Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 29
Zura tersenyum simpul. Hatinya bukan merasa bangga malah merasa geli akan pujian dari Lula.
"La, kamu apa-apaan sih? Mujinya kok berlebihan banget."
"Ha? Ngga kok, mbak. Aku muji itu tulus lho dari hati. Gimana bisa jadi berlebihan? Mbak Zura emang cantik pake banget kok."
Menangapi apa yang Lula katakan, Zura malah hanya geleng-geleng kepala saja. Dia pun kembali tersenyum. "Dasar kamu."
"Oh iya, La. Kamu ngundang Reno Sanjaya juga yah?"
Pertanyaan, Zura lempar dengan nada menggoda. Lula malah jadi sedikit bersemu akibat pertanyaan itu. Entah malu, atau tidak enak hati. Yang jelas, gadis itu langsung mengubah wajahnya karena pertanyaan Zura barusan.
"Iy-- iya, mbak. Aku undang dia. Terus, salah satu kursi pertama aku berikan padanya," ucap Lula dengan wajah bersalahnya. Tak lupa, gadis itu juga sedikit menundukkan wajahnya di depan Zura.
Zura hanya melepaskan napas berat. Tapi rasa bersalah dalam hati Lula malah jadi semakin membesar. Cepat ia berucap kembali untuk meminta maaf pada atasannya itu karena telah berbuat sesuka hati.
"Mbak jangan marah. Maafkan aku karena sudah lancang mengundang seseorang yang bukan datang dari dunia fashion. Aku ... benar-benar tidak bermaksud me-- "
Senyum Zura merekah membuat Lula langsung menghentikan ucapan tanpa sempat ia selesaikan terlebih dahulu.
"Sudah. Kenapa jadi takut begitu kamu sama aku, La? Padahal aku gak ngomong apa-apa lho barusan."
"Aku ... hanya merasa sangat bersalah saja, mbak. Mengundang seseorang yang tidak datang dari dunia fashion."
"Ish! Kenapa harus merasa bersalah, Lula? Semua wewenang juga sudah aku serahkan ke tangan kamu juga kok. Dan lagi, aku juga tahu alasan kenapa kamu menempatkan dia di kursi pertama. Itu karena, salah satu dari lima yang akan bekerja sama dengan kita sudah kita keluarkan satu dari daftar yang akan kita pilih, bukan?"
"Iya, mbak. Tapi, saat aku menggantikan tuan muda Sanjaya untuk duduk di kursi tersebut, aku sibuk sekali sampai lupa mengabari ke mbak Zura. Sekali lagi maafkan aku mbak yang sudah lancang."
Sentuhan lembut Zura berikan ke pundak Lula. "Tidak perlu minta maaf, La. Kamu selalu melakukan yang terbaik. Tapi, bolehkan kamu jawab satu pertanyaan mbak dengan jujur?"
"Apa, mbak?"
"Jujur, La. Kamu suka Reno, bukan?"
Seketika, mata Lula membelalak akibat satu pertanyaan dari Zura barusan. Pipinya pun terasa sangat hangat. Sebaliknya, Zura malah menatap Lula dengan tatapan lekat. Tangan Lula kini ia genggam dengan lembut.
"Jujur saja. Aku hanya ingin tahu kejujuran itu dari kamu, La."
"Ke-- kenapa ... mbak bisa bicara seperti itu?"
"Karena aku cukup peka akan perasaan orang yang sudah dekat denganku, Lula. Kamu tidak lupa akan hal itu, bukan?"
"La. Kamu sudah aku anggap sebagai adik kandungku sendiri. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan ku juga. Jadi, jujurlah pada dirimu sekarang, Lula. Jika suka, akui saja."
Berkaca-kaca mata Lula sekarang. Tapi, bibirnya masih sangat enggan untuk mengakui kalau apa yang Zura katakan itu memang benar adanya. Karena sejujurnya, yang ia perjuangkan sekarang memang bukan untuk hatinya sendiri. Melainkan, untuk Zura. Dia suka Reno. Tapi ia lebih suka jika Reno bisa membuat Zura bahagia. Karena dia sangat ingin melihat Zura memiliki pria yang menyayangi Zura dengan sepenuh hati. Dan dia bisa melihat hal itu dari Reno meski ia tidak kenal Reno dengan sangat baik.
"Tidak kok, mbak. Sebaliknya, aku melakukan semua ini karena mbak Zura. Aku ingin mbak punya kehidupan baru. Aku ingin melihat mbak bahagia bersama pria yang menyayangi, mbak."
"Tapi kamu tahu bagaimana hatiku, bukan La?"
"Hatiku telah mati setelah kejadian itu. Impianku telah musnah. Aku tidak ingin menikah lagi kedepannya. Seperti apapun prianya, aku masih belum bisa membuka hatiku, Lula."
Mendengar ucapan Zura, mata Lula semakin berkaca-kaca. Bahkan kini, yang awalnya Zura yang menggenggam tangan Lula, kini malah sebaliknya. Lula yang menggenggam tangan Zura dengan erat.
"Mbak."
"Trauma itu masih sangat terasa, La. Aku tidak tahu entah sampai kapan aku baru bisa hidup dengan baik tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyedihkan. Tiga tahun masih belum cukup untuk aku mengobati luka yang ada dalam hatiku. Aku masih butuh waktu lagi, La."
"Mbak, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuat hatimu jadi sedih."
"Jangan salahkan dirimu, karena semua memang bukan salah kamu. Sebaliknya, La. Cobalah pikirkan dirimu juga. Jangan hanya memikirkan aku. Aku tidak tertarik dengan Reno. Tapi kamu, jika kamu benar-benar suka dia. Kamu yang harus menampilkan dirimu. Jangan pedulikan aku."
"Tapi, mbak .... "
"Masih ada kata tapinya, La?"
"Mbak ini."
Mereka berdua malah saling berpelukan sekarang. Memang, Lula sangat memahami Zura. Wanita itu anti dengan pengejaran cowok selama ini. Dia akan merasa sangat tidak nyaman jika ada pria yang berusaha mendekatinya. Karena setiap kali ada yang datang menghampiri, ingatan masa lalu akan terasa semakin menghantui hati Zura. Trauma akan pernikahan itu muncul membuat perasaan Zura kembali tidak nyaman.
Hani masuk ke dalam setelah memastikan anak angkatnya bisa menguasai perasaannya. Ya. Hani sudah menguping di depan pintu ruangan sejak beberapa saat yang lalu. Dia ingin masuk untuk ikut mengobrol. Tapi ia batalkan karena itu tidak akan membuat obrolan Zura dengan Lula berjalan dengan lancar.
"Hai, kalian berdua. Apakah sudah siap sekarang?"
"Mama (tante Hani)." Keduanya berucap serentak.
"Sudah siap belum? Sebentar lagi, waktunya kata sambutan lho."
"Iya, Ma. Udah kok. Yuk!"
"Hm, eh iya. Di mana Sika?" Lula sibuk karena tidak melihat Sika sekarang.
"Sika? Ada di tempat acara tuh."
"Oh. Kirain anak itu masih sibuk sama laptopnya." Zura pula yang angkat bicara.
"Ngga kok. Sika udah duluan."
Beberapa saat menunggu di belakang panggung, akhirnya tiba giliran Zura yang muncul. Waktu yang sangat di nanti-nantikan para pembisnis. Perkenalan dengan desainer ternama yang bernama Yura.
"Baiklah. Inilah saatnya saya memperkenalkan rekan sekaligus anak kesayangan saya. Yura." Menggelegar suara Hani memanggil nama Zura dengan wajah bangga. Tepuk tangan pun mengiringi senyuman Hani sekarang.
Tatapan mata terfokus pada pintu penghubung belakang panggung dengan aula utama. Pintu terbuka lebar. Dari balik pintu tersebut, seorang wanita manis nan cantik jelita berjalan dengan elegannya.
Dialah, Azzura. Wanita yang pernah gagal dalam pernikahan, patah hati dalam cinta, terluka, lalu kecewa sesaat setelah ia menikah. Tidak hanya itu saja, dia juga telah kehilangan ayahnya di hari pernikahan tersebut. Dialah wanita yang sangat menderita sebelumnya. Kini, wanita itu yang sedang dicari hampir semua orang.
Mata orang-orang membulat takjub melihat kemunculan Zura. Desainer Yura yang terkenal, yang selalu membuat mereka penasaran ternyata sangat cantik parasnya. Sungguh mengangumkan bagi semua orang. Tak kira pria atau wanita. Dia adalah bintang tercantik di tengah-tengah acara saat ini.