Di balik megahnya pusat kekuasaan, selalu ada intrik, pengkhianatan, dan darah yang tertumpah.
Kuroh, putra dari seorang pemimpin besar, bukanlah anak yang dibuang—melainkan anak yang sengaja disembunyikan jauh dari hiruk-pikuk politik, ditempatkan di sebuah kota kecil agar terhindar dari tangan kotor mereka yang haus akan kekuasaan.
Namun, takdir tidak bisa selamanya ditahan.
Kuroh mewarisi imajinasi tak terbatas, sebuah kekuatan langka yang mampu membentuk realita dan melampaui batas wajar manusia. Tapi di balik anugerah itu, tersimpan juga kutukan: bayangan dirinya sendiri yang menjadi ujian pertama, menggugat apakah ia layak menanggung warisan besar sang ayah.
Bersama sahabatnya Shi dan mentor misterius bernama Leo, Kuroh melangkah ke jalan yang penuh cobaan. Ia bukan hanya harus menguasai kekuatannya, tetapi juga menemukan kebenaran tentang siapa dirinya, mengapa ia disembunyikan, dan apa arti sebenarnya dari “takdir seorang pemimpin”.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ell fizz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mega Cannon
Wajah Kuroh yang membara kini mulai tenang setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Albert. Ia tahu kalau kata kata yang baru di ucapkan Albert tulus tanpa ada suatu hal yang lain.
"Benarkah? Apa kau yakin untuk mengikuti jalan ku?" tanya Kuroh.
Albert mendekat lalu menempelkan jari telunjuknya pada kalung yang digunakan oleh Kuroh.
"Sangat yakin!" ucap nya dengan wajah tersenyum. "Menjaga kalung yang ayah mu titip saja aku bisa apalagi hanya mengikuti batu kecil yang akan kau lalui."
Kata kata itu langsung menyentuh hati terdalam Kuroh.
Namun......
“Tembakkan Mega Cannon pada dua orang itu,” ucap sang Raja Langit dengan nada yang terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menjatuhkan vonis dunia.
Dan benar saja, tak lama setelah itu angin yang mulanya tenang kini makin kencang. Tanah bergetar dahsyat. Semua orang yang ada disekitar langsung lari.
Albert menatap tajam ke arah raja langit, ia tahu Mega Cannon adalah tembakan skala besar yang mampu menghancurkan satu negara dalam sekejap.
Albert langsung berteriak ke arah raja langit.
"Apa hak kalian menggunakan itu?" katanya singkat. "Senjata tingkat tinggi tak boleh digunakan semena mena.
Kuroh kemudian bertanya apa itu Mega Cannon?.
Albert menatap wajah Kuroh sambil menjelaskan. "Senjata Mega Cannon dipercaya adalah senjata tingkat tinggi dengan bahaya paling tinggi yang pernah ada di dunia. Senjata itu dikenal sebagai 3 senjata kunci penghancur dunia."
Kini Kuroh menggenggam tangan nya erat erat, berdiri tegak menghadap raja langit yang dibelakang nya ada sebuah laser merah, masih kecil namun membuat seluruh umat kala itu ketakutan.
Raja langit yang ada dihadapan Kuroh berdiri dengan gaya santai sambil tersenyum.
"Mati saja kalian, dasar sampah."
Tubuh Kuroh mulai gemetar, ini pertama kalinya tubuh nya bergetar setelah latihan panjang nya.
(Sialan kenapa tubuh ku malah bergetar sendiri.)
Tak lama sebuah tangan memegang pundak Kuroh, dia terkejut dan langsung menoleh kebelakang. Albert mendekatkan wajah nya dengan wajah Kuroh berbisik.
"Jujur saja dengan 5 Expert pilar dan 1 senjata tingkat tinggi membuat ku ragu untuk memenangkan ini" Ucap nya dengan nada kecil.
Bola mata Kuroh tiba tiba membesar, terlihat di belakang raja langit tepat di kejauhan titik merah itu makin lama makin membesar.
Tidak hanya sebuah titik, kini mulai berubah menjadi sebuah mata yang menatap tajam mereka dengan niat menghancurkan dunia.
Laser di kejauhan kini bukan sekadar cahaya—
melainkan mata raksasa merah yang menatap bumi dengan kebencian purba.
Suara berdengung bergema, setiap detaknya seperti dentang lonceng kiamat.
“Penembakan Mega Cannon dimulai dalam tiga... dua... satu—”
Suara mekanik itu menusuk udara, lalu WHOOM! —
kilatan merah meledak dari langit, menembus awan, membelah siang jadi senja berdarah.
Kuroh refleks menghunus belati, Albert sudah menyiapkan rantai yang berputar di sekeliling tubuhnya.
Tapi mereka tahu—itu bukan serangan yang bisa mereka tangkis.
(Sial… tak ada waktu!) pikir Kuroh.
Tepat sebelum cahaya itu menghantam tanah—
suara berteriak pecah dari kejauhan.
“Kuroh!! Albert!! Borgolnya—udah lepas!!”
Itu suara Shi, diikuti Leo yang berlari sambil menarik rantai raksasa yang kini terputus.
Kuroh menoleh cepat—dan di antara puing, terlihat Big Four terjatuh bebas dari tiang eksekusi.
Borgol Nullforge—yang bahkan para Raja Langit anggap tak bisa dihancurkan—retak dan hancur seperti kaca.
“Bagus kerja kalian…” gumam Kuroh pelan.
Mega Cannon sudah di ambang tembakan, suara letusannya memecah bumi.
Udara bergetar—
“Sekarang, Kuroh!!” teriak Albert.
Kuroh menggenggam kalung di lehernya. Cahaya ungu melesat dari bawah kaki mereka.
Dalam sepersekian detik, dunia membengkok—dan tubuh mereka menghilang dari titik tembak.
Ledakan merah menghantam tanah beberapa meter di belakang, menelan apapun di radiusnya.
Langit memutih, suara lenyap, dan hanya tersisa gema angin yang menjerit.
Ketika cahaya memudar, empat siluet muncul di sisi barat reruntuhan —
Kuroh, Albert, Leo, dan Shi, berdiri bersama Big Four yang kini bebas, meski tubuh mereka lemah.
Albert terengah, matanya menatap langit yang masih menyala merah.
“Itu baru tembakan percobaan,” katanya lirih.
“Kalau mereka menembak lagi… dunia ini benar-benar tamat.”
Mereka kini bersembunyi di reruntuhan bekas tembakan. Kuroh mendekati big four yang pingsan, nafas mereka terdengar lemah. Kuroh memeriksa kantong nya berharap ada sebuah minum atau makanan namun percuma.
Sebuah tangan dengan makanan tiba tiba muncul di samping Kuroh. Mata Kuroh langsung melirik itu dan mengambil itu. Kuroh langsung mengangkat salah satu big four yang pingsan di tanah dengan perlahan. Menggoyangkan badan nya perlahan sampai terbangun. Mata nya kini mulai terbuka perlahan, ia bergumam dengan suara tak jelas namun menandakan kalau dia sudah bangun.
Kuroh memotong makanan itu sedikit, lalu mulai menyuapinya.
Mulutnya perlahan terbuka dan masuklah makanan itu ke dalam.
Suara napasnya mulai teratur, matanya terbuka sedikit, menatap Kuroh dengan pandangan kosong tapi hidup.
“...Kuroh?” suaranya lemah, hampir nggak kedengeran.
Kuroh cuma ngangguk kecil. “Santai aja, kalian udah bebas sekarang.”
Albert duduk di samping, ngusap pelipisnya yang masih berdarah.
Shi dan Leo berdiri nggak jauh, masih awas, takut kalau serangan kedua datang kapan aja.
Hayato pelan-pelan bangun, dibantu Kuroh.
Ziodes masih pingsan tapi dadanya naik turun perlahan.
Keizuke Jack ngeludah darah dan nyengir kecil. “Heh... aku kira udah mati bareng borgol itu.”
Makoto diem, tapi air matanya jatuh tanpa suara.
Kuroh berdiri, matanya mantap ngeliat langit merah di atas.
“Perang ini belum selesai,” katanya pelan.
“Kalau mereka bisa pakai Mega Cannon sesuka hati… maka giliran kita buat ngelawan balik.”
Albert ngelirik ke arah barat, ke langit yang mulai gelap. “Kita nggak bisa lama di sini. Mereka pasti udah sadar kita masih hidup.”
Shi langsung nyaut, “Aku tau tempat yang aman… Lansea. Masih jauh, tapi cuma itu satu-satunya tempat yang nggak bisa dideteksi radar langit.”
Kuroh ngangguk. “Baik. Kita ke sana.”
Leo bantuin Hayato berdiri, sementara Albert gendong Ziodes di punggungnya.
Kuroh liat mereka satu-satu, lalu jalan paling depan tanpa banyak kata.
Langit mulai gelap sepenuhnya. Sisa cahaya merah dari Mega Cannon masih kelihatan di balik awan.
Dan di tengah malam itu, tujuh bayangan bergerak menjauh dari reruntuhan, melangkah menuju Lansea —
tempat terakhir di dunia yang masih bisa disebut aman.
"Kenapa kalian semua berada di Nozar?" tanya Ziodes.
Kuroh memegang kepala nya menggelengkan kepalanya pusing.
"Semua nya kacau semenjak aku gagal menghentikan 5 raja langit kala itu di gerbang" kata nya. "Jujur saja mereka ada di level atas."
Albert memotong bertanya.
"Kau menghadapi 5 raja langit sendirian? Itu tak mungkin" ucap nya tak percaya.
Kuroh menghembuskan nafas panjang lalu berkata.
"Tak ada yang tahu peristiwa itu, hanya aku, Shi dan big four saja yang tahu" ucap nya. "Kini kita fokus untuk pergi ke tanah Lansea untuk memulihkan diri."
tanah di depan mereka mulai bergetar pelan.
Udara memutar, membentuk pusaran ungu dengan kilat kecil di sekelilingnya — portal menuju Lansea.
“Portal udah siap,” kata Kuroh.
Satu per satu mereka melangkah masuk — Leo paling dulu, diikuti Albert yang masih gendong Ziodes, lalu Hayato dan Keizuke Jack yang saling bantu jalan.
Kuroh menatap langit merah terakhir kali sebelum ikut melangkah.
“Raja Langit…” gumamnya pelan. “Kali ini… giliran kami yang membalas.”
Portal itu menelan mereka dalam cahaya ungu, dan hanya menyisakan sunyi di tengah reruntuhan dunia yang baru saja lolos dari kiamat.