NovelToon NovelToon
Legenda Kaisar Roh

Legenda Kaisar Roh

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Spiritual / Reinkarnasi / Roh Supernatural / Light Novel
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Hinjeki No Yuri

Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.

Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Relawan Desa Mengalami Tantangan Kelaparan dan Kelelahan

Kabut tipis menggantung saat cahaya fajar pertama menembus Pos Bayangan. Embun menetes perlahan dari daun ilalang di sekitarnya, menciptakan denting halus yang mengiringi keluarnya dua puluh pasang mata yang lelah dari tenda.

Liang Feng mengerjap, mengusap bekas tidur di sudut matanya. Ia menoleh pada Bai Xue yang duduk di antara dua pertapa senior, bulu peraknya agak kusut sebagai tanda malam tanpa tertidur karena semalaman penuh berjaga. “Mereka semua lelah.” desisnya dalam benak. “Dan karena persediaan sudah menipis, perut mereka keroncongan.”

Di ujung lapangan Pos Bayangan, para relawan berkumpul di sekitar tungku batu kecil di mana Mei Lin dan beberapa ibu desa lain sudah menyiapkan bubur jahe hangat. Uapnya beraroma pedas manis, menembus dinginnya pagi.

Mei Lin tersenyum pucat. “Ayo, ambil se-secuil saja dulu… perut kita tak boleh terlalu penuh sebelum mendaki lereng.”

Liang Feng membagikan mangkuk-mangkuk bambu kepada relawan. Wei Xin menerima sambil menahan napas. “Terima kasih, Mei Lin… aku… lapar sekali.” Ia meneguk satu suap bubur, menutup mata karena kelezatannya. Asian jahe menghangatkan kerongkongan, namun tak sepenuhnya mengusir rasa kosong di perut.

Lin Hua menggigil saat menerima mangkuk. “Aku… sedikit pusing.” bisiknya pada pertapa Wu. “Tidak terbiasa dengan dingin dan… sedikit lemas.” Ia merapat, menahan mangkuk dengan dua tangan sambil memakan bubur nya secara perlahan.

Setelah bubur habis, relawan berdiri melingkar, menahan perut mereka sambil menatap Liang Feng. “Apa… bekal kita?” tanya Jia Ming, suaranya serak. Katon di kantong kainnya hanya tersisa beberapa keping kacang edelweiss.

Liang Feng menghela napas. “Kacang edelweiss hanya untuk satu setengah hari lagi… kita harus menahan lapar dan hemat tenaga. Minum air secukupnya, jangan sampai kekenyangan.”

Suara desahan muncul dari kelompok. Wei Xin menggenggam pedang di tangan kiri, perutnya menegang. “Jika… aku merasa mau pingsan.” katanya pelan.

Bai Xue mendesah lembut dalam pikirannya. “Feng, lihat Wei Xin… kita perlu istirahat sejenak lebih lama.”

Para relawan mulai bergerak perlahan-lahan di jalan setapak. Namun dalam beberapa langkah, kaki mereka seolah dibebani beban tak kasat mata. Otot-otot menegang, lutut bergetar. Tepat di sebuah batu besar di pinggir jalan, Wei Xin terpincang-pincang.

Wei Xin menahan rasa sakit. “Ah… lututku…”

Liang Feng segera mendekat untuk memeriksa keadaan Wei Xin. “Apa melompat batu tadi terlalu keras?” tanyanya.

Wei Xin menggeleng. “Entahlah… mungkin… aku kurang makan.”

Liang Feng mengurut otot betisnya, lalu menepuk bahu Wei Xin. “Istirahat di sini dulu. Bai Xue, bantu dia dengan aura perakmu.”

Bai Xue menyalurkan gelombang perak lembut ke lutut Wei Xin, cahaya memancar di sela pakaian. Wei Xin menutup mata, mengerang pelan, lalu ototnya terasa hangat hingga meredam kaku pada ototnya.

Lin Hua memotret momen itu dengan mata. “Aura Bai Xue… menenangkan otot dan saraf…”

Sementara itu, di belakang, Lin Hua menahan pusing. Ia duduk di batu, memegangi sisi kepala. “Feng… aku…” suaranya hampir tak terdengar. Liang Feng segera berjongkok di sampingnya.

Liang Feng merasa khawatir. “Ada apa, Hua? Kau bisa bicara?”

Lin Hua menelan ludah, memandang cahaya bulan redup di langit. “Jarang makan membuatku sulit berkonsentrasi. Pikiranku berserak teringat akan rumah dan juga cerita Nenek Li. Aku merasa… gagal menjaga semangat tim.”

Liang Feng menggenggam tangannya. “Tidak! Kau sudah memberikan catatan dan semangat. Kita semua lelah, merasa sama. Istirahat satu menit lagi sebelum lanjut.”

Bai Xue mengeluarkan suara mendesir. “Kami di sini bersamamu.”

Di tengah kerumunan, para relawan berdiri dengan tangan di pinggang, menahan kantuk dan rasa lapar. Angin dingin menembus jaket, membuat beberapa orang menggigil.

Pertapa Wu berbicara tegas. “Jika kita terus berjalan tanpa istirahat cukup, tubuh akan kelelahan parah ketika menghadapi lereng curam. Tidur sebentar di sini lebih baik daripada roboh di ketinggian.”

Lin Hua mengangguk pelan. “Aku setuju! Mari kita rehat… dua puluh menit.”

Liang Feng meneguk air dari gudang bekal. “Baik! Dua puluh menit, lalu kita lanjut.” Ia berdiri, menepuk bahu Wei Xin yang sudah berdiri, dengan memberikan semangat.

Wei Xin tersenyum lemah. “Terima kasih…”

Bai Xue mendarat di batu kecil. “Dalam jeda ini, aku akan menjaga mimpi kalian, agar mimpi buruk kegelapan tak muncul saat tidur.”

Rombongan merentangkan selimut sutra tipis di atas batu datar. Mereka berbaring bergantian, kepala diposisi pada tas sebagai bantal. “Tidurlah… aku yang akan berjaga.” kata Liang Feng, memegang pedang naga dan menutup mata sejenak.

Hening mengangsur, hanya suara embun menetes dari daun batu. Di bawah sinar pagi, wajah para relawan mereda, dahi yang semula menegang akhirnya melunak dan napas mereka teratur. Wei Xin menutup mata, sambil napasnya berirama. Lin Hua tertidur duduk dengan pena masih tergenggam.

Bai Xue duduk bersila, aura peraknya mengitar secara diam-diam, menenun jaring pelindung di sekitar tenda batu. “Tidurlah dengan tenang… ku jaga dirimu.” Desahnya meredam bayangan kegelapan yang mencoba masuk.

Dua puluh menit berlalu. Liang Feng memanggil. “Bangun… kita harus melanjutkan perjalanan kita.” Ia menepuk bahu Wei Xin. “Hei, bangun.”

Relawan terbatuk, mengusap matanya. Wei Xin menguap matanya dengan lebar. “Ah… rasanya lebih baik sekarang.”

Lin Hua terjaga, pena jatuh dari tangannya. “Tidur singkat itu… menyegarkan.” Ia mengangkat pena dan menggambar senyum di halaman catatan.

Pertapa Wu mengangkat tangannya, memberi aba-aba. “Ayo, bergerak!”

Mereka berdiri, rangkulan kelelahan surut, digantikan semangat kecil. Mei Lin membagikan kacang edelweiss sisa dua butir untuk penguatan mental.

Mei Lin tersenyum. “Lebih baik sedikit tapi tepat sasaran.”

Para relawan mengunyah, merasakan energi halus di naluri mereka. Bai Xue menyusup di antara mereka, aura peraknya menyalurkan kehangatan.

Rombongan kembali bergerak. Kabut pagi telah menipis, memperlihatkan bentuk lereng curam di kejauhan.

Liang Feng menegakkan pedangnya, Tianlong Mark di dadanya berdenyut lembut. “Kita sudah membuktikan ketahan fisik dan mental.” ujarnya. “Sekarang, kita persiapkan tenaga untuk menaklukkan lereng. Setiap langkah lebih berat, barisan harus tetap rapat, ikuti cahaya Bai Xue dan pantau ritme napas kalian.”

Wei Xin meneguk air, menegakkan punggungnya. “Siap, Feng-san!”

Lin Hua menatap kompas kayu. “Kita di jalur yang tepat. Semangat!”

Bai Xue mengepak lembut, memancarkan aura yang menenangkan setiap detik langkahnya. “Mari kita lanjut… Puncak Perak menanti.”

Saat kaki terakhir meninggalkan Pos Bayangan, suara gemericik air lembah menyapa. Rombongan menatap lereng curam, nafas teratur namun penuh harapan. Di balik kelelahan dan lapar, mereka menemukan kekuatan persahabatan Diaman manusia dan roh berjalan bersama, dengan satu tujuan yaitu meraih Hati Bumi dan menutup gerbang dunia selamanya.

Dalam hati Liang Feng, meski tantangan baru menanti, ia tahu kalau selama Bai Xue dan relawan berdiri di sisinya, tak ada kabut yang bisa mengaburkan langkah mereka.

1
senjani jingga
wahh bagus.. rapi banget penulisannya..👍
Hinjeki No Yuri: Selamat Membaca Bab Selanjutnya 😉
total 1 replies
Oertapa jaman dulu
Menarik dan berbeda dg cerita lainya
Awal cukup menarik... 👍👍
Hinjeki No Yuri: Selamat Membaca Bab Selanjutnya 😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!