Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Selalu Menjadi Milikku
Ditengah asyiknya suasana sore antara Mama Rini, Stasia dan Ayu di taman, tiba-tiba seseorang muncul dari belakang dan langsung mengacak rambut Ayu.
“Ini bocah kenapa masih di sini? Nggak mau pulang?” suara Damar menggema.
“Kak Damar!” teriak Ayu kaget sambil merapikan rambutnya. “Jangan bikin berantakan, ih!”
Damar hanya terkekeh puas melihat wajah kesal Ayu.
Mama Rini berdecak, “Jangan usilin calon menantu Mama, Dam. Kamu tuh selalu aja anggap Ayu masih bocah.”
“Dia memang masih bocah, Ma.” Damar sengaja menyeringai.
“Apa-apaan bocah? Aku sudah segini besar masih dibilang bocah. Bentar lagi nikah, loh, Bos. Senggol dong jomblo… cuakss!” Ayu balas menggoda.
“Siapa yang jomblo? Otw halal, nih, Bos!” Damar tidak mau kalah.
Mama Rini geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. “Kalian ini apaan sih… makin gede makin nggak karuan tingkahnya kalau sudah di rumah.”
Damar terkekeh, lalu tiba-tiba memeluk Mama Rini. “Maaf, mamaku yang cantik,” ucapnya manja sambil mengecup pipi ibunya.
Ayu memicing lalu berbisik di telinga Damar, “Udah gede masih aja manja.”
“Berisik!” Damar menoyor kepala Ayu, yang tentu saja berlanjut jadi saling ribut kecil.
Di sisi lain, Stasia hanya diam. Matanya mengikuti interaksi mereka, dan dadanya mendadak terasa sesak. Telinganya masih terngiang ucapan Mama Rini yang menyebut Ayu sebagai calon menantu. Rasanya seperti ada jarum halus yang menusuk-nusuk jantungnya. Ia berusaha menahan ekspresi, tapi ada denyut sakit yang sulit ia abaikan.
“Sudah, pergi sana. Papa ada perlu sama kamu. Sepertinya masalah kerjaan,” ucap Mama Rini akhirnya, menepuk lengan putranya.
“Ck, aku diusir, padahal baru ke sini.” Damar memasang wajah pura-pura merajuk.
“Dasar.” Mama Rini memukul kecil pundak anaknya, membuat Damar tertawa tanpa rasa bersalah.
“Baiklah, aku pergi ya, mama cantik…” Damar kembali mengecup pipi ibunya. Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik ke arah Stasia. Senyumnya nakal, ditambah satu kedipan mata yang jelas-jelas ditujukan padanya.
Stasia hanya membalas dengan senyum tipis, padahal hatinya bergejolak. Ada rasa yang sulit ia terjemahkan—antara hangat karena mendapat perhatian, dan perih karena bayangan kedekatan Damar dengan Ayu masih melekat kuat di benaknya.
***
Waktu berlalu begitu cepat; malam menjemput ketika Damar dengan penuh senyum mengantar Stasia pulang. Awalnya Stasia menolak, ingin naik taksi saja, tapi Mama Rini dan Papa Dean memaksa agar pulang diantarkan oleh Damar. Akhirnya Stasia menyerah juga — bukan karena ia mau, melainkan karena tak ingin membuat suasana tambah canggung.
Sepanjang perjalanan Stasia lebih banyak diam. Ares tertidur pulas di pangkuannya; dari tadi bocah itu memang luar biasa bersemangat sampai akhirnya kelelahan. Damar kadang melirik dan melihat pemandangan yang membuat perasaannya campur aduk — senang, cemas, dan sedikit heran melihat Stasia yang tiba-tiba pendiam sejak sore.
“Kenapa diam saja dari tadi?” Damar membuka suara, matanya tak lepas dari jalan.
“M… nggak apa-apa,” Stasia menjawab pelan.
“Sayang…” Damar mencoba memancing, suaranya lembut.
“Hm,” jawab Stasia singkat. Hanya itu.
Damar tersenyum karena mendapat respon sedikit saja. “Aku senang kamu merespon panggilan sayang dari ku. Jadi boleh aku panggil ‘sayang’, kan? Kamu nggak keberatan, kan?”
Stasia menatapnya dengan ragu. “Kalau aku bilang tidak, apa kamu bakal ganti panggilan lain?”
Damar terkekeh. “Tidak akan. Aku tetap panggil kamu ‘sayang’. Supaya seluruh dunia tahu kamu milikku.”
Stasia menghela napas panjang. Melawan Damar yang sedang bersikap seperti raja memang sulit. Ia memilih jalan diplomatis: “Terserah kamu. Tapi boleh minta satu hal?”
“Apa pun, sayang. Asal bukan membuat kita terpisah lagi.” Damar masih fokus mengemudi.
“Bolehkah panggilan itu hanya berlaku saat kita berdua saja?” Stasia menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku karyawanmu. Kalau CEO memanggil karyawannya ‘sayang’ di depan umum, nanti apa kata orang?”
Damar berhenti sejenak di lampu merah, menoleh padanya. “Maksudmu, kamu nggak mau kalau semua orang tahu hubungan kita?”
“Kita belum punya hubungan, Dam.” Nada Stasia tegas. Ia masih ragu.
Mobil melambat; Damar menepikan kendaraan ketika sudah sampai di parkiran apartemen Stasia. “Jangan turun dulu, biar aku yang menggendong Ares,” ia berkata sambil buru-buru keluar.
Damar menggendong Ares yang masih terlelap. Para satpam menyapa ramah, melihat pemandangan seperti suami-istri yang dengan seorang anak — sebuah situasi yang hangat bagi stasia namun entah bagaimana membuatnya merasa sesak.
Di pintu unit, setelah membuka pintu, Stasia bermaksud mengambil Ares, tapi Damar memberi kode halus bahwa ia yang akan menidurkannya. Setelah ditunjukkan dimana kamar Ares, Damar membawa Ares untuk ditidurkan di kamarnya, melepas sepatu kecilnya, memastikan selimut sudah rapi. Ketika bocah itu tidur, Damar melangkah kembali, menggenggam tangan Stasia.
“Bisa kita bicara dulu?” suaranya lembut.
Stasia mengangguk, lalu berjalan ke pantry untuk mengambil minuman. Damar menunggu di kursi, wajahnya tampak serius.
“Sayang…” Damar memegang lembut tangan Stasia yang sudah duduk di dekatnya.
“Aku tahu kamu butuh waktu,” lanjutnya pelan. “Tapi aku ingin kamu tahu, aku serius. Tidak apa kalau aku harus menunggu sampai kamu siap. Berapa lama pun—sebulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan bertahun-tahun—aku akan menunggu. Yang kuharap cuma satu: tetaplah di sisiku. Aku yakin di dasar hatimu, perasaanmu masih sama seperti dulu. Aku yakin Stacy yang lama itu masih ada di dalam dirimu.”
Stasia terasa ingin menangis. Perasaannya memang belum padam untuk Damar, tetapi rasa takut dan luka yang dia tanggung bertahun-tahun membuatnya ragu akan hubungan mereka.
“Sayang,” Damar menangkup pipi Stasia dengan lembut, “apa yang membuatmu ragu?”
“Aku…” Stasia terhenti, suaranya tercekat. Sulit sekali mengeluarkan semua yang mengganggunya.
“Apapun yang mengusik pikiranmu—katakan padaku. Kita selesaikan bersama. Aku bukan lagi Damar yang dulu. Aku tidak akan menutup-nutupi perasaanku lagi, jadi kamu juga jangan menyimpan semuanya sendirian.”
“Aku… aku merasa tidak pantas untukmu. Ada banyak perempuan yang lebih cocok—anak partner bisnis, anak pengusaha lain… mereka sepadan denganmu,” kata Stasia jujur, menunduk.
Damar mengerutkan dahi, lalu tersenyum pelan. “Mereka mungkin hebat, tapi tidak satu pun dari mereka bisa membuatku kehilangan akal seperti saat bersamamu.”
“Lalu bagaimana dengan Ayu? Kamu terlihat nyaman dengannya. Tante Rini sudah menyebutnya calon menantu. Keluarganya baik, latar belakang keluarganya pun sempurna. Sementara aku—” Stasia menggigit bibir. Suaranya sendu. “Aku merasa…”
Damar menatapnya. Mendengar kalimat yang dilontarkan Stasia membuat perasaannya senang. “Sayang, kamu cemburu karena aku dekat dengan Ayu?”
“Siapa yang cemburu?” Stasia tergagap, wajahnya memerah karena salah tingkah.
Damar malah semakin senang melihat reaksi itu. “Kamu benar-benar menggemaskan saat begini. Kalau saja kita sudah menikah, sudah pasti aku akan mengungkungmu dan memakanmu sekarang.”
Adam terkekeh pelan melihat tatapan melotot Stasia.
“Tidak lucu, Dam.” Stasia protes setengah kesal, setengah tersipu.
“Kamu sangat lucu, sayang. Aku suka kalau kamu cemburu seperti ini.” Damar mencondongkan tubuh, rautnya melembut. “Di mataku hanya ada kamu yang membuatku ingin menikah dan membangun keluarga kecil. Ayu? Aku menganggapnya seperti adik—seperti Wulan. Kalau Mama memanggil dia calon menantu, itu wajar. Karena dia calon istri Kak Adam.”
“K—kak Adam?” Stasia terbata, syok.
Damar mengangguk. “Kami baru membahas hal ini tadi siang. Kakak Adam ke luar mengantar Ayu pulang saat kamu menyusul Ares ke kamar Wulan. Itulah mengapa saat makan malam mereka tidak ada. Sekalian kencan mungkin.”
Stasia terdiam. Dadanya masih berdegup kencang. Damar tersenyum, sedikit nakal. “Lihat? Dengan begini aku bisa melihat sisi cemburumu. Kamu sungguh menggemaskan”
“Aku tidak cemburu,” Stasia bersikeras, meski bibirnya tak bisa berhenti melembut.
“Baiklah, sayang—kalau begitu, kita resmi ada hubungan saja ya? Maksudku, kamu benar-benar jadi calon istriku? Mau ya, sayang?” Damar menatapnya dalam-dalam.
Stasia tertegun. Jantungnya seperti tercekik bahagia dan takut sekaligus.
“Aku akan memberimu waktu. Tapi kamu harus tahu: aku akan gila-gilaan mengejarmu. Aku tidak akan diam melihat ada yang mencoba mengambil kamu dariku.” kata Damar. "Dan satu lagi, pulang dan pergi ke kantor harus bersamaku."
“Tapi bagaimana kalau orang-orang kantor melihat kita?” Stasia bertanya ragu.
“Aku akan mengikuti aturanmu. Aku tidak mau membuatmu merasa tidak nyaman di kantor,” jawab Damar tegas. “Aku akan bersikap profesional di depan karyawan lain. Tapi aku tidak janji kalau kita hanya berdua.”
Stasia menelan ludah, masih ragu. Damar menggenggam tangannya lagi, suaranya serius. “Jangan pikirkan semua itu sekarang. Biarkan aku yang urus. Tugasmu hanya satu: pastikan kamu selalu menjadi milikku. Bukan pria lain.”
Stasia menatap mata Damar—hangat, penuh janji—dan perlahan mengangguk. Di antara takut dan harap, sebuah keputusan kecil mulai tumbuh: memberikan satu kesempatan pada cinta yang tak pernah benar-benar pergi.