Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 / THTM
Sejak malam itu, pikiran Elara tidak pernah benar-benar tenang.
Kata-kata yang ia dengar dari ruang tamu — “jangan buat dia takut dulu” — terus berputar di kepalanya seperti gema yang tak mau hilang.
Siapa yang Kak Alaric maksud?
Dan kenapa nada suaranya seperti orang yang menyembunyikan sesuatu?
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu urusan pekerjaan. Tapi setiap kali ia mengingat bagaimana Kak Alaric menatap Nayara di sekolah, sekilas namun terlalu lama untuk disebut kebetulan — dadanya terasa aneh.
Pagi berikutnya, Elara memperhatikan kakaknya diam-diam.
Alaric duduk di meja makan, membaca laporan sambil menyesap kopi. Ekspresinya dingin, nyaris tak berubah seperti biasa, tapi Elara tahu — di balik tenang itu, selalu ada sesuatu yang sulit ditebak.
“Pagi, Kak,” sapanya pelan.
“Hm. Pagi, Ra.”
“Lembur lagi?” tanyanya mencoba santai.
“Tidak juga,” jawabnya datar tanpa menatap. “Cuma ada sedikit urusan yang harus diselesaikan.”
Elara mengangguk, tapi matanya memperhatikan ponsel di atas meja.
Layar sempat menyala sebentar — hanya satu kata muncul di notifikasi pesan:
“Sudah sampai.”
Dan anehnya, Alaric segera menutup layar itu dengan cepat.
Hari-hari berikutnya, rasa curiga Elara tumbuh diam-diam seperti akar yang menjalar tanpa suara.
Ia mulai memperhatikan kebiasaan kakaknya:
Pulang larut tanpa alasan jelas.
Sering mendapat telepon dengan nada bicara yang menurun ketika ada dia di sekitar.
Dan sesekali, senyum samar yang muncul tanpa sebab.
Sampai suatu sore, saat Elara mencari charger di ruang kerja Alaric, ia menemukan sesuatu.
Bukan hal besar — hanya selembar kertas kecil di bawah tumpukan dokumen.
Tulisan tangan perempuan, rapi tapi terburu-buru:
“Terima kasih sudah membantu, Kak.”
Elara menatap tulisan itu lama.
Ada noda tinta di ujungnya, seperti bekas tangan yang gemetar.
Dan anehnya, ia mengenali gaya tulisan itu.
Tulisan Nayara.
“Kenapa Nayara nulis surat buat Kak Alaric?” gumamnya pelan, jantungnya mulai berdetak cepat.
Mungkin hanya kebetulan… atau bukan.
Sejak hari itu, Elara mulai mengamati Nayara dengan cara berbeda.
Bukan sekadar sahabat yang ia sayangi, tapi seseorang yang kini membawa tanda tanya besar.
Dan tanpa sadar, ia mulai menjauhkan jarak kecil di antara mereka.
Setiap senyum yang ia berikan pada Nayara kini terasa canggung.
Setiap percakapan terasa seperti permainan tebak-tebakan — siapa yang lebih tahu rahasia siapa.
Di sisi lain, Nayara pun mulai merasa sesuatu berubah.
Elara yang biasanya hangat kini terasa dingin, meski berusaha menutupi.
Dan setiap kali mereka berbicara, ada tatapan yang membuat Nayara ingin lari — tatapan seperti seseorang yang perlahan merangkai potongan teka-teki yang tak seharusnya terungkap.
Namun Nayara tahu…
Jika Elara sampai tahu semuanya, hidupnya akan benar-benar berakhir.
...----------------...
Suatu sore sepulang sekolah, Nayara menuruni tangga perlahan.
Hujan baru saja reda, aroma tanah basah membuat pikirannya sedikit tenang.
Ia berhenti di depan toko fotokopi tempatnya bekerja paruh waktu, menyapa pelanggan dengan senyum sopan. Tapi di sudut matanya, ia menangkap siluet seseorang berdiri di seberang jalan.
Payung putih.
Rambut panjang.
Dan tatapan yang menembus kaca.
“Elara…” bisiknya lirih.
Hatinya langsung menegang.
Apa yang Elara lakukan di sini?
Elara seharusnya sudah pulang duluan.
Nayara pura-pura sibuk dengan mesin fotokopi, tapi matanya terus melirik diam-diam.
Saat ia menoleh lagi — Elara sudah tak ada.
Hanya genangan air dan pantulan langit abu-abu yang tersisa.
Malamnya, di rumah, Nayara nyaris tak bisa tidur.
Pikirannya berputar.
Tiap kali ia memejamkan mata, bayangan tatapan Elara muncul lagi — tajam, seperti ingin menembus dinding rahasia yang selama ini ia jaga mati-matian.
Ia menatap langit-langit kamarnya, bergumam pelan,
“Kalau dia tahu… semuanya selesai.”
Tangannya refleks meraih laci kecil di samping tempat tidur, tempat ia menyimpan surat lama dari Alaric — selembar kertas yang seharusnya sudah ia buang.
Tapi setiap kali mencoba, tangannya gemetar.
Kertas itu hanya berisi tiga kata.
Tiga kata yang cukup untuk membuatnya kehilangan arah:
“Kau tetap milikku.”
Air matanya jatuh tanpa suara.
Ia membenci dirinya sendiri karena masih menyimpan surat itu, tapi lebih dari itu — ia membenci kenyataan bahwa sebagian dari dirinya masih menggigil setiap kali mengingat suara Alaric.
Dan sekarang, Elara mungkin mulai tahu sesuatu.
Nayara menatap cermin di depannya.
Wajahnya tampak lelah, tapi di balik mata yang merah, ada tekad kecil yang mulai tumbuh.
Ia tidak bisa terus seperti ini.
Kalau Elara benar-benar mulai curiga, satu-satunya cara untuk menyelamatkan semuanya… adalah dengan menjauh.
Dari Elara.
Dari rumah besar itu.
Dan dari bayangan pria yang terus menghantui pikirannya.
...----------------...
Sudah dua minggu sejak Nayara mulai menjaga jarak.
Awalnya hanya hal kecil — pura-pura sibuk saat jam istirahat, menghindar dengan alasan harus mengerjakan tugas, atau pulang lebih dulu sebelum Elara sempat mengajaknya berbincang.
Tapi lama-lama, jarak itu jadi nyata.
Kini mereka duduk di bangku yang sama, tapi rasanya seperti dua dunia berbeda.
Elara masih mencoba berbicara, tapi Nayara selalu punya alasan untuk menghindar.
Buku.
Tugas.
Pekerjaan paruh waktu.
Semuanya alasan yang benar — tapi tidak sepenuhnya jujur.
“Ra, nanti pulang bareng, ya?”
Suara Elara terdengar lembut di belakang Nayara.
Gadis itu menoleh pelan, bibirnya tersenyum, tapi matanya tak ikut tersenyum.
“Kayaknya aku harus mampir dulu ke tempat kerja. Ada tugas yang belum sempat disalinin, Lar.”
“Oh… gitu ya,” Elara menatapnya, mencoba memahami. “Akhir-akhir ini kamu sibuk banget, ya?”
Nayara mengangguk singkat, “Hehe… iya, biar gak ketinggalan pelajaran.”
Elara tersenyum lagi, tapi senyum itu hambar.
Nayara tahu, sahabatnya sedang menahan rasa heran.
Dan itu justru membuat dadanya makin sesak.
Sepulang sekolah, langkah Nayara terasa berat.
Ia menyusuri jalan sempit di belakang sekolah, melewati pagar besi yang sudah berkarat.
Di balik pagar itu, ada taman kecil — tempat mereka dulu sering makan bekal bersama, tempat Elara pernah bilang,
“Kamu gak usah berubah, Ra. Aku suka kamu yang apa adanya.”
Kata-kata itu kini terasa seperti duri di dada.
Nayara menunduk, memandangi tanah yang basah.
Hatinya bergetar, antara ingin kembali seperti dulu dan takut semua akan hancur kalau Elara tahu kebenarannya.
Malam itu di rumah, Nayara termenung di jendela.
Lampu jalan menyala temaram, memantul di kaca matanya.
Ibunya sudah tidur, ayahnya juga.
Tapi otaknya tak berhenti berpikir — terutama sejak Elara makin sering menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
“Kalau aku jujur, semuanya selesai…” gumamnya pelan.
Ia tahu Elara orang yang lembut, tapi juga tegas pada hal yang menyangkut kejujuran.
Elara tidak suka dibohongi — itu yang paling ia benci.
Dan itu juga alasan dulu persahabatan mereka sempat hancur sekali.
Nayara memejamkan mata.
Di balik kelopak itu, bayangan Alaric muncul lagi — senyum tipisnya, cara pria itu memandangnya seolah tahu betul setiap reaksi tubuhnya.
Gadis itu memeluk dirinya sendiri.
Dingin malam menyusup ke kulitnya, tapi yang membuatnya menggigil bukan udara — melainkan kenyataan bahwa Alaric masih ada di luar sana.
Mengawasi.
Menunggu.
Dan kini, satu-satunya orang yang masih bisa membuatnya merasa normal — Elara — justru harus ia jauhi.
“Maaf, Lar… aku cuma gak mau kamu terluka,”
bisiknya pada angin malam,
padahal yang sebenarnya terluka… adalah dirinya sendiri.