Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Cinta yang seharusnya menguatkan, justru menjadi luka yang menganga. Eva, perempuan dengan hati selembut embun, dikhianati oleh pria yang dulu ia sebut rumah.
"Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa." gumam Eva Alexia
Bagaimana takdir cinta Eva Alexia selanjutnya? Apakah dia akan tetap mempertahankan pernikahan nya atau mengakhiri semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Perhatian Seorang Sahabat
Setelah tubuh Sandi Julian menghilang dari pandangan, Julia menghela napas panjang, seolah ingin melepaskan beban yang selama ini menghimpit dadanya. Di balik sorot matanya yang dingin dan sikap acuh tak acuhnya terhadap Julian, tersimpan luka dan kenangan yang tak mudah untuk dilupakan. Jujur saja, ia tak bisa membohongi diri sendiri bahwa ia pernah begitu dekat dengan ibunya Julian—seseorang yang telah memberinya kasih sayang tulus saat dunia terasa begitu sunyi.
Perempuan itu, ibu Julian, adalah sosok yang begitu hangat. Lembut dalam tutur kata, hangat dalam pelukan, dan selalu menyambut Julia dengan senyum ramah setiap kali ia berkunjung ke rumah Julian dulu. Bahkan, sering kali Julia merasa seperti menemukan kembali sosok seorang ibu yang telah lama hilang dari hidupnya. Beliau memperlakukannya bukan sekadar sebagai pacar anaknya, tetapi sebagai anak sendiri. Sebuah hubungan yang tak dibangun dalam sehari, tapi dari percakapan demi percakapan, pelukan demi pelukan, perhatian kecil yang diam-diam menambal kekosongan hati Julia.
Namun, semua itu hancur seketika saat kenyataan pahit terungkap. Julia masih mengingat hari itu dengan jelas—hari di mana hatinya seakan diremukkan. Julian, orang yang ia percaya sepenuh hati, ternyata berselingkuh. Yang lebih menyakitkan, perempuan itu adalah adik kelas mereka, seseorang yang Julia kenal dan pernah ia bantu dalam beberapa tugas kuliah. Rasanya seperti ditikam dari depan dan belakang sekaligus.
Sejak kejadian itu, Julia tidak hanya memutuskan hubungan dengan Julian, tetapi juga memilih menjauh dari keluarganya, termasuk dari ibunya yang begitu ia sayangi. Ia tidak pernah kembali, tidak pernah memberi kabar. Bukan karena ia tidak merindukan sosok ibu yang hangat itu, tetapi karena hatinya dipenuhi oleh ego dan kemarahan yang belum sembuh. Ia merasa dikhianati, dan dalam kemarahan itu, ia menolak segala bentuk keterikatan yang mengingatkannya pada Julian, bahkan jika itu berarti harus meninggalkan satu-satunya sosok ibu yang ia miliki setelah kepergian mamanya.
Julia hidup berdua dengan kakaknya sejak SMA. Mamanya, yang semula penuh cinta dan perhatian, berubah sejak ayah mereka menikah lagi. Luka karena pengkhianatan, rasa kehilangan, dan kesepian yang terus menumpuk akhirnya menghancurkan jiwa mamanya. Tanpa ada yang menduga, mamanya memilih jalan paling menyakitkan—mengakhiri hidupnya sendiri. Julia masih ingat bagaimana ia menemukan surat perpisahan yang ditinggalkan, kata-kata terakhir yang menggambarkan betapa hancurnya hati seorang perempuan yang ditinggal suami dan merasa tak punya lagi alasan untuk bertahan.
Sejak itu, dunia Julia berubah. Ia membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya. Tidak mudah percaya, tidak mudah membuka diri. Itulah sebabnya ketika ia akhirnya bisa merasakan kasih seorang ibu dari ibu Julian, ia merasa seolah diberi kesempatan kedua. Namun, Julian menghancurkan itu semua. Dan meski waktu telah berlalu, luka itu belum sepenuhnya sembuh.
Kini, berdiri sendirian, Julia menatap kosong ke kejauhan. Dalam diam, ia bertanya-tanya: apakah ibunya Julian masih mengingatnya? Masih merindukannya seperti dulu? Apakah mungkin, di balik semua kemarahan dan luka, masih ada ruang untuk memaafkan?
***
Eva menatap sahabatnya yang duduk terpaku di ujung sofa. Matanya mengerjap pelan, memandangi Julia yang tampak sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Di ruangan yang tenang itu, hanya suara detik jam di dinding yang terdengar.
"Kamu lagi mikirin apa, Jul?" tanya Eva dengan lembut, memecah keheningan.
Julia tersentak, seperti baru sadar akan keberadaannya di ruangan itu. Ia buru-buru menggeleng, berusaha tersenyum tapi tak bisa menyembunyikan guratan kesedihan di wajahnya. "Enggak! Aku enggak mikirin apapun," sahutnya cepat, mencoba terdengar meyakinkan.
Eva menyipitkan mata, tidak begitu percaya dengan jawaban itu. "Kamu pasti kangen yaa sama ibunya Julian?" tebaknya, dengan nada yang penuh empati.
Julia diam. Matanya meredup. Rasa sesak yang sejak tadi ia tekan, kini mulai merayap ke permukaan. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu akhirnya mengangguk pelan. Meski begitu, ia masih memilih diam, tidak membalas ucapan Eva. Hanya anggukan itu yang menjadi jawaban paling jujur dari hatinya.
Eva memperhatikan sahabatnya dengan penuh rasa sayang. Ia tahu, Julia selalu sulit mengekspresikan perasaannya, apalagi jika itu berkaitan dengan hal yang menyakitkan.
"Kalau kamu kangen, turunkan ego kamu. Dan jenguk beliau ke kampungnya. Permasalahan Julian padamu enggak ada hubungannya dengan ibunya," ucap Eva, suaranya terdengar lebih tegas, namun tetap lembut. "Andai aku tidak sibuk dengan urusan perceraian besok, maka aku akan ikut menjenguk ibunya Julian. Beliau cukup baik saat itu. Kamu dan aku, kita berdua, pernah merasakan kasih sayang seorang ibu dari beliau. Ingat nggak, waktu kita pertama kali ke rumah mereka? Beliau menyambut kita dengan tangan terbuka, masakannya enak banget, dan senyumannya hangat. Beliau memberikannya dengan tulus kepada kita, tanpa syarat."
Julia menunduk. Ada bayangan kenangan yang tiba-tiba hadir di benaknya. Ia masih ingat betapa hangatnya pelukan Bu Erna waktu itu, saat ia sedang dalam kondisi terpuruk. Rasanya seperti pulang ke rumah yang tak pernah ia punya. Tapi sekarang, semua terasa jauh, dan keruh oleh konflik yang terjadi dengan Julian, anak laki-laki satu-satunya.
"Aku ingin sekali menemui Bu Erna," akhirnya ia berkata lirih, "tapi aku terlalu malas berinteraksi dengan anaknya itu."
Eva tersenyum kecil, mengangguk memahami. "Yasudah, enggak masalah. Setidaknya kamu sudah jujur soal itu," katanya bijak. Kemudian matanya melirik Julia dengan tatapan menggoda, "Oh yaa, kamu ngapain ke sini? Tumben banget. Aku pikir, kamu ke sini ingin menemui Julian," lanjutnya sambil menyengir.
"Sembarangan!" seru Julia, wajahnya langsung memerah. "Jangan asal nebak deh, Ev!" ucapnya kesal. Eva malah tertawa terbahak, melihat reaksi sahabatnya yang seperti biasanya—mudah tersulut tapi cepat mereda.
"Aku ke sini membawakan kamu makanan," ujar Julia sambil mengeluarkan bungkusan dari dalam tas kain yang ia bawa. "Aku tahu kamu bekerja cukup ekstra beberapa hari ini. Kamu terus menyibukkan diri sehingga lupa istirahat." Nada suaranya terdengar seperti seorang kakak yang sedang mengomel lembut.
Eva menatap bungkusan makanan itu dengan mata berbinar. Ia mengikuti Julia yang berjalan ke meja di depan sofa dan meletakkan makanan itu di sana. Aromanya langsung memenuhi ruangan, membuat perut Eva yang tadi tidak terasa lapar, kini langsung merespons.
"Wah, harum sekali masakan chef Julia," kata Eva sambil duduk di sofa dan mencium aroma yang menguar dari makanan itu. "Pasti enak banget."
Julia tersenyum, senyum hangat yang mulai menghapus kegundahannya tadi. "Ini semua aku masakin buat kamu," katanya penuh tulus.
"Wah, serius?" tanya Eva dengan mata membesar, senang bukan main.
Julia mengangguk mantap. Eva pun mulai mengambil sendok dan mencicipi masakan buatan Julia. Beberapa detik kemudian, ia mengangguk-angguk puas sambil mengunyah.
"Hmm... enak sekali. Kamu harus buka warung makan deh!" ucap Eva, sambil terus menikmati makanan itu. Keheningan tadi berganti dengan tawa kecil dan rasa syukur yang hangat.
Di tengah segala beban dan luka masing-masing, mereka tahu, kehadiran satu sama lain tetap menjadi tempat pulang yang paling nyaman.
-***
tapi kamu juga salah si Adrian ...
itu yg dirasakan Eva saat ia tau kamu selingkuh
saya suka