NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat ketika mendekati acara pernikahan akan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 29 - Perempuan Lain

“Kenapa kamu bersikukuh ingin mengajakku, Mas? Padahal ibumu sudah mengecam agar aku tidak ikut. Barangkali memang ada hal yang penting, yang hanya boleh diketahui oleh keluargamu saja,” kataku mencoba mengisi keheningan.

Desing mesin mobil mulai terdengar. Pagi ini kami memutuskan pergi atas permintaan ibunya yangl lebih terdengar seperti perintah, menuju rumah sakit untuk menjenguk ayah yang katanya sudah sekarat.

“Memangnya kamu bukan keluargaku?” Darius bertanya balik, aku spontan menoleh, menatapnya yang hanya fokus pada jalanan.

“Bukan begitu, Mas. Maksudku, mungkin ada maksud lain mengapa ibumu hanya ingin ditemui tanpa aku,” kataku menerangkan.

“Justru karena itu, Soraya. Aku pun merasa bahwa ini ada maksud tersembunyi. Dan karena itu pula aku membawamu. Berjaga-jaga agar jika ada hal yang tak mengenakan di sana, aku bisa melarikan diri dengan sebuah alasan,” ungkapnya yang membuat dahiku mengerut.

Sambil melipat kedua tangan dan kepala yang bersandar penuh pada kursi mobil, aku pun menjawab, “Bilang saja kamu ingin menjadikanku tameng.”

“Terserah apa katamu, Soraya. Aku bingung menjelaskannya dari mana. Aku hanya ingin menunjukkan pada mereka, bahwa setelah menikah, kita benar-benar melakukan peran yang tuntas sebagai suami istri,” tuturnya yang tak kutanggapi.

Ketimbang membahas suatu hal yang membuat suasana hatiku kian memburuk, aku memilih meratapi ponsel. Mengecek perkembangan dari investigasiku, yang ternyata masih nihil—Dipta masih belum bisa dihubungi.

Dan dalam perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar setengah jam ini, kami tidak terlibat percakapan apapun. Sesekali aku hanya melirik, memantau—bukan karena penasaran, tapi memastikan bahwa dia menyetir dengan benar.

Lihatlah muka pucat itu, dia tidak benar-benar sehat untuk memutuskan berkendara tanpa supir seperti ini.

“Pulang nanti biarkan aku yang menyetir,” kataku sambil membuka pintu mobil.

Langit di atas rumah sakit tampak kelabu ketika kami turun dari mobil. Tanganku gemetar saat menggenggam tas kecilku, meski aku berusaha menyembunyikannya. Entah, aku tiba-tiba merasa gugup.

Darius berjalan di sampingku, sedikit lebih cepat, seolah ingin menghindari semua ini. Karena kami tidak bicara sejak di perjalanan tadi, udara dingin dan sunyi mengisi ruang di antara kami.

Lorong rumah sakit masih sama seperti terakhir kali aku ke sini: dingin, bau obat-obatan, dan terlalu putih. Kami tiba di depan kamar rawat ayahnya. Darius membuka pintu lebih dulu.

“Pa, aku datang...” Suaranya pelan, nyaris bergetar.

Sementara aku berdiri di belakang, mengekori dengan jantung yang berdentum tak karuan—mungkin karena tahu, kedatanganku di sini tidak akan disambut karena sejak awal tak diinginkan.

Dan ketika pintu sempurna terbuka, di sana aku melihat ibunya duduk di sisi tempat tidur sambil tersenyum, bukan padaku. Tapi pada seorang perempuan muda yang duduk anggun di kursi, mengenakan gaun pastel, rambutnya disanggul rapi, dan senyum tipisnya menusuk—terlalu sopan untuk disebut tulus.

Wajah Bu Mariana langsung menegang tatkala melihatku. “Kamu bawa dia, Darius?” Nadanya itu tak menyembunyikan kejengkelan.

Darius mendesah pelan. “Bu, kami ini suami istri. Bukankah aneh jika kami tidak pergi bersama? Terlebih saat ini ayah sedang sakit, Soraya tidak boleh ya menjenguk mertuanya sendiri?”

Tak butuh waktu lama sampai suasana berubah dingin.

“Ayahmu ingin bertemu dengan kamu dalam keadaan damai. Tapi lihatlah, kamu malah membawa orang yang tidak menghargai keluarga ini,” ujar Bu Mariana penuh penekanan, matanya mengarah padaku dengan jelas.

Perempuan itu berdiri, sedikit membungkuk pada Darius. “Senang akhirnya bisa bertemu kamu langsung,” katanya lembut, dibubuhi oleh senyuman yang seakan menyimpan maksud tertentu.

Darius tampak bingung, matanya bergantian menatap ibu dan perempuan itu. “Siapa perempuan ini? Mengapa dia ada di sini?” tanyanya, dingin.

Ibunya tersenyum, senyum seorang pemenang. Seakan menyingkirkan kehadiranku dari pandangannya. “Namanya Aurelia. Gadis baik dari keluarga terpandang. Dia akan membantumu melanjutkan garis keluarga. Tidak seperti...”

Pandangannya langsung mendarat padaku, seolah sedang menyindirku, “... wanita yang kamu nikahi itu, wanita yang bahkan jauh dari ekspektasi, parahnya lagi dia tidak berniat punya anak.”

Seketika ruang itu seperti membeku. Aku masih terpaku di tempat, sekujur tubuhku kaku, bahkan untuk menunjukkan sedikit reaksi pun tak mampu. Hanya mataku yang sibuk mengamati—bergerak melirik-lirik pada mereka.

“Apa maksud Ibu?” Darius bertanya, suaranya naik satu oktaf.

“Kita sudah pernah membahas ini. Jangan karena pernikahan kami terjadi atas keputusan kalian. Bukan berarti urusan punya anak pun, Ibu coba ikut campur lagi. Karena bukan urusan kalian untuk memutuskan siapa yang akan jadi ibu dari anakku,” tambahnya yang semakin memperpanas suasana.

Setelah berkata penuh penekanan dan penolakan seperti itu pun, Bu Mariana tampaknya tak ingin kalah. Dia bangkit dari kursi, menatap putra semata wayangnya dengan tatapan tajam.

“Tapi dia sendiri tidak ingin punya anak, kan? Kalian sepakat soal itu. Kalau kamu tetap bertahan dengannya, bagaimana dengan masa depan keluarga ini?”

Darius terkekeh hambar, bibirnya yang pucat itu menyunggingkan senyum kecewa. “Yang ibu pikirkan hanya soal itu, sejak dulu sampai detik ini. Kenapa aku selalu terikat pada hal-hal yang ibu senangi? Bahkan Ayah juga, kalian sama saja. Sama-sama senang melihat anaknya sendiri menderita!”

Kalimat itu menampar semua orang di ruangan, termasuk aku. Hatiku bergetar. Kembali ucapan Dipta malam itu berputar dalam ingatanku—bahwasanya Darius adalah korban kejahatan keluarganya sendiri.

Alih-alih tersadarkan dan merasa bersalah, Bu Mariana justru tetap menyolot, “Kamu tidak tahu apa yang terbaik untukmu, Darius!”

Darius tersenyum getir. “Lalu dengan melakukan dan memaksakan suatu hal yang tak membuatku bahagia ... itu justru yang terbaik menurut Ibu?”

Bu Mariana mengangguk dengan penuh percaya diri. “Iya. Buktinya kamu bisa ada di posisi sekarang. Kamu bisa mendapatkan apapun, kan? Dengan uang dan jabatan yang kamu miliki, kamu punya akses melakukan apapun. Dan tugasmu sekarang untuk memperpanjang hal itu, meneruskannya pada anakmu kelak!”

Darius menarik napas panjang. “Mungkin. Tapi aku tahu, memaksakan peran pada seseorang bukan solusi. Jadi tolong, jangan pernah bawa orang asing ke sini dan seolah-olah aku akan menerimanya begitu saja.”

Tak ada yang bicara setelah itu. Bahkan napas ayahnya yang sedang tertidur atau mungkin tak sadarkan diri, terdengar jelas begitu lemah. Aku menunduk, berusaha memahami situasi saat ini.

Ini mungkin terdengar egois, tapi jika Darius menerima permintaan sang ibu—dengan menyetujui pernikahan kedua dengan perempuan itu, maka tentunya aku bisa terbebas dari posisi ini, kan?

Maksudku, aku tidak perlu berpura-pura lagi menjadi Soraya. Dan mungkin ... akan kembali menjalani hidupku tanpa menanggung beban untuk menjadi orang lain.

Namun di sisi lain, aku paham. Darius pastinya lelah jika harus selalu mengikuti semua kemauan ibunya. Selama ini dia layaknya boneka yang dimainkan sesuka hati dan mungkin saat ini Darius mencoba melakukan sebuah pemberontakan.

“Lagi pula, pernikahanmu dengan Soraya belum berlangsung lama kan? Hanya segelintir orang yang tahu, publik pun belum tahu. Masih ada kesempatan jika kamu tidak cocok dengannya, barangkali Aurelia bisa—”

“Bu, ini bukan cocok tidak cocok!” potong Darius, suaranya yang meninggi kembali meningkatkan ketegangan.

“Itu tidak akan berpengaruh jika perempuan itu bukan perempuan yang aku cintai! Bahkan jika Ibu mencarikan perempuan manapun, sepuluh sekaligus berjejer untuk bisa kupilih, tapi di antaranya tidak ada perempuan yang aku cintai, apa artinya? Kupastikan, mereka tetap tidak akan hamil!” tambah Darius panjang lebar.

“Kalau begitu, perempuan mana yang kamu cintai itu?” tanya Bu Mariana dengan ekspresi menantang, seolah-olah menunggu momen ini untuk tahu kebenarannya.

***

1
范妮
Hai, nona bulan
aku mampir ..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!