Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Menahan amarah
Pertanyaan-pertanyaan tentang Ryan yang selalu menjadi tanda tanya besar dikepala Rania, kini ia tahu jawabannya dari mulut Puspa sendiri. Salah satunya darimana Ryan mendapatkan banyak uang untuk kebutuhan sehari-hari. Ternyata, dia mendapatkan kiriman uang dari ke-dua orang tuanya setiap bulan.
Ya, mereka sudah berkenalan dengan lebih baik, dan bercerita tentang banyak hal. Sesekali diselingi dengan topik seputar kehamilan. Rania ikut senang saat Puspa terlihat excited membahas cucu pertamanya, itu tandanya, bayi didalam perutnya diterima dengan baik.
Larut dalam obrolan, Puspa sampai tidak sadar kalau hari sudah beranjak sore. Melongok ke arah luar pun ternyata sudah gelap.
"Ibu harus pulang sekarang. Lain kali ibu akan datang ke sini lagi untuk berkunjung."
Rania ikut berdiri dan mengantarkan Puspa sampai ke teras.
"Hati-hati dijalan ya, Bu? Kalau sudah sampai rumah kabari."
"Tentu, nanti ibu akan mengirim pesan kalau sudah sampai rumah. Dan mungkin akan selalu mengirimkan pesan setiap harinya yang akan menganggu ketenangan mu."
Terkekeh. "Tidak masalah, aku akan menunggu pesan dari ibu setiap hari."
Tepat kaki Puspa memijak tanah, Ryan datang setelah menutup pagar rumah. Tanpa sadar Rania menahan napas melihat kehadiran suaminya secara tiba-tiba. Apalagi wajahnya terlihat langsung mengeras saat melihat kehadiran Puspa disini.
Berbanding terbalik dengan reaksi Ryan, Puspa tersenyum senang menghampiri putranya. Tanpa menyapa terlebih dahulu, Puspa langsung memeluk tubuh Ryan begitu saja.
Namun semua itu tidak bertahan lama karena Ryan langsung mendorong tubuh Puspa sampai pelukan ke-dua-nya terlepas. Puspa menatap terkejut.
"Ryan—,"
"Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?"
"Ibu hanya berkunjung sebentar untuk menengok keadaanmu."
"Tapi aku tidak pernah mengijinkan kakimu menginjak tanah rumah ini lagi. Apa kau tidak malu menunjukkan wajahmu di hadapanku, hm? APA KAU TIDAK PUNYA MALU?"
Mata Rania dan Puspa kompak terpejam erat saat teriakan itu mengudara bebas nan keras. Dua bulu alisnya bertautan dengan tangan mengepal disisi tubuh.
Rania menelan ludah susah payah, kakinya ia paksa melangkah mendekati sang suami. "Ryan—,"
"Kau juga!" Menunjuk wajah Rania menggunakan jari telunjuk. "Kenapa kau ijinkan dia menginjakkan kaki didalam rumahku?"
"Aku tidak tahu."
Ketika tangan Rania bergerak maju hendak menyentuh Ryan, pria itu sudah lebih dulu menepis kasar.
"Jangan kasar pada istrimu, Ryan. Dia sedang hamil—,"
"Tidak usah sok menasehati. Aku hanya meniru dirimu dan mantan suamimu itu."
"Mereka adalah orang tuamu—,"
"Siapa yang menyuruhmu bicara?"
Belah bibir Rania terkatup rapat saat mata suaminya memicing ke arahnya. Membuat Rania sedikit ketakutan hingga perutnya terasa mulas.
Karena tidak ingin keadaan ini semakin buruk, Puspa segera menengahi. "Ibu akan pergi dari sini, Ryan. Tapi tolong jangan sakiti istrimu. Dia sedang hamil."
Ryan hanya diam tak bergeming. Menatap tajam sang ibu dengan berani, menunggu wanita itu pergi dari hadapannya.
Puspa mendekati menantunya dan mengusap singkat salah satu bahu. "Ibu pulang dulu," Ucap dengan suara lirih.
Setelah mendapatkan anggukan kepala dari Rania, baru Puspa mulai melangkah menjauh. Tangisan mulai pecah saat kakinya memijak luar gerbang. Dia memutar setengah tubuh guna melihat rumah lama sekali lagi, anak mantunya ternyata sudah tidak ada dihalaman.
"Maafkan ibu, Ryan. Ibu tahu kamu masih sakit hati karena ibu meninggalkan kamu begitu saja dulu. Maaf karena ibu sangat egois, hanya mementingkan kebahagiaan ibu sendiri, hingga lupa kalau kamu juga memiliki hak untuk ibu bahagiakan."
...----------------...
Ryan menggiring Rania sampai ke dalam kamar. Disana, Ryan langsung mendorong Rania ke atas kasur dan mulai memakinya.
"Kau sangat kurang ajar! Siapa yang mengijinkan kamu bicara dengan wanita tadi, ha?! SIAPA?!"
Manik indahnya mulai terlapisi likuid bening. "Aku tidak tahu dia ternyata ibumu—,"
"Dia bukan ibuku," Desisnya tajam.
"Aku kira tamu yang datang. Aku berani bersumpah! Aku tidak tahu kalau Bu Puspa adalah orang yang kamu kenali sebelumnya."
"Meskipun tidak tahu, harusnya kau berhati-hati dengan tidak membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah. Ini rumahku, bukan rumahmu, jadi kau tidak boleh bertingkah sesuka hati."
Batin Rania berdenyut sakit. Sudah tiga bulan tinggal dirumah ini, tapi sepertinya Ryan masih menganggap Rania sebagai orang asing yang sedang menumpang hidup, bukan seorang istri. Ia pikir Ryan mulai luluh hidup bersama karna sikap baiknya akhir-akhir ini, tapi ternyata salah. Ryan tetaplah Ryan, pria dengan hati keras seperti batu.
Tidak akan mudah membuatnya luluh.
Bola mata Rania bergulir memandang segala arah. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap wajah suaminya secara langsung. "Aku minta maaf," Lirihnya.
"Kau ingin dihukum lagi sepertinya."
Mendengar hal itu, buru-buru Rania menggelengkan kepala. Spontan ke-dua tangan melingkari perut dengan tujuan melindungi. Jantung Rania berdetak kencang saat Ryan mulai melangkah mendekat.
"Tidak, jangan pukul aku lagi."
Langkahnya pelan dan mantap. Mampu membuat rasa takut Rania semakin bertambah disetiap langkah yang Ryan ambil.
"Ryan, kumohon jangan pukul aku lagi. Setidaknya jangan sekarang. Aku sudah berjanji pada ayahku akan datang besok. Jika ada lebam baru di tubuhku, pasti ayah akan menaruh curiga."
Rania memejamkan ke-dua mata saat mengatakan hal tersebut. Baru berani membuka kelopak mata saat dimana ia mendengar suara langkah kaki menjauhi ruang kamar. Tak lama kemudian suara pecahan piring dan teriakan Ryan terdengar diluar ruangan.
Notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel miliknya yang terletak diatas nakas. Rania meraih ponsel tersebut dan membuka ruang pesan, ternyata ibu mertuanya yang mengirim pesan.
[Ibu mertua: Apa Ryan menyakitimu, nak? Tolong balas pesan ibu.]
Mengusap air mata, lalu mengetik balasan.
[Rania: Tidak, Bu. Semua baik-baik saja. Ibu jangan khawatir. Datanglah ke sini jika ibu ada waktu, aku yakin suamiku akan luluh melihat perjuangan ibu mendekatinya.]
[Ibu mertua: Ibu tidak yakin.]
Ya, melihat watak keras Ryan yang tercipta karena lingkungan tidak sehat semasa kecil, sepertinya memang sulit mendekati pria itu. Rania sendiri tidak yakin kepada hubungan mereka berdua.
Mendengar kisah ibu mertua dan melihat perilaku Ryan saat ini, Rania jadi berubah pikiran untuk mempertahankan rumah tangganya. Rania takut anaknya akan mengalami hal yang sama dengan Ryan.
Melihat kekerasan didepan mata dapat membahayakan tumbuh kembang anak. Rania masih waras untuk memprioritaskan anak, dibanding dirinya sendiri.
iri dengki trus km gedein....
trus"in aja km pupuk iri dengkimu trhdp rania.... yg sdh sll mngalah & brkorban demi km manusia yg g brguna.... km yg bkaln hncur ambar... oleh sikapmu yg tamak & g ngotak...
bkal nyesel km klo smpe trjadi hal buruk trhdp rania dan ankmu....
untuk bu mina.... gmn... puas km mlihat pnderitaan ank yg tak penah km kasihi.... krna ksih sayangmu sdh km habiskn untuk ank mas'mu yg sialan itu...
hidupmu itu tak tau diri... dri dlu sll jdi kang rebut yg bukan milikmu.... benalu... tukang fitnah...
yakinlah ambar.... hidupmu tak akn prnah brjumpa dgn yg namanya bahagia dan ketenangan....
smoga sja ryan kedepannya bisa berubah & sll brfikir dgn akal sehat.... tak mudah tesulut emosi... krna sbntr lgi akn mnjadi ayah..
krna dunia ibumu hnya untuk ank kesayangannya yg durjana....
yakinlah.... kelak ank ksayangannya tak akn mau mngulurkn tangannya untuk merawat org tuanya....
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍