Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Tamu
Pagi-pagi Diajeng sudah siap menyambut sang asesor di hari kedua. Setelah memastikan semua beres, Diajeng berdiri di lobi sekolah bersama pak Hadi dan pak Rahmad. Diajeng mengenakan baju batik seragaman dengan pak Hadi dan pak Rahmad. Rok sepan dan sepatu pantofel hils nya menambah kesan keanggunannya. Jilbab hijau daun yang dililitkan sebagian, membuat wajahnya tampak lebih segar. Make up natural yang selalu dikenakannya menambah kesan sederhana pada diri wanita baik itu.
Sebuah mobil Fortuner hitam memasuki area halaman sekolah. Dan disusul dibelakangnya sebuah mobil pajero putih yang kemudian parkir di tempat yang sudah disediakan. Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil fortuner itu dengan membawa tas jinjing bermerk di sana. Meski usia sudah tak lagi muda, namun wanita berjilbab biru itu masih tampak energik. Dan seorang laki-laki muda muncul juga dari mobil pajero putih dengan mengenakan celana bahan berwarna hitam, sepatu pantofel, dan baju kemeja berwarna navy polos dengan rambut klimis. Tangan kiri menggendong tas ranselnya sedangkan tangan kanannya memegang kunci mobil. Dia melangkah mendekati wanita paruh baya itu dengan sedikit membungkuk, lalu mereka berjalan beriringan menuju para dewan guru yang menyambut mereka.
"Assalamu'alaikum." salam Asesor laki-laki bernama Hisyam itu ramah kepada semua dewan guru yang menyambutnya.
"Wa'alaikumussalam." jawab mereka serempak.
Diajeng menyapa mereka dengan menanyakan kabar dan lainnya kepada Hisyam dan Bu Ani. Diajeng menangkupkan kedua tangan di dada kepada Hisyam dengan senyum ramahnya, dan menyalami bu Ani dengan penuh kehangatan. Namun, hari ini berbeda dengan kemarin, jika kemarin Hisyam santai menerima sapaan Diajeng, hari ini ada desiran hangat di dalam dadanya tatkala menerima sapaan itu. Melihat senyum wanita itu, bahkan Hisyam mencoba untuk menguasai dirinya untuk tidak tampak grogi.
"Pak Hisyam, maaf ini data yang anda minta kemarin." kata Diajeng sambil menyerahkan sebuah map kuning kepada Hisyam dengan menebar aroma parfum yang dapat dicium Hisyam dengan liar.
"O, oh. Ya. Terimakasih bu Ajeng." jawab Hisyam gugup.
"Maaf, pak Hisyam, baik-baik saja 'kan?" tanya Diajeng dengan raut khawatir.
"I iya bu. Saya baik."
"Syukurlah." jawab Diajeng tersenyum tulus.
Setelah membuka berkas yang mereka teliti, Hisyam dan bu Ani mengikuti Diajeng berkeliling kelas, sambil mencocokkan berkas yang mereka bawa. Hingga jam makan siang tiba, mereka makan bersama diruang tamu tempat mereka berkoordinasi.
Hisyam melirik Diajeng yang begitu tenang saat makan, dan jemarinya yang imut mengambil gelas di depannya dengan perlahan, Hisyam tak bisa melupakan begitu saja kata pakdenya semalam.
"Namanya Diajeng Rahayu." suara itu kembali terngiang di telinga Hisyam.
"Yaa Allah, benarkah dia yang pakde maksud? Kenapa namanya begitu mirip?" batin Hisyam.
"Pak Hisyam." sapa bu Ani membuyarkan lamunannya.
"Eh, ya bu?"
"Urusan kita sudah selesai, bu Ajeng sangat cekatan menyiapkan semuanya hingga bisa menyingkat waktu kita bertugas di sekolah ini. Misal kita pamit duluan, bagaimana ya pak?" tanya bu Ani.
"Ya, nanti langsung pamit saja bu." jawan Hisyam.
"Lagipula, aku harus ke toko emas bersama bunda, untuk membelikan cincin yang akan kuberikan pada wanita pilihan pakde." batin Hisyam mengingat tadi sempat janjian dengan sang bunda untuk pergi ke toko emas.
Acara Ishoma sudah selesai. mereka bercengkrama di ruang tamu sekolah. Diajeng banyak bertukar pikiran dengan bu Ani. Pembawaannya yang supel dan cerdas, seperti tak kehabisan bahan berbicara. Senyum merekah begitu menggugah hati Hisyam yang tau betul bahwa dia akan melamar gadis itu. Ya, Hisyam yakin, bahwa wanita inilah yang dimaksud pakdenya. Karena dari data yang dia bawa, semua mirip dengan yang disampaikan pakdenya.
"Terimakasih bu Ajeng atas sambutan dan suguhannya." kata bu Ani dengan penuh rasa puas.
"Sama-sama bu Ani."
"Alhamdulillah, semua bulir sudah terpenuhi, semoga nanti hasilnya memuaskan ya bu." lanjut bu Ani.
"Aamiin, Terimakasih banyak bu Ani, pak Hisyam." kata Diajeng sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Sama-sama bu Ajeng. Kalau begitu, kami undur diri ya." pamit Hisyam dengan sedikit canggung.
"Ya pak Hisyam, hati-hati di jalan."
Diajeng dan pak Hadi mengantarkan dua asesor mereka sampai di parkiran. Setelah kedua mobil berjalan meninggalkan parkiran mobil karyawan, Diajeng kembali ke ruang kerjanya.
Diajeng segera membereskan semua berkas dan beberapa yang perlu dibereskan. Setelah selesai, Diajeng bermaksud untuk pulang ke rumahnya.
Sampai di depan rumahnya, Diajeng melihat sebuah mobil asing yang terparkir di halaman rumahnya. Diajeng segera turun dari mobilnya dan beranjak masuk untuk memastikan siapa tamu yang datang.
"Assalamu'alaikum." salam Diajeng pelan, tetapi berhasil menarik perhatian semua orang di ruang tamu itu.
"Wa'alaikumussalam warohmatullah. Nduk, baru pulang?" tanya pak Sabari menyambut putrinya.
"Iya pak, maaf ya pak." kata Diajeng sambil mencium punggung jangan bapaknya.
Kemudian Diajeng menoleh ke arah tamu yang duduk di sebelah kanan Diajeng, seorang bapak-bapak seumuran bapaknya dan juga seorang wanita yang juga berusia kosaran bapaknya. Namun, dari pandangan Diajeng, ada satu lagi orang yang duduk menunduk sambil memainkan ponselnya. Dia tampak masih muda, seorang laki-laki dengan postur yang tinggi berambut cepak rapi.
"Ini teman bapak, Nduk, pak Hanif, yang kemarin mengantar bapak pulang." kata pak Sabari memperkenalkan sahabatnya.
"Dan yang sebelahnya ini, bu Khadijah, adiknya pak Hanif. Serta yanh duduk di sana itu..." kata pak Sabari sambil menunjuk Laki-laki yang duduk menunduk, kini tampak mengangkat wajahnya.
"Pak Hisyam..." gumam Diajeng yang bisa terdengar oleh pak Sabari.
"Lah, kamu sudah mengenalnya, Nduk?" tanya pak Sabari terkejut, memandang putrinya dan putra Ijah bergantian.
Diajeng masih mematung memandang wajah tampan nan rupawan seorang Hisyam, bapak asesor muda yang cukup membuat Diajeng bisa sedikit move on dari sosok kepala sekolah yang menyebalkan.
Tak jauh berbeda juga dengan laki-laki yang duduk di ujung, Dia juga sempat terkejut saat melihat Diajeng masuk ke rumah itu. Tetapi sekejap saja, rasanya dia kurang berhasil mengendalikan jantungnya yang bekerja tidak beraturan. Hisyam berusaha menguasai dirinya, hingga kemudian dia tersenyum canggung menyapa Diajeng, seorang gadis yang telah berhasil membuat kerja jantungnya tak beraturan.
"I-iya pak. Beliau itu, asesor di sekolah Ajeng." jawab Diajeng gugup.
"Oh, kalian sudah saling kenal? Bagus lah kalau begitu." jawan pak Sabari.
"Ya sudah kamu mandi dan bersih-bersih dulu gih, nanti biar enak ngobrolnya " titah pak Sabari.
Sambil membungkukkan sedikit tubuhnya, Dianeng masuk ke dalam ruang keluarga, lalu melanjutkan ke kamarnya sendiri.
Sampai di kamar, Diajeng menghirup udara dalam-dalam di sebalik pintu kamarnya. Diajeng tersenyum sambil jingkrak jingkrak seperti anak kecil mendapat hadiah boneka dari ayahnya.