Amira, wanita cantik berumur 19 tahun itu di jodohkan dengan Rayhan yang berprofesi sebagai Dokter. Keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan. Namun Amira dan Rayhan tidak menginginkan perjodohan ini.
Rayhan pria berumur 30 tahun itu masih belum bisa melupakan mendiang istrinya yang meninggal karena kecelakaan, juga Amira yang sudah memiliki seorang kekasih. Keduanya memiliki seseorang di dalam hati mereka sehingga berat untuk melakukan pernikahan atas dasar perjodohan ini.
Bagaimana kisah cinta mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin Aprilian04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kemarahan Rayhan
Hati Amira bergetar saat Rayhan kini menatapnya dengan tatapan marah.
"Baru pulang jam segini darimana aja?"
Amira menunduk, meremas jari-jari tangannya kuat. "Da-dari ulang tahunnya temen, Mas."
"Sampai jam segini?" Pria itu menatap dingin. Melipatkan kedua tangannya di dada. Mendekati Amira yang terlihat begitu takut menatapnya.
"Maaf!"
"Liat jam berapa sekarang!" Tegas Rayhan.
Amira mendongakan kepalanya, menatap jam dinding berwarna putih itu yang kini menunjukan pukul 09 malam. Ini rekor seumur hidupnya ia pulang malam. Dulu ia pulang abis isya pun Abinya sudah sangat marah besar.
"Amira punya alasannya, Mas!"
"Emang boleh keluar rumah tanpa izin suami?" Rayhan belum puas mendakwa istrinya tersebut.
"Handphone Amira lowbat, Mas. Jadi Amira... "
"Emang gak bisa hubungi lewat hp teman?" Rayhan memotong pembicaraan.
Amira menatap sekilas Rayhan, melihat pria itu untuk pertama kalinya marah. Raut wajahnya datar, namun entah mengapa ada rasa takut di dadanya.
Rayhan duduk di sofa, menghembuskan nafasnya kasar lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. Amira pun mengikuti Rayhan duduk di sampingnya.
"Amira gak tahu nomor Mas." Amira menunduk dalam.
"Kalau gitu jangan pergi tanpa izin suami. Pulang dulu, izin dulu, kalau di perbolehkan maka pergi."
"Tapi tadi temen-temen maksa, Mas. Amira gak enak!"
"Penting teman apa suami?" Suara tegas pria itu cukup mendominasi. Membuat jantung Amira semakin berdebar.
"Suami, Mas!"
"Lalu?"
"Yaa Amira minta maaf, Mas!" Amira memegang lengan Rayhan. Entah kenapa ia yang biasanya berani pada Rayhan, kini mendadak kikuk dan takut akan kemarahan pria itu. Benar saja kata orang, seseorang yang jarang marah ketika marah akan sangat menakutkan.
"Gimana kalau ada apa-apa sama kamu?" Rayhan menghela nafas, "Anak perempuan itu sebelum magrib wajib sudah harus di rumah. Selebihnya boleh keluar kalau di temani makhramnya yaitu saya sebagai suami kamu!"
Rayhan kini melangkahkan kakinya pergi menuju kamar. Meninggalkan Amira yang masih menunduk merasa bersalah.
Melihat suaminya yang pergi, rasa takut Amira seketika menjadi-jadi. Ia mengayunkan langkahnya menghampiri Rayhan yang kini tengah menyandarkan tubuhnya di kasur. Pria itu menatap lurus ke arah televisi seolah tak menghiraukan kehadiran Amira.
Amira kini duduk di bawah ranjang, tepat di samping Rayhan. Ia menatap Rayhan penuh dengan keseganan. Laki-laki itu benar-benar marah padanya.
"Maafin Amira, Mas!" Amira memegang lengan Rayhan. Menatapnya penuh dengan tatapan permohonan.
Rayhan terdiam, dia bahkan kini memainkan handphonenya seolah tak peduli dengan Amira.
"Mas!"
"Mas!"
"Iiihh, maafin aku dong, Maass!"
Hiks
Amira menangis, air mata yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya luruh juga membasahi pipinya. Seketika Rayhan menatap Amira, tak menyangka wanita itu akan menangis karena kemarahannya.
Ada rasa tak tega melihat Amira, ia paling tak bisa melihat wanita menangis. Rayhan kini mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Amira. Lalu mengusap puncak kepala wanita itu penuh kelembutan.
"Iyaa Mas maafin, ya udah jangan nangis yaa!" Rayhan mengangkat tubuh Amira agar wanita duduk di sampingnya. Amira pun menurut, wanita itu masih menangis menatap Rayhan penuh permohonan.
"Lain kali jangan ulangi lagi yaa. Kalau kemana pun harus bilang, biar Mas gak khawatir!" ujar Rayhan membelai pipi lembut Amira.
"Iyaa tapi Amira kan tadi udah berusaha bilang. Lagian hpnya emang lowbat. Tadinya juga Amira gak akan ikut tapi temen-temen maksa. Amira jadi gak enak, apalagi semua temen sekelas pada ikut. Bahkan waktu disana Amira gak menikmatinya, Amira inget sama Mas karena belum bilang. Jadi ini semua bukan salah Amira, Mas. Amira udah berusaha kok." Amira menangis sesegukan, membuat Rayhan mengulum senyum melihat Amira lucu.
"Jadi siapa dong yang salah?"
"Keadaan!" Singkat Amira mengerucutkan bibirnya.
"Oohh gitu yaa. Emang dasar yaa wanita gak pernah salah." Rayhan terkekeh pelan.
"Ish!" Amira mengusap kasar air matanya.
"Udah dong jangan nangis, kan Mas udah maafin kamu."
"Lagian marahnya serem amat sih."
"Serem gimana? Mas cuman nanya biasa kok, ga pakai bentak-bentak!"
"Yaa tapi nyeremin, lebih serem dari Abi dan Kak Rasyid. Kalian bertiga udah kaya hakim buat Amira!"
"Hahaha!" Rayhan tertawa renyah mendengar penuturan Amira.
***
Amira baru saja membersihkan dirinya, kali ini ia memakai piyama berwarna pink muda. Rambut coklatnya di ikat asal, membuat leher jenjangnya terlihat dengan sempurna. Lalu ia duduk di sofa seraya memainkan handphonenya.
"Sudah makan?" Rayhan duduk di sebelah Amira. Ia menatap wajah cantik istri mudanya itu yang semakin terlihat menarik ketika polos tanpa make up.
Tak di pungkiri sebagai laki-laki dewasa yang normal Rayhan selalu tertarik akan tubuh Amira. Ia bahkan sering beristigfar untuk tidak melakukan hal yang di larang oleh Allah untuk menuntaskan hasrat kelelakiannya. Karena Amira sepertinya masih belum siap untuk memberikan haknya.
"Udah tadi!" Jawabnya dengan nada manja.
Ada satu perubahan yang di rasa Rayhan, Amira akhir-akhir ini bersikap layaknya seorang istri. Yang sedikit nurut dan sedikit manja. Meski belum sepenuhnya keluar sifat asli istrinya itu, namun setidaknya sudah ada perubahan.
"Gimana hari ini?" Rayhan mengusap lembut puncak kepala Amira.
"Hari ini setengah bahagia setengahnya lagi kesel. Bahagianya karena aku punya temen baruu yang sangat baik. Dia juga sangat seru dan orangnya humoris. Dia gaul tapi tetep islami. Cantik tapi agak tomboy anaknya. Kalau zaman bahasa gaulnya sih sekarang yalil yalili versi gaulnya!"
Rayhan tertawa kecil mendengar penuturan Amira. Gen Z emang ada-ada aja bahasanya.
"Terus?"
"Yaa terus keselnya adaa aja. Mas aku mau curhat yaa. Tapi janji jangan marah. Pokoknya jangan marah, soalnya aku juga sebel sama dia!"
"Hmmm, apa?" Rayhan mengangguk dengan mata yang tertuju pada salah satu film di televisi.
"Iiihh, di dengerin gak sih istrinya ngomong itu?" Amira mengerucutkan bibirnya.
"Iya di dengerin dong!"
"Istrinya ngomong malah liat TV gimana sih!" Amira menatap Rayhan kesal.
Sedangkan Rayhan terkekeh pelan. Istri kecilnya ini selalu saja marah karena hal-hal kecil.
"Iyaa apa? Nih saya dengerin!" Rayhan menatap Amira dengan senyuman. Ia menangkup dagu nya sehingga wajahnya kini berhadapan dengan wajah Amira.Tatapannya lembut, menatap manik mata indah itu dengan puas. Membuat Amira sedikit salah tingkah.
"Ish, gak gitu juga kali!" Amira mendorong pelan wajah Rayhan dengan jari-jari tangannya malu.
Rayhan terkekeh pelan, lagi-lagi ia menuruti keinginan istrinya. Ia sedikit menjauhkan wajahnya dari wajah cantik Amira.
"Iya apaa?"
"Aku kesel sama temen.... "
Amira sejenak menghentikan bicaranya. Ia berpikir lebih jernih untuk mengatakan hal ini atau tidak. Jangankan suaminya itu tau ada orang yang menyukainya, ada pria yang jarak dekat dengannya pun suaminya itu tidak boleh.
Gak, ini sama saja dengan bunuh diri.
"Temen?" Rayhan mendongakan kepalanya menatap Amira.
"Oh iyaa, temen perempuan aku ada yang lumayan ngeselin." Amira menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Gak boleh gitu sama orang. Kita jadi manusia berbuat baik saja. Masalah orang lain bagaimana dengan kita, itu urusan dia dengan Allah. Yang penting hati kita selalu bersih. Jauh dari sifat benci, dendam apalagi iri."
Amira menghela nafas, mulai Rayhan ceramah lagi di depannya. Tapi entah kenapa ceramah Rayhan kali ini bisa di terimanya.
"Iyaa!" Amira mengangguk.
"Anak pinter!" Rayhan mengusap puncak kepala Amira.
***
Jam kini menunjukan pukul 03.00. Rayhan baru saja menyelesaikan shalat tahajudnya. Sengaja ia tak membangunkan Amira karena tak tega melihat wajah istrinya yang tampak sangat kelelahan. Kali ini Rayhan tidak akan terlalu memaksa Amira dengan jadwal ibadah yang di inginkan nya, karena Amira sudah banyak perubahan. Bahkan tanpa di suruh pun, Amira kini mau shalat tahajud dan membaca Al-Quran.
Rayhan kini duduk di tepi ranjang, menatap wajah cantik Amira yang tengah memejamkan matanya. Tanpa sadar sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Tangannya mengelus lembut rambut indah nan lembut itu.
Cup
Satu kecupan kini bersarang di kening Amira. Lalu melantunkan do'a tepat di ubun-ubun sang istri.
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya: "Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (QS Al-Furqan: 74).
Rayhan tersenyum, menatap Amira yang sama sekali tidak terusik dengan pergerakannya.
Lama memandangi Amira, kini Handphonenya tiba-tiba bergetar. Rayhan mengayunkan langkahnya hendak membawa ponselnya di atas nakas, dan dilihatnya ternyata panggilan dari Rasyid Kakak iparnya. Dengan cepat Rayhan mengangkat telepon itu .
"Assalamualaikum!" ujar Rayhan.
"Wa'alaikumsalam, kamu dimana Ray sekarang?"
"Di rumah, emang ada apa?"
"Abi di larikan ke Rumah Sakit. Kalau bisa sekarang juga ke Rumah sakit bareng Amira."
"Astagfirullah, kenapa bisa?" Rayhan terkejut panik. "Okay aku kesana sekarang juga."
"Susah jelasin nya, pokoknya kesini sekarang. Jangan kasih tahu Amira yang sebenarnya, dia gampang panik."
"Okay, gue kesana sekarang!"