Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 28
Nara membuka mata perlahan, tapi tidak berbalik. “Hm?” suaranya datar.
Zean menarik napas. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia berkata lirih, “Aku… minta maaf. Waktu itu… aku keterlaluan.”
Nara membeku. Ia tahu jelas apa yang dimaksud. Malam di mana kata-kata Zean jauh lebih tajam dari pisau. Ucapan yang hingga kini masih menyisakan luka di hatinya.
Perlahan ia berbalik, menatap wajah lelaki itu. Tatapannya tenang, tidak lagi penuh tangis, tapi tetap meninggalkan jarak. “Maafmu tidak menghapus apa yang sudah kamu katakan, Zean.”
Zean menelan ludah, gengsinya masih sedikit melekat. “Aku tahu salah. Tapi…aku mohon maafkanlah aku.”
Keheningan kembali menyelimuti. Nara menatapnya sejenak, lalu membalikkan tubuh, membelakangi lelaki itu lagi. “Aku sudah terlalu sering terluka, Zean. Jadi jangan buat aku berharap dari permintaan maafmu.”
Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar samar.
Zean terdiam. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, tapi ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Akhirnya ia hanya menatap punggung istrinya yang kaku, lalu memejamkan mata dengan napas berat.
Malam itu, mereka tidur berdampingan, dua hati yang sama-sama terluka, namun pelan-pelan mereka akan belajar untuk saling memahami.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Hari-hari di rumah besar keluarga Hendrik berjalan dengan ritme yang lambat. Seminggu sudah berlalu sejak Nara pulang dari rumah sakit, namun tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, terbaring dengan selimut menutupi tubuh, atau duduk di kursi dekat jendela sambil menatap ke luar.
Sesekali ia keluar ke taman belakang untuk sekadar menghirup udara segar, namun itu pun tak pernah lama. Rasa mual dan pusing masih sering datang tiba-tiba, membuat langkahnya terhenti dan wajahnya pucat.
Setiap kali itu terjadi, Zoya selalu setia di sisinya. Gadis itu menuntun, menopang lengan, bahkan menyiapkan kursi taman agar Nara bisa duduk. Kadang ia hanya diam menemani, kadang membisikkan kalimat sederhana.
“Ibu harus menjaga diri. Jangan terlalu memaksakan, ya,” ucap Zoya lembut ketika suatu pagi melihat Nara mencoba berdiri lebih lama dari biasanya.
Nara menarik napas panjang, bibirnya membentuk senyum tipis. “Aku tahu, Zoya. Hanya saja… kalau terus berbaring, rasanya aku seperti orang sakit parah. Padahal aku hanya lelah.”
Zoya menunduk, hatinya perih. Ada sesuatu yang ingin ia katakan tentang alasan sebenarnya di balik rasa mual dan cepat lelah itu, namun ia menahan diri. Rahasia itu terlalu besar untuk terucap begitu saja.
Di sisi lain, suasana tidak kalah aneh.
Biasanya, Zean adalah orang pertama yang duduk di meja makan dengan cangkir kopi hitam di tangannya. Namun beberapa hari terakhir, kopi justru menjadi musuhnya.
Pagi itu, Melisa baru saja menuang kopi segar. Aroma pekatnya memenuhi ruang makan. Zean yang baru turun menghentikan langkah, alisnya berkerut tajam. Ia menutup hidung, ekspresinya berubah masam.
“Astaga, kenapa baunya menusuk sekali,” gerutunya sambil mendorong cangkir menjauh.
Melisa memandang putranya dengan heran. “Zean, kamu ini kenapa? biasanya tidak bisa hidup tanpa kopi. Apa perutmu sakit?”
Zean hanya menggeleng singkat, tidak berniat menjelaskan. Ia menyingkirkan cangkir, lalu tanpa sadar mengambil mangkuk berisi mangga muda yang baru saja dipotong oleh melisa untuk Nara. Dengan santai, ia melahap irisan buah itu.
Melisa semakin bingung. “Zean… sejak kapan kamu suka yang asam-asam begitu?”
“Entahlah Ma.” Jawabannya datar, seperti biasa. Tapi tangannya tetap meraih potongan berikutnya, seolah tubuhnya mencari rasa itu.
Sore menjelang. Langit perlahan berubah warna, dari biru pucat menjadi oranye keemasan. Di taman belakang rumah besar keluarga Hendrik, Nara duduk diam di bangku panjang dengan selimut tipis menyelimuti kakinya. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah dan bunga yang baru saja selesai disiram.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan rasa mual yang sejak tadi tak kunjung reda. Sesekali ia menarik napas panjang, seolah berharap udara segar mampu menghapus ketidaknyamanan di tubuhnya.
Zoya berdiri di sampingnya dengan wajah khawatir. Matanya tak lepas dari Nara yang tampak semakin pucat. Akhirnya, ia memberanikan diri bicara.
“Bu… mari kita kembali ke kamar saja. Anda harus istirahat,” ucapnya pelan, sembari merangkul lengan Nara.
Nara membuka mata perlahan, menatap Zoya dengan senyum tipis. “Aku tidak apa-apa, Zoya. Hanya mual… tidak lebih.”
Zoya menelan ludah, suaranya merendah, hampir seperti bisikan. “Iya, Bu. Tapi ini sudah sore. Kasihan bayi yang ada di dalam kandungan Anda kalau terlalu lama di luar.”
Kalimat itu membuat Nara terdiam sesaat. Ada rasa hangat dan takut bercampur jadi satu setiap kali Zoya menyebut bayi itu. Ia menunduk, lalu mengangguk patuh. Dengan hati-hati, ia bangkit berdiri. Zoya segera menopangnya, memastikan langkahnya stabil hingga mereka masuk kembali ke dalam rumah.
Setelah sampai di kamar, Nara duduk di tepi ranjang. Pandangannya kosong menatap ke depan, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Zoya menyingkirkan selimut dari bahunya, lalu menepuk pelan tangannya.
“Jangan melamun terlalu banyak, Bu. Tidak baik untuk kesehatan.”
Nara tersenyum samar, lalu menoleh menatap Zoya dalam-dalam. “Zoya, besok kita kembali bekerja, ya. Aku sudah jauh lebih baik. Mual ini tidak apa-apa, aku masih kuat.”
Zoya menatapnya, ragu. “Tapi, Bu…”
“Tidak apa-apa,” potong Nara, suaranya terdengar meyakinkan, meski wajahnya tampak letih. Ia mengelus pelan lengan Zoya. “Oke? Aku baik-baik saja.”
Zoya hanya bisa mengangguk patuh. Lidahnya kelu untuk menolak, meski hatinya penuh keberatan. Bagaimana pun juga, ia tidak bisa menentang keinginan Nara, apalagi ketika wanita itu memintanya dengan nada lembut seperti itu.
Malam merambat pelan. Sejak Zoya pamit, Nara tidak kunjung merebahkan diri. Ia memilih duduk di tepi jendela kaca besar di kamarnya. Langit gelap di luar dipenuhi ribuan bintang yang berkelip indah, seolah berlomba menerangi kegelapan.
Namun keindahan itu sama sekali tidak mampu menghapus sesak di dadanya. Matanya terus menatap keluar, tetapi pikirannya berputar ke mana-mana. Tentang tubuhnya yang semakin lemah, tentang rahasia yang ia simpan rapat-rapat, tentang masa depan yang tak pernah jelas.
Ia menghela napas panjang, menempelkan kening ke kaca dingin.
Ditengah lamunannya, pintu kamar berderit terbuka. Langkah kaki masuk ke dalam. Nara tidak menoleh, tapi ia tahu persis siapa yang datang.
“Kenapa kau belum tidur?” suara Zean terdengar datar dari belakang.