NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29. Mengunci Darah

Setelah semua tenang, aku akhirnya bisa memejamkan mata. Tapi tidurku terasa… berat.

Bukan seperti tidur biasa. Rasanya seperti aku ditarik perlahan dari tubuhku, tenggelam ke dalam kegelapan.

Saat kubuka mata, aku berdiri di sebuah hamparan tanah luas berpasir hitam. Langit di atas berwarna kelabu, dan di kejauhan ada pepohonan tua yang berderit meski tak ada angin. Suasana sunyi… hanya suara detak jantungku sendiri yang terdengar.

“Sudah lama sekali… akhirnya kau datang sendiri.”

Suara itu berat, dalam, dan bergema.

Dari kabut tipis di hadapanku, muncul sosok kakek tua—rambutnya putih panjang, jenggotnya mencapai dada, matanya tajam tapi tenang. Ia mengenakan pakaian adat Jawa kuno, kain lurik dengan ikat kepala.

Aku mengenalinya. Kakek buyut… dari mimpiku dulu.

“Kakek… ini mimpi, kan?” suaraku bergetar.

Ia tersenyum tipis. “Mimpi, ya… tapi juga bukan. Tempat ini… perbatasan. Sukmamu di sini agar aku bisa mengajarimu.”

“Ajarin… apa?” tanyaku pelan.

Kakek menatapku lama. “Darahmu. Garis keturunan kita membawa sesuatu yang berharga… dan berbahaya. Itu yang membuat para makhluk dan manusia seperti keturunan Sentana Hitam datang mencarimu.”

Ia mengangkat tangannya, dan butiran-butiran cahaya merah muncul di udara, melayang di sekelilingku. “Ini wangi darahmu. Di dunia mereka… aromanya seperti api. Mereka bisa menemukannya dari jauh.”

Aku menelan ludah. “Terus… aku harus gimana? Aku nggak mau terus diburu.”

Kakek mendekat, suaranya menjadi lebih dalam. “Kau harus belajar mengikat darahmu. Menutup aromanya. Itu hanya bisa dilakukan lewat ritual lama… dengan sukma, bukan tubuh.”

Di tangannya muncul sebuah keris kecil berukir, cahaya kebiruan berpendar dari bilahnya.

“Sentuh ini, dan kau akan belajar… tapi prosesnya tidak akan mudah. Kau mungkin harus menghadapi bagian dari dirimu sendiri… dan kegelapan yang menempel di darah itu.”

Aku menatap keris itu, tanganku bergetar. “Kalau aku gagal… apa yang terjadi?”

Tatapan kakek menjadi lebih tajam.

“Kalau kau gagal… darahmu akan terbuka sepenuhnya. Dan saat itu, mereka semua… bukan hanya keturunan Sentana Hitam, tapi makhluk-makhluk yang kau belum pernah lihat… akan datang. Dan tak ada pagar gaib yang bisa menahan mereka.”

Suara angin berat tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Langit kelabu di atas bergetar… dan di antara pepohonan tua, mataku menangkap banyak bayangan bergerak, sosok-sosok hitam dengan mata menyala merah, mengintip ke arahku.

Kakek menatap mereka, lalu menatapku lagi. “Pilih, Nad. Sentuh keris ini dan mulai belajar… atau bangun dan biarkan dirimu tetap jadi buruan.”

Tanganku perlahan terulur ke arah keris, meski tubuhku bergetar karena rasa takut. Begitu ujung jariku menyentuhnya—cahaya biru menyelimuti seluruh pandanganku. Suasana berpasir hitam itu perlahan berubah.

Aku berdiri di tengah lingkaran simbol-simbol Jawa kuno yang bercahaya samar. Di sekelilingku, kabut tebal bergulung, dan dari kejauhan, terdengar suara gamelan pelan… tapi nadanya sumbang, menegangkan.

Kakek buyut berdiri di luar lingkaran, menatapku serius. “Pelajaran pertama: ikat darahmu sendiri. Jangan biarkan aromanya keluar. Tutup dengan niat dan rasa takutmu. Darahmu akan menolak… dan sesuatu akan datang untuk menguji ketahananmu.”

Aku menggenggam keris itu, tanganku bergetar. “Gimana cara tahu kalau aku berhasil?”

Ia menatapku tajam. “Kalau kau berhasil… tempat ini akan hening. Tapi kalau gagal… makhluk-makhluk di luar kabut akan mendekat.”

Sebelum aku sempat bertanya lagi, suara langkah berat terdengar dari kabut.

Satu… dua… tiga… Suaranya seperti kaki hewan besar, tapi berirama seperti manusia.

Aku menutup mata, mengingat kata kakek. Jangan biarkan rasa takut meledak. Fokus. Tarik napas. Tutup aromanya.

Tapi tubuhku bereaksi aneh. Darahku terasa panas, jantungku berdegup terlalu kencang. Semakin aku mencoba tenang, semakin jelas suara makhluk itu mendekat. Dari kabut, samar-samar kulihat siluet tinggi kurus, matanya menyala merah.

“Aku nggak bisa…” bisikku, tubuhku bergetar.

Suara kakek bergema. “Kalau kau menyerah sekarang, aromamu akan terbuka sepenuhnya. Mereka akan datang ke duniamu malam ini. Tarik napas, Nad. Rasakan darahmu… dan kuncilah!”

Aku menggigit bibir, menutup mata rapat. Dalam kepalaku, aku membayangkan sebuah pintu besi tebal yang menutup rapat di dadaku, menahan rasa panas itu.

Perlahan, panasnya berkurang. Detak jantungku mulai melambat.

Suara langkah itu berhenti. Kabut berhenti bergulung. Sunyi.

Saat aku membuka mata, lingkaran cahaya di sekitarku menguat, berwarna biru pucat. Makhluk-makhluk di kabut tidak lagi mendekat; hanya menatap dari jauh, seperti terhalang sesuatu.

Kakek buyut tersenyum tipis. “Itu langkah pertama. Kau bisa menahan aromamu… tapi itu hanya bertahan sebentar. Kau harus mengulang latihan ini setiap malam, atau pagar gaib dan penjagamu tidak akan cukup.”

Ia mendekat, suaranya lebih rendah. “Dan ingat… semakin kuat kau mengikat darahmu, semakin besar godaan mereka untuk membuatmu melepaskannya. Termasuk… dia, keturunan Sentana Hitam. Dia tahu bagaimana memancingmu.”

Sebelum aku sempat bertanya, tanah di bawahku bergetar. Cahaya biru memudar, dan pandangan mulai gelap.

Aku terbangun di tempat tidurku. Nafasku terengah, tubuhku berkeringat dingin. Darah di nadiku terasa panas seperti bara.

Kak Joan yang tidur di sofa dekat ranjang langsung terbangun, wajahnya panik.

“Nad?! Kamu kenapa? Tubuh kamu dingin banget, tapi nadinya kenceng banget!”

Aku hanya bisa menatapnya, masih sulit bicara. “Aku… belajar… sama kakek… dia bilang… ini baru awal…”

Joan menggenggam tanganku erat, tatapannya khawatir. “Kalau pelajaran itu hampir bikin kamu kayak gini… gimana kalau kamu harus terus ngelakuinnya?”

Aku memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan diriku. “Kalau nggak… darahku bakal jadi undangan buat semua makhluk itu. Kita nggak punya pilihan, Kak…”

Sejak malam itu, setelah aku berhasil mengunci darahku di pelatihan sukmaku bersama Kakek Buyut, hari-hari mulai terasa… biasa.

Tidak ada ketukan di pintu tengah malam. Tidak ada kabut hitam yang melayang di luar pagar. Bahkan Ningsih jarang muncul, hanya sesekali terlihat di sudut lorong rumah seperti bayangan.

Aku bisa kembali bekerja seperti biasa. Aku dan Wita berangkat ke kantor setiap pagi, dan Joan serta Gilang ke rumah sakit.

Gerimis tipis di pagi hari terasa damai, dan aku sempat menikmati sarapan bersama Joan tanpa rasa cemas.

Namun… sesekali, ada hal-hal kecil yang terasa tidak pas.

Di kantor, saat aku sedang mengetik laporan, komputerku tiba-tiba mati sendiri, lalu hidup kembali dengan layar yang berkedip—dan untuk sepersekian detik, aku bisa melihat bayangan mata merah di pantulan layar.

Wita yang duduk di sebelah hanya mengernyit. “Eh, listrik kantor error lagi ya?”

Aku tersenyum tipis, pura-pura tenang. “Iya… mungkin.”

Malam harinya, saat aku berjalan ke dapur untuk minum, aku mendengar suara langkah pelan mengikuti dari belakang. Tapi setiap kali aku menoleh, lorong itu kosong.

Aku tidak merasakan hawa dingin atau ancaman… tapi tetap ada rasa seperti diawasi.

Ningsih akhirnya muncul sekali, duduk santai di kursi ruang tamu saat aku lewat.

“Sekarang udah lebih tenang, kan? Tapi jangan lengah. Mengunci darah bukan berarti mereka semua berhenti nyari kamu… cuma bikin aromanya samar.”

Dia menatapku dengan senyum miring. “Dan kalau kamu lengah, bahkan sedikit… pagar itu bisa retak lagi.”

Aku mengangguk, menelan ludah. “Aku ngerti. Jadi… sekarang aku harus terus latihan, ya?”

Ningsih berdiri, rambut panjangnya menyapu lantai. “Iya. Kalau nggak, semua yang udah tenang ini cuma sementara. Dan kamu nggak akan suka kalau ‘dia’ muncul lagi…”

Dia menghilang sebelum sempat aku tanya lebih lanjut, meninggalkan hawa melati samar di udara.

Untuk saat ini, hidupku terlihat normal dari luar.

Tapi aku tahu… ini cuma jeda.

Dan setiap bayangan, suara langkah, atau gangguan kecil yang kualami, selalu jadi pengingat bahwa sesuatu—atau seseorang—masih menunggu kesempatan berikutnya.

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!