_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Masa Lalu
Udara malam itu terasa berat. Lampu ruang makan menyala temaram, memantulkan bayangan sendok dan piring di atas meja kayu yang sudah mulai kusam.
Demian duduk diam, memandangi sisa nasi di piringnya. Suara jam dinding terdengar jelas di telinganya, tik-tok… tik-tok… seperti menghitung jarak menuju sesuatu yang tak ia mengerti.
Alsid menatap lekat, terdiam beberapa detik, lalu tertawa pendek—tawa yang sama sekali tak lucu. “Dia minta elu bilang ke gue kalau mama sakit, supaya gue pulang ke rumah dan jenguk mama?" tatapan Alsid menjadi tajam pada Demian.
"Sakit parah, ya?” gumamnya. “Kalau itu emang benar, dan kalau dia yang udah ngomong hal itu, berarti ada maksud lain di baliknya.”
Celia, yang duduk di ujung meja, menoleh ke arah mereka. Meski ia tak tahu pasti siapa orang yang mereka bicarakan, tapi mata gaibnya bisa menerawang dan menembus apa-apa yang mereka jelaskan serta maksudnya.
Wanita itu mengangkat bahu, lalu bangkit membereskan piring, seolah enggan perduli dengan percakapan mereka. Namun dari sudut mata, Demian bisa melihat Celia sebenarnya penasaran.
Dan tentu, Celia sudah mempunyai jawaban dari apa yang mereka pertanyakan, ia hanya berusaha diam. Begitu Celia masuk ke dapur, Alsid mencondongkan tubuhnya.
“Gue nggak akan bertele-tele, Dem. Kirana itu… orang yang dulu pernah hampir ngehancurin keluarga gue, dan kayaknya sekarang misi itu belum berubah sama sekali.”
Ingatan lama perlahan menyeret Alsid ke masa lalunya…
Suara sendok di meja memudar, berganti dengan gema traumatis yang pernah ia dengar bertahun-tahun lalu…
Alsid memejamkan mata sejenak, seperti berusaha mengumpulkan potongan masa lalu yang tak ingin diingatnya.
“Waktu gue masih tinggal di rumah besar… Papa sering kedatangan tamu. Salah satunya Kirana. Dia selalu datang dengan senyum manis, bawa tas mahal, parfum wangi. Awalnya, gue kira dia datang cuma sebagai teman bisnis papa, karena dia emang baru kerja di perusahaan papa beberapa bulan yang lalu. Tapi setiap habis dia datang, Ibu selalu ngurung diri di kamar dan nangis.”
Demian menelan ludah, membayangkan versi Kirana yang berbeda dari sosok yang ditemuinya tadi siang.
“Suatu hari,” lanjut Alsid, “Gue nggak sengaja dengar mereka ribut. Suara Papa keras, tapi Kirana tetap tenang. Dia nyebut-nyebut soal dokumen perusahaan… sesuatu yang dia butuh tanda tangan Papa. Besoknya, gue lihat dia keluar rumah sambil bawa map cokelat. Setelah itu, Papa mulai sering pergi, pulang larut malam. Ibu makin sakit-sakitan.”
“Jadi… kamu pikir dia yang bikin keluargamu hancur?” tanya Demian hati-hati.
Alsid membuka matanya, menatap Demian lekat. “Gue nggak cuma pikir. Gue tahu. Karena waktu itu, Mama pernah bilang ke gue : ‘Jauhi perempuan itu, Sid. Dia memang baik, tetapi kebaikannya kelak cuma bawa masalah.’”
Alsid menghela napas panjang. “Dan sekarang, dia mendekat ke elu. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue tahu itu bukan cuma karena dia baik hati.”
End of Flashback...
Demian bersandar di kursinya. Kata-kata Alsid berputar di kepalanya. Sosok Kirana yang ia temui hari ini—wanita cantik, ramah, yang mengajaknya makan dan membelikannya sepatu—terasa begitu kontras dengan cerita kelam yang baru ia dengar.
“Tapi…” Demian akhirnya bersuara, suaranya ragu. “Kalau dia seburuk itu, kenapa dia ngasih aku semua ini? Sepatu, baju, makanan… itu semua nggak kelihatan kayak niat jahat.”
Alsid mendengus. “Orang yang manipulatif nggak akan kelihatan jahat di awal. Justru dia bakal bikin elu percaya dulu. Baru setelah itu… dia ambil sesuatu dari elu, dan gue yakin.. setiap kehadiran Kirana, adalah petaka yang menakutkan setiap orang.”
Alsid menajamkan pandangannya. "Dia itu seolah datang, mengurik masalah dan kesalahan masa lalu seseorang, terus ngejadiin itu senjata pamungkas untuk membunuh mental seseorang. Dia itu pembunuh, sejak awal dia itu pembunuh, yang ngebunuh tanpa nyentuh lawannya."
Demian terdiam. Ada rasa bersalah menggelayut di dadanya. Dia memang melanggar larangan Alsid, tapi di sisi lain, ia merasa tak enak hati memutus hubungan dengan Kirana. Atau mungkin, ia bingung bagaimana cara memutuskannya.
Hanya saja, mendengar perkataan Alsid barusan, membuat sudut di hati Demian terasa tak nyaman. Ia merasa lumayan parno dan ketakutan, kalau memang benar si Kirana berniat buruk juga pada dirinya.
Suara sendok dari dapur terdengar samar, membuat suasana semakin tegang.
Akhirnya, mereka menyudahi makan malam tanpa kata lagi. Demian masuk ke kamarnya, mengganti baju dengan kaos tipis, lalu duduk di tepi ranjang. Lampu kamar menyala redup, menyoroti kantong belanjaan dari siang tadi yang masih tergeletak di lantai. Sepatu baru, kemeja rapi, bahkan jaket tebal—semuanya hadiah dari Kirana.
Ia meraih salah satu sepatunya, membelai permukaannya yang halus. “Apa benar… semua ini ada maksudnya?” gumamnya.
Malam yang sunyi lagi senyap. Jarum jam merayap mendekati tengah malam. Demian sudah mencoba memejamkan mata, tapi pikirannya tak tenang. Kata-kata Alsid bergema di telinganya.
"Kalau elu ketemu dia lagi, Dem… semuanya akan terlambat."
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Ponsel yang juga di hadiahkan Kirana padanya, karena Demian bilang ia tidak pernah punya benda tersebut.
Ia mengulurkan tangan, meraih ponsel, lalu melihat layar: Pesan pertama yang masuk ke hp-nya adalah pesan dari Kirana.
“Besok siang, datanglah ke tempat pertama kali kita ketemu waktu kamu jalan santai pagi-pagi. Aku mau ngobrol banyak hal ke kamu, tapi kira-kira kalau mengganggu, gak apa-apa kalau kamu gak mau."
Jantung Demian berdegup kencang. Ia menatap layar itu lama sekali. Ada dorongan untuk membalas, tapi jarinya ragu menyentuh papan ketik.
Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar—pelan, tapi jelas. Ia buru-buru mematikan layar ponsel, berpura-pura tidur.
Pintu kamar Alsid berderit sedikit, lalu terdengar suaranya yang berat dari balik pintu. Alsid masuk ke dalam kamar, dan tatapan pertama yang ia tujukan adalah pada Demian.
Demian ragu, tapi ia rasa harus terbuka dengan Alsid. Toh itu adalah orang dari masa lalu Alsid yang kini ikut datang ke kehidupannya.
Belum sempat Demian berkata, Alsid yang duduk di tempat tidurnya terlebih dahulu buka suara. "Ada satu hal lagi yang mau gue kasih tau ke elu tentang Kirana, dan kayaknya kali ini lu bakalan ngerti kenapa gue ngelakuin semua ini."
Demian menurunkan ponsel miliknya, dan bermaksud untuk mengatakan hal ini setelah Alsid selesai berbicara. "Apa itu?"
"Kirana itu.. adalah alasan pertama yang bikin gue kabur dari rumah. Bukan hanya sekedar papa yang berusaha ngejadiin gue robot perusahaannya." Demian mengangkat kedua alisnya mendengar perkataan Alsid.
"Kirana adalah orang ketiga, dalam rumah tangga keluarga papa dan mama." Demian terbelalak mendengar perkataan Alsid.
Mulutnya ternganga dan sungguh, ia baru mengerti kenapa Alsid sebenci itu pada Kirana, meskipun dia baik. Dan ternyata, alasan ibu Alsid sakit, penyebabnya adalah Kirana. Dan bisa-bisanya ia datang pada Demian, dan meminta bantuannya untuk meminta Alsid pulang karena ibunya sakit.
Demian menggenggam kedua tangannya dengan erat, ikut merasakan emosi atas apa yang di sembunyikan Alsid selama ini.
"Ternyata... dia sejahat itu?" ucap Demian, tanpa mengalihkan pandangannya dari Alsid. Demian menunduk, menatap ponsel yang ada di tangannya, melihat isi pesan dari Kirana lagi.
"Dia ngirimin aku pesan, dan bilang mau ngobrol lagi."
Tanpa pikir panjang, Alsid langsung menjawab. "Jangan temuin dia lagi! Dan..." Alsid menatap heran pada ponsel milik Demian. "Sejak kapan lu punya itu? Dari dia juga?" tanyanya, dan Demian mengangguk.
"Tapi kayaknya, aku tetep mau ketemuan sama dia." jawaban Demian membuat Alsid terbungkam, jelas terlihat marah.
"Maksud elu? Nantangin ucapan gue?" sambarnya, berang.
Demian hanya tersenyum. "Kan udah sejauh ini, jadi... kita harus tau, niat dia apaan." ujar Demian sambil menaik turunkan alisnya.
"Maksud elu?"
"Serangan balasan, kita ikutin dulu permainannya." sahut Demian.
Bersambung...
lanjut thor kerenn/Smile/
ada kun sm agam ga ini