_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dijemput Paksa
Alsid yang duduk di depan meja, kedua tangannya menutupi wajah. Napasnya berat, seperti baru saja lari maraton. Ucapan Celia beberapa menit lalu masih terngiang jelas di kepalanya. “Kalau ini benar kiriman dari dukun hebat, kamu enggak akan bisa menangkalnya, Sid. Kecuali… kamu berhenti berpura-pura jadi dukun.”
“Kecuali berhenti berpura-pura…? Hah, semudah itu?” gumamnya, namun nadanya terdengar getir.
"Ya, kalau kamu berani berhadapan dengan dunia gaib, kamu juga harus berani menerima resiko semacam ini. Dunia gaib itu, bukanlah main-main." tambah Celia.
Demian yang duduk di sebelah Alsid, mengamati temannya yang gelisah. “Ya, kalau dipikir-pikir, itu masuk akal. Mungkin dukun yang nyerang kamu itu ngerasa tersaingi. Kamu kan sekarang lagi naik daun, semua orang ngomongin kamu, nyari jasa kamu… apalagi pas tau kamu nerima pasien tanpa bayaran karena lagi promo. Sama aja kan kayak matiin usaha mereka, persaingan gak sehat gitu."
Alsid tak terima mendengarnya, alisnya berkerut cepat dan menatap Demian dengan lekat. "Gak sehat apanya. Namanya juga promo, ya emang kayak gitu kan. Orang baru buka usaha pake cara itu buat ngenalin produknya ke orang lain. Ini kan masalah rezeki. Kan gak semua orang suka yang gratis kalau gak bagus, apalagi para dukun suhu itu kan pasti punya langganan tetap. Matiin usaha gimana!" protesnya, terlihat kesal dari alisnya yang terus bertautan.
"Ya emang bener. Tapi semua orang kan kalau nenger kata gratis, percaya gak percaya pasti mau dateng. Seenggaknya mau tau lah gimana, meskipun mereka gak sakit. Kayak warung makan lah, meskipun mereka kenyang, tapi mereka tetep dateng buat nyobain. Toh, gratis. Dukun pun gitu. Mereka gak tau aja, padahal dukunnya, ya—”
“Padahal gue bukan dukun beneran maksud elu?” potong Alsid, memutar bola matanya. “Tapi masak sih dia segitunya dendam cuma gara-gara gue populer? Dia kan udah senior, harusnya santai aja.”
Demian mengangkat bahu. “Namanya juga manusia. Kalau rezeki mereka ketutup, ya pasti ada yang enggak terima.”
Celia yang duduk di meja kecil sambil menyeruput teh mengangkat alis. “Makanya, aku bilang, kenapa enggak sekalian aja belajar beneran? Cari guru, belajar jadi dukun betulan. Biar kamu punya benteng. Gak sekedar jadi penipu kayak gitu. Dan kalau ada dukun yang nyerang pun, kamu pasti bakalan aman."
Alsid langsung mengibaskan tangan, seolah menepis ide itu secara fisik. “Aduh, enggak deh. Nanti kalau udah jadi beneran, malah tambah ribet. Gue enggak mau tiba-tiba punya klien tiap hari, apalagi kalau harus ngadepin setan-setan asli. Lagian, pasti ada cara lain buat nangkal ini semua.”
Demian melirik Celia dan menggeleng kecil. “Sid, kadang cara yang paling aman itu yang udah jelas. Kalau kamu enggak mau jadi dukun beneran, ya berarti satu-satunya jalan… ya berhenti bohongin orang.”
Alsid terdiam, wajahnya menegang. Namun ia tak membalas.
"Kamu itu lagi kena batunya, Sid." tambah Demian.
Alsid dengan cepat melotot ke arah anak berambut kekuningan itu. "Heh!! Batu batu, mau lu gue tumbuk pake batu?!" ocehnya.
Namun dalam hatinya, Alsid merasa lumayan gusar. Ia tak tau cara menghadapi hal-hal gaib semacam itu. Kalau ia mati kena santet, bagaimana?? Padahal dia kan belum terkenal-terkenal banget.
...****************...
Hari menunjukkan pukul tujuh kurang, mereka tetap berangkat sekolah seperti biasa. Langkah Alsid terasa lebih cepat ketika keluar dari mobil, lebih cepat dari biasanya, entah karena ingin menghindari obrolan tadi atau memang buru-buru. Demian, yang masih mengantuk karena kekenyangan, nyaris tertinggal.
"Hoi, tunggu!" sergah Demian sambil berlari kecil, mengejar.
"Cepetan!!" balasnya dingin.
Mereka masuk ke kelas dan belajar seperti biasa. Demian yang awalnya fokus dengan pembelajaran merasa terganggu dengan raut wajah teman di sebelahnya yang mirip taik ayam, hancur.
Demian tau kalau Alsid khawatir, dan mungkin takut. Toh mereka sama-sama orang awam di dunia gaib, meskipun kadang Demian sudah di spill sedikit mengenai kekuatan tak jelasnya itu, tapi tetap saja.. ia merasa belum mampu menolong atau bahkan membentengi Alsid.
Padahal Alsid baik dan mau menampungnya meski dengan sisa uang yang sedikit. Kalau mereka betulan di serang secara gaib, tentu obat medis tak akan berpengaruh. Lantas, kemana mereka akan meminta bantuan? Mereka saja sudah menamai diri mereka dukun. Memangnya ada dukun yang berobat ke dukun?? Melawak saja!
Saat jam istirahat, Alsid tiba-tiba menarik tangan Demian. “Deym, makan di kantin bareng yuk.”
Demian mengerutkan dahi. “Kantin? Yang bener aja, gak biasanya—”
“Tenang aja, gue lagi pengen nraktir elu makan enak,” potong Alsid cepat. “Kali ini gue lagi banyak duit, hasil kerja keras sebagai dukun fenomenal dan tentu aja karena bantuan asisten pribadi dukun yang warna indongo ini.”
"Indigo!!" Demian mengoreksi dengan kesal.
"Ya itulah! Selama nemenin gue sekolah, gue belum pernah ngajak elu ke kantin kan? Nah, sekarang lah saatnya!!" lanjut Alsid sambil beranjak.
Demian pura-pura mendengus. “Ya apa boleh buat lah, kalau udah di paksa-paksa.” Tapi ia tetap mengikuti.
Mereka melangkah bersama menuju ke kantin sekolah yang entah dimana keberadaannya. Begitu masuk, Demian melongo. Kantin sekolah itu ternyata tidak seperti kantin biasa. Ruangannya luas, meja-meja kayu berlapis kaca, kursinya empuk, dan di sudut ada etalase roti serta minuman dingin. Aroma kopi dan makanan mahal memenuhi udara.
Demian menelan ludah bersamaan dengan aroma enak dari makanan. Ia dulu biasa melakukan ini kalau lapar, mencium aroma dan menelan ludah saja sudah membuatnya bisa membayangkan rasa makanannya. “Gila… ini kayak kafe atau restoran bintang empat,” gumamnya. "Beneran gak kamu ajak aku makan kesini? Nanti mahal, kamu punya uang?"
“Sebenarnya gue jarang ke sini pas kabur dari rumah. Mahal, Bro. Tapi sekali-kali, enggak apa-apa lah, itung-itung reward ke diri sendiri dan temen gue yang penakut ini.” kata Alsid sambil menyengir dan memesan menu di daftar.
Saat mereka makan, Demian memandang temannya itu lama-lama. “Sid, aku kepikiran ucapan Celia kemarin. Kalau kamu enggak mau belajar jadi dukun beneran, ya setidaknya deketin diri sama Allah. Shalat lima waktu, doa tiap hari, minta perlindungan dari yang di Atas. Aku rasa itu adalah benteng terbaik untuk kita dari segala hal-hal jahat.”
Alsid menghela napas, memainkan sendoknya. “Gue tahu elu bakal bilang gitu. Karena ya, gue kan emang bolong-bolong banget ibadahnya. Mungkin ini salah satu teguran juga ya, biar gue mendekat pada Allah.” Ia berhenti sebentar, lalu tersenyum miring. “Oke deh. Sepulang sekolah, kita mampir ke masjid. Dikit-dikit dulu aja kali ya, lu ingetin gue juga nanti ya.”
Demian hanya tersenyum tipis.
...****************...
Matahari sore masih terik saat mereka melangkah keluar dari gerbang sekolah, tepat pukul 13;45. Sesuai janji, Alsid mengajak Demian mampir ke masjid yang letaknya sejalan dengan kosan mereka. Bangunannya sederhana tapi bersih, dengan kubah kecil berwarna hijau.
Mereka masuk ke halaman masjid. Udara di sini terasa lebih sejuk, tenang. Alsid bersama Demian langsung menuju tempat wudhu. Alsid menggulung lengan bajunya yang panjang lalu membungkuk. Hampir saja ponsel di saku bajunya terjatuh, beruntung ia cepat menangkapnya. “Deym, lu mau nolongin gue gak?"
Demian yang hendak memutar keran menoleh. "Apa tuh?"
Alsid menyengir sambil menyodorkan hp dan kunci mobil kepada Demian. "Hehe, tolong taruh HP di mobil, ya. Takut basah.”
“Siap,” jawab Demian polos, lalu melangkah menuju mobil Alsid yang terparkir di sisi jalan. Ia merogoh saku, mengeluarkan kunci mobil, dan menekan tombolnya. Beep.
Demian mengernyit ketika suara Beep itu tak berasal dari mobil di hadapannya, melainkan di beberapa baris mobil di belakangnya.
"Loh, salah mobil toh." gumamnya bingung.
Demian membeku sepersekian detik. Dari dalam, keluar tiga orang bertubuh kekar, wajah mereka keras, tatapan dingin. Pakaian mereka rapi, tapi gerakan mereka cepat dan terkoordinasi.
“Masuk,” ucap salah satu dengan suara berat.
Demian spontan mundur satu langkah. “Siapa kalian?!”
Mereka tak menjawab. Dua orang langsung bergerak, memegang kedua lengannya dengan cengkeraman kuat. Demian meronta, berusaha melepaskan diri, tapi tenaga mereka jauh di atas rata-rata.
“Hei! Lepasin aku!” teriak Demian, suaranya menggema di jalanan. Namun orang-orang sekitar hanya menoleh sebentar lalu kembali sibuk. Entah mereka takut, atau menganggap ini hanya urusan pribadi.
“Cepat!” perintah yang di dalam mobil.
"Siapa sih? Bukan satpol PP kan? Jadi penculik? Lepasin! Aku bilang lepasin!” teriak Demian, berusaha memukul, tapi lengannya terjepit dan karena ia lumayan kurus, tentu saja ia kalah telak.
“Diam,” ujar salah satu bodyguard.
"Apa salahku? Aku gak punya uang kok." ucapnya ketakutan.
Demian ditarik masuk, tubuhnya terdorong hingga terjatuh di kursi belakang. Pintu menutup rapat, dan suara klik kunci terdengar lagi.
Mobil melaju, meninggalkan halaman masjid.
Sementara di teras masjid, Alsid yang baru selesai wudhu berjalan santai… tidak tahu bahwa temannya baru saja diculik tepat di depan masjid.
Bersambung…
kalou gak kena pasien akan ngebalik ke yang ngobatin maka jangan main main dengan peran dukun karena itu akan kembali ke kita kalau kekuatanya lebih kuat dari kita
semangat terus KA rimaaa, penasaran banget kelanjutan nyaa.
bikin penasaran