Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan Naya
Setelah mendapat hasil autopsi yang menyatakan bahwa Vani meninggal akibat serangan jantung mendadak, Bu Mely dengan ikhlas melepas putri bungsunya untuk dimakamkan. Ditemani Bi Inah dan Kania, wanita berjilbab hitam itu tersedu-sedu di samping gundukkan tanah merah yang dihiasi nisan.
Bu Tutik menyesali, mengapa kemarin ia melepas anaknya pergi ke sekolah. Mungkin karena itu pula Vani kelelahan hingga terkena serangan jantung—meskipun pada dasarnya kedatangan maut tak bisa dicegah.
Pak Amat pun menarik napas panjang berulang kali. Ia menanggung rasa bersalah karena tak mampu menyembuhkan Vani. Sebelumnya, ia sempat yakin bahwa Vani terserang gangguan jin.
Guru dan murid di sekolah datang satu per satu untuk mengikuti prosesi pemakaman. Hari itu, SMK BINA KARYA diliburkan. Gengnya Kevin menemani almarhumah dari rumah sakit hingga ke pemakaman, mereka sama sekali tidak pulang.
Setelah membaca kabar di grup kelas bahwa Vani meninggal, Ratna datang. Berpakaian serba hitam dengan selendang senada, ia menunduk sedih, berdiri di paling belakang. Ratna tak menyangka gadis yang sering membullynya bisa pergi begitu cepat.
“Pantaskah aku bilang ini karma?” pikir Ratna. Namun, ia menolak menjadi manusia picik yang justru senang melihat kesedihan orang lain.
Gengnya Kevin menatap Ratna sekilas, dan segera gadis itu menunduk. Hari ini adalah hari berkabung; mereka enggan mencari masalah di depan peristirahatan terakhir sahabatnya.
Kini giliran perwakilan keluarga berbicara di hadapan banyak orang, menyampaikan permohonan maaf bila selama hidup almarhumah pernah berbuat salah, baik sengaja maupun tidak. Khususnya kepada guru-guru dan teman-teman sekolah.
Prosesi pemakaman ditutup dengan doa. Setelah itu, satu per satu orang mulai meninggalkan makam. Ratna masih terdiam, ingin mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga. Ketika Kila hendak melewatinya, gadis itu sengaja menubruk bahu Ratna.
“Ngapain lu di sini?” tanya Kila.
“Aku mau ke ibunya Vani,” jawab Ratna datar.
“Gak usah! Kehadiran lu gak diharap sama Vani. Pulang!” Kila menarik tangan Ratna, memintanya pergi.
Dengan napas kecewa, Ratna mempercepat langkah agar terhindar dari gengnya Kevin. Ia sengaja berjalan bersama para guru, membuat Kila merasa muak. Bagi Kila, sikap Ratna seperti itu hanyalah cari perhatian.
Di ujung gapura, Ratna langsung menghentikan angkot dan buru-buru naik.
Sebenarnya di dalam totebagnya terdapat wadah makanan yang dibawa oleh Tantri, jadi hari ini Ratna akan mengembalikannya ke rumah tantenya. Setelah sekitar sepuluh menit perjalanan, Ratna memberhentikan angkot di depan sebuah gang perumahan. Dari sana, ia harus berjalan cukup jauh. Awalnya Ratna ingin menggunakan jasa ojek, tetapi dipikirnya tak ada salahnya sambil berolahraga.
Seharusnya ia menelepon Tantri untuk memberi tahu bahwa ia akan datang hari ini. Namun, Ratna merasa Tantri pasti sibuk karena jelas tantenya adalah wanita karier. Setelah menempuh jarak yang cukup, akhirnya ia sampai di depan rumah bertingkap dua lantai.
Ratna menekan bel di samping gerbang. Tak lama, seorang pria muda seumurannya turun. Ikbal, anak Tantri yang berbeda satu tahun dengan Ratna, membuka gerbang. Hanya sebentar, setelah itu ia keluar.
Tanpa sepatah kata mempersilakan masuk, Ikbal melipat tangan di dada dan bersandar pada tembok penyangga gerbang.
"Ada apa?" tanyanya ketus.
Ratna mengeluarkan wadah dari totebagnya. "Mau balikin ini ke Tante Tantri. Tante ada?"
"Sini ke gue aja, Mama lagi kerja." Ikbal menarik barang yang disodorkan Ratna. "Lu pulang aja."
Kata-kata menyakitkan itu sudah biasa diterima Ratna dari anak tantenya. Ratna menarik napas panjang, menutup matanya sejenak, lalu berkata dengan keberanian yang muncul entah dari mana, "Iyalah, aku mau pergi. Mau ngapain, ini kan bukan rumah aku!"
"Oh, udah mulai songong, ya, sekarang. Bagus! Gue lapor nyokap entar!" tegas Ikbal, matanya setengah melotot.
Ratna terkekeh pelan. "Dasar anak mami, gak ada berubahnya."
Malas menghadapi pertengkaran terlalu lama, Ratna pun melangkah pergi. Namun kakinya terhenti ketika Ikbal berteriak dari belakang, "Harusnya lu berhenti nyusahin nyokap gue!"
Tubuh kecil itu spontan berbalik. Ratna menatap Ikbal dengan tajam, tangannya mengepal sempurna. "Harusnya kalian berhenti menikmati harta peninggalan orang tuaku. Kalau bukan karena harta Mama dan Papa, fasilitas ini gak akan ada!"
Kata-kata itu membuat Ikbal terkejut dan gelagapan. Ratna buru-buru pergi sambil merenung, heran dari mana keberanian itu muncul. Andai mulut pedasnya bisa keluar di depan gengnya Kevin, mungkin tidak akan ada lagi penindasan.
Singkatnya, Ratna akhirnya sampai di kost.
Seperti biasa, ia menarik kursi di depan meja belajarnya dan mengeluarkan buku diary hitamnya. Ratna mulai menggambar wajah Ikbal yang menyebalkan. Di bawah gambar itu, ia menulis keterangan: “Ikbal, dari dulu kamu selalu bersikap kasar. Padahal tanpa orang tuaku, kamu bukan siapa-siapa.”
......................
Udara terasa hangat saat Naya berjalan-jalan sendirian di taman sekolah. Ia menikmati cuaca cerah yang disertai sepoi angin menenangkan. Inilah caranya menghilangkan penat. Di bagian bawah taman terdapat lapangan basket, di mana beberapa siswa laki-laki tampak bermain dalam kelompok kecil. Naya berdiri di dekat salah satu pohon, memperhatikan mereka dengan saksama.
Salah seorang pemuda, Putra, tengah bermain di sana. Saat menguasai bola, ia tak sengaja menoleh ke arah Naya dan menatapnya beberapa saat.
“Put! Cepetan over bolanya!”
Putra langsung menoleh dan melemparkan bola ke arah teman satu timnya. Permainan pun dilanjutkan.
Awalnya hanya Naya seorang yang menonton pertandingan itu, tetapi tak lama kemudian beberapa siswi lain menimbrung. Mereka menonton anak laki-laki yang tengah bermain basket sambil bersikap centil—memberikan semangat, tertawa, dan berteriak riang.
Merasa sebal karena keributan, Naya pun beringsut pergi.
“Berasa jadi idola,” celetuk salah seorang pemain sembari mengacungkan tanda love dengan jari ke arah kerumunan siswi.
Namun, mereka malah bersorak.
Putra menoleh ke arah kerumunan siswi itu, tapi pandangannya justru tertuju pada Naya yang melangkah pergi, menghilang di balik tembok.
Kini Naya berjalan di koridor, melempar senyum pada setiap orang yang berpapasan dengannya. Namun, di balik senyum itu tersimpan luka yang disembunyikan. Ia seolah masih mampu tersenyum untuk menutupi segala kekalutan hatinya.
Sama seperti Ratna, Naya sebenarnya juga korban bullying. Namun kini, ia tak lagi takut untuk melawan, bahkan membalas dendam bila perlu.
Langkah Naya mengarah ke perpustakaan. Ruangan yang sunyi itu hanya diisi beberapa siswa yang tengah tekun belajar. Dua di antaranya adalah siswi yang tampak mendekati seorang guru laki-laki, jelas hanya untuk mencari perhatian.
Melewati satu demi satu rak, Naya berhenti di depan jajaran buku ilmu pengetahuan. Ia meraih sebuah buku yang cukup tebal, namun tanpa sengaja menjatuhkannya. Debam suara benda itu menghantam lantai, menarik perhatian semua orang di sekitarnya.
Siswa-siswi yang sedang membaca menoleh seketika, mata mereka menyorot tajam. Naya tersenyum tipis, lalu meminta maaf dengan suara lembut. Namun, salah seorang siswi berdecak kesal dan memilih pergi, konsentrasinya telah buyar.
Sementara itu, Naya hanya menghela napas panjang. “Hidup aku sepi banget sih. Bikin gaduh sedikit aja malah bikin mereka risi,” keluhnya sambil meraih buku di lantai.
Suara bel terdengar nyaring, menandakan jam istirahat usai. Semua anak kembali ke kelas masing-masing, tak terkecuali Naya. Ia melenggang santai, menyeruak ke salah satu kelas sambil menguap.
“Ngantuk,” keluhnya, berjalan menuju bangku paling belakang. Di sana, ia duduk sambil menunduk, tak kuasa menahan beban di kepala yang terasa berat.
Satu per satu murid memasuki kelas, bersiap menerima pelajaran. Putra, salah satu murid di kelas itu, ikut melangkah masuk. Di antara semua orang, pandangannya selalu tertuju pada Naya.
Naya yang peka segera mendongak, menoleh ke sekeliling, lalu menatap Putra. Seketika, Putra mengalihkan pandangannya. Beberapa detik, tatapan mereka saling bertemu dan beradu diam-diam.
“Liatin mulu, ngajak jalan enggak,” celetuk Naya lirih. Ia tersenyum tipis, merasa bodoh sudah bicara sendiri.
Seorang guru laki-laki masuk, membawa buku di tangannya. Pandangan Naya yang semula sayu karena kantuk perlahan membulat, tajam. Ia mengamati bagaimana sang guru menjelaskan pelajaran dengan serius.
Namun kantuk tak bisa dibendung. Kata-kata Pak Basir terdengar seperti dongeng bagi Naya. Tanpa sengaja, beberapa detik setelah terpejam, ia tertidur begitu saja.