bergetar antara takut dan marah. Ia mengepalkan surat itu, hingga kertasnya nyaris hancur di genggamannya. “Sialan! laki-laki itu benar-benar tidak tahu malu!” umpatnya berkali-kali, suara tercekat di tenggorokannya.
Ia mendesah panjang, pundaknya turun, napasnya tersengal. Pasrah. Tak ada ruang untuk melawan kali ini. Dengan enggan Rosella meraih kembali pakaian pelayan yang sempat ia lepas sebelumnya. Jemarinya gemetar saat mengenakan pakaian itu, kain lusuh menempel di kulitnya yang masih terasa lembap oleh udara malam.
Namun baru saja ia menggenggam gagang pintu, udara di baliknya terasa berubah. Rosella menelan ludah, mencoba menyiapkan diri. Saat pintu terbuka, gerakannya langsung terhenti.
Di hadapannya berdiri sosok yang sama sekali tidak asing. Lelaki itu, tinggi dengan sorot mata menusuk, berdiri di ambang pintu kamar seolah memang pemilik ruangan ini. Sebuah senyum tipis tanpa arti terukir di wajahnya, senyum yang membuat darah Rosella mendidih sekaligus membuat tubuhnya gemetar.
Tanpa sepatah kata pun, tanpa meminta izin, Duke Orion von Draevenhart melangkah masuk. Sepatunya menjejak lantai batu, suara langkahnya berat dan penuh kuasa. Seolah dunia di sekitarnya langsung terdiam, hanya menyisakan ketegangan di udara.
Rosella terperangah, tubuhnya kaku. Keberaniannya tadi terkikis oleh kenyataan—bahwa lelaki itu benar-benar datang, seperti ancamannya.
.
.
.
Bersambung ....
masak gitu aja ga ngerti 😁