Novel ini sakuel dari novel "Cinta yang pernah tersakiti."
Tuan, Dia Istriku.
Novel ini menceritakan kehidupan baru Jay dan Luna di Jakarta, namun kedatangannya di Ibu Kota membuka kisah tentang sosok Bu Liana yang merupakan Ibu dari Luna.
Kecelakaan yang menimpa Liana bersama dengan suami dan anaknya, membuatnya lupa ingatan. Dan berakhir bertemu dengan Usman, Ayah dari Luna. Usman pun mempersunting Liana meski dia sudah memiliki seorang istri dan akhirnya melahirkan Luna sebelum akhirnya meninggal akibat pendarahan.
Juga akan mengungkap identitas Indah yang sesungguhnya saat Rendi membawanya menghadiri pesta yang di adakan oleh Jay.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Banilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian
"Bee! Mas Jay dan Mbak Luna kok lama banget ya? Aku jadi khawatir Bee." Tanya Rahma setelah menghabiskan makanannya, namun Kakak dan Kakak Iparnya belum juga kembali.
"Iya ya, sebentar." Aryas meraih ponsel di meja, "Aku coba hubungi Mas Jay dulu." Sambung Aryas yang segera menghubungi Jay.
"Hallo Mas." Sapa Aryas saat Jay menerima panggilannya.
"Iya Yas." Sahut Jay seraya menatap pintu ruangan yang di tempati Aryas dan Rahma.
"Mas di Mana?" Tanya Aryas.
"Maaf Yas, Mas dan Luna makan di meja depan, Mas takut mengganggu makan kalian, karena ngga tau kenapa perut Mas tiba-tiba ngga enak, sepertinya Mas masuk angin." Jawab Jay yang takut Aryas akan tersinggung.
"Ohhh gitu, tapi Mas Jay dan Mbak Luna udah makan kan?" Tanya Aryas yang bisa memahami kondisi Kakak iparnya.
"Udah kok Yas, ini baru selesai." Jawab Jay yang menyudahi makannya meski makanan di piringnya masih banyak, karena Jay merasa tak sanggup untuk menghabiskan makanan itu.
Sementara makanan di piring Luna sudah ludes tak tersisa.
"Ya udah Mas, Aku dan Rahma juga udah selesai makan, kita kembali ke kantor sekarang." Ucap Aryas.
"Iya Yas." Sahut Jay lalu panggilan pun berakhir.
"Bagaimana Bee?" Tanya Rahma.
"Mas Jay dan Mbak Luna makan di meja depan sayang." Jawab Aryas seraya memasukan kembali ponselnya.
"Kenapa ngga bareng kita aja makannya, Bee? Apa Mas Jay ngga suka kalau makan bareng kita?" Ucap Rahma dengan wajah yang mulai cemberut.
"Bukan begitu Honey, tapi sepertinya Mas Jay masuk angin, makannya tadi dia mual-mual, mungkin karena takut mengganggu kita makan, makannya Mas Jay memilih makan di meja luar sama Mbak Luna. Dia takut rasa mualnya mengganggu napsu makan kamu." Sanggah Aryas.
"Hmmmm gitu ya Bee." Sahut Rahma, "Ya udah, kita samperin Mas Jay aja Bee." Ajak Rahma yang ingin segera melihat kondisi Kakak nya.
"Iya sayang." Sahut Aryas lalu membantu Rahma berdiri dan merangkul pinggang Rahma saat berjalan.
Jay berdiri saat Rahma dan Aryas menghampirinya, "Mas, kamu baik-baik saja kan?" Tanya Rahma cemas.
"Iya Dek, Mas baik-baik saja kok, Mas hanya masuk angin saja." Jawab Jay.
"Tapi Mas kaya yang lemes, wajah Mas juga pucat." Ucap Rahma.
"Mas ngga apa apa kok Dek, mungkin Mas hanya kecapean aja." Ucap Jay menenangkan Rahma agar tak mengkhawatirkan nya lagi.
"Oh ya, kita harus segera kembali ke kantor karena kita ada Meeting dengan Pak Bandi." Ucap Jay yang beralih menatap Aryas.
"Ohhh oke, tapi sebelum itu, kita anter Rahma pulang dulu Mas, biar dia bisa segera beristirahat." Ucap Aryas yang tak ingin istrinya kelelahan.
Jay mengangguk, lalu mereka pun segera beranjak dari restoran itu.
***
"Sayang, kamu tunggu disini Ya, Mas ada Meeting sebentar, setelah selesai Mas akan segera kesini lagi." Pamit Jay setelah membawa Luna ke dalam ruangan tempat kerjanya.
"Iya Mas." Sahut Luna.
"Kamu istirahat disini saja." Ucap Jay mendudukan Luna ke sofa yang sudah Jay atur menjadi tempat tidur.
"Wahhh, sofa nya bisa jadi tempat tidur juga ya Mas, Luna baru tau ada sofa yang seperti ini." Ucap Luna.
"Ini namanya sofa bed sayang, bisa jadi sofa untuk duduk dan bisa jadi tempat tidur juga." Terang Jay mengusap kepala Luna.
"Ohhh." Luna hanya ber'oh ria sembari mengagumi sofa bed itu.
"Ya sudah, Mas tinggal dulu ya." Pamit Jay mengecup kening Luna.
"Iya Mas." Sahut Luna.
Jay berjalan dan meraih berkas di atas meja, lalu segera keluar dari ruang kerja nya.
Setelah kepergian Jay, Luna merebahkan tubuhnya, "Ya ampun, nyaman sekali, empuk dan lembut banget bahannya, pasti harganya mahal." Ucap Luna seraya mengusap sofa bed.
"Ini sih kasur di rumah Ayah ngga ada apa apa nya." Gumam Luna.
Setelah cukup lama menganggumi sofa bed itu, perlahan Luna memejamkan matanya dan akhirnya terlelap dalam tidur nya.
***
"Tuan, Pak Brama sudah datang, dia ingin segera bertemu dengan anda." Ucap Marvin yang baru saja masuk ke ruangan bosnya.
Nathan yang sedang membaca dokumen pun mendongak menatap Marvin, "Apa semua sudah siap, Vin?" Tanya nya.
"Sudah Tuan, semua bukti sudah siap." Jawab Marvin.
"Okey, suruh dia masuk." Ucap Nathan segera menutup dokumen di depannya dan bersiap menyambut tamunya.
"Baik Tuan." Sahut Marvin lalu membuka pintu dan mempersilahkan laki-laki paruh baya untuk masuk.
"Silahkan Tuan." Ucap Marvin.
Pak Brama tersenyum lalu perlahan masuk ke dalam ruangan milik Nathan, "Selamat siang Pak Nathan." Sapanya.
"Siang." Sahut Nathan, "Duduklah." Sambungnya mempersilahkan tamunya duduk seraya menunjuk kursi di depannya.
"Terimakasih." Sahut Pak Brama dan segera duduk di kursi tersebut.
"Pak Brama tentu sudah tau kenapa saya meminta anda untuk datang." Ucap Nathan membuka pembicaraan.
"Iya Pak Nathan, tapi mohon maaf, kenapa anda menarik semua saham perusahaan tanpa pemberitahuan sebelumnya? Bukan kah itu melanggar perjanjian?" Protes Pak Bram pada sikap Nathan yang mulai seenaknya.
Nathan tersenyum miring, "Rupanya dia sedang bersandiwara" Batin Nathan.
"Iya, saya cukup tau, itu memang melanggar perjanjian." Sahut Nathan, "Tapi bukankah perjanjian itu sudah melewati batasnya? Jadi saya rasa perjanjian itu sudah tidak berlaku, bahkan seharusnya saya bisa sekaligus menarik keuntungan yang seharusnya saya dapat?" Sambung Nathan tegas.
Pak Bram terdiam, mencoba mencerna setiap ucapan Nathan, "Ohhh satu lagi, dalam perjanjian saya berhak membatalkan perjanjian jika perusahaan anda melakukan kesalahan yang fatal." Ucap Nathan.
Alis Pak Brama berkerut, "Maksud Pak Nathan, kami membuat kesalahan fatal, begitu?" Tanya nya.
"Of Course, apa penggelapan dana sebesar tiga Milyar itu bukan kesalahan yang fatal?" Ucap Nathan seraya melepar sebuah Map di meja kerjanya.
Pak Brama dengan ragu meraih berkas itu dan matanya terbelalak saat melihat isi dari berkas itu, "Anda bekerjasama dengan perusahaan milik Kaendra, dan karena anda kekurangan modal, lalu dengan berani anda memanfaatkan uang yang masuk, padahal itu keluar dari jalur yang seharusnya, bahkan bisa di bilang anda berkhianat, dan anda masih menganggap anda tidak melakukan kesalahan." Nathan menyeringai.
Namun Pak Brama justru terperangah, "Bagaimana Nathan bisa tau?" Batinnya.
"Tapi bukankah selama ini perusahaan tidak pernah telat membayar Pak?" Ucap Pak Brama membela diri.
"Memang, tapi saya tidak menyukai cara kerja anda, bahkan saat ini anda memiliki hutang yang cukup besar demi menutupi kesalahan anda." Jawab Nathan.
"Bagaimana anda bisa tau Pak?" Tanya Pak Brama yang benar benar di buat terkejut karena Nathan berhasil membongkar rahasia nya.
"Mudah bagi saya untuk menemukan jejak anda, Pak Brama." Jawab Nathan, "Sudah sangat lama saya ingin menegur anda, tapi saya memilih diam karena menghormati anda yang merupakan sahabat kakek saya, tapi setelah apa yang di lakukan putri anda, saya tidak akan tinggal diam lagi." Ucap Nathan.
"Apa maksudnya Pak? Memang putri saya melakukan apa?" Tanya Pak Brama.
"Jangan pura-pura tidak tau Pak Brama, bukankah ini memang rencana kalian, agar saya menikahi putri anda, dengan begitu anda akan dengan mudah mendapatkan uang dari saya." Ucap Nathan.
Pak Brama terdiam, Dia tak menyangka Nathan akan dengan cepat mengetahui rencananya.
Ya, Pak Brama memang meminta Clarissa untuk mendapatkan Nathan dengan cara apapun, karena hanya Nathan yang bisa menolongnya.
Perusahaan milik Pak Brama baru saja mengalami kerugian besar, setelah Ia di tipu oleh rekan bisnisnya, hingga Ia memiliki hutang yang cukup besar untuk menutupi kecerobohannya.
"Bagaimana Pak Brama? Apa anda masih ingin mengelak? Ohhh atau anda ingin saya tunjukkan bukti-bukti lainnya?" Ucap Nathan terdengar begitu dingin.
Pak Brama terperangah, "Bukti apa lagi yang Nathan miliki?" Pikirnya.