“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17. Tipis-tipis ruang untuk harapan
Arman pulang dengan wajah muram. Helaan napasnya berat sejak motor dimatikan di depan rumah. Pintu ia buka dengan sedikit hentakan, langkahnya pun terdengar kasar di ruang tamu.
Widya yang duduk di kursi ruang makan spontan menoleh. Hatinya langsung berdebar—bukan hanya karena suasana canggung sejak semalam, tapi juga karena aura Arman yang tampak jelas sedang tidak baik-baik saja.
“Udah pulang?” suara Widya pelan, lebih mirip basa-basi daripada sambutan hangat.
Arman hanya mengangguk tanpa menatapnya. Ia menaruh kunci sembarangan di meja, lalu langsung menuju kamar. Hawa tegang itu kembali menyelimuti, makin pekat dari malam sebelumnya.
Widya terdiam, menggenggam erat jemarinya. Ia tahu, ada sesuatu yang Arman sembunyikan. Dan meski Arman tak pernah menceritakan, bayangan wajah Priya, senyum liciknya, serta kata-katanya terus menghantui benaknya.
"Apa benar... hubungan mereka sudah sejauh itu?" Widya menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Malam tadi ia sudah sulit tidur, dan pagi tadi hatinya masih sesak.
Bayangan provokasi Priya berulang-ulang memutar di kepalanya:
"Kamu pikir dia sama kamu bener-bener hadir penuh? Bisa aja tubuhnya di sini, tapi yang dia bayanginnya... aku."
Widya meremas ujung bajunya sendiri, merasa nyeri sekaligus marah pada dirinya sendiri karena begitu mudah terpengaruh.
Dalam diam, ia mulai menata piring bekas makan siang tadi yang masih tersisa di meja. Gerakannya rapi, tapi wajahnya kosong. Seakan-akan sedang menutup rapat semua yang bergemuruh di hatinya.
Namun, justru itulah yang membuat luka itu semakin dalam—ketika ia tak punya tempat untuk meletakkan resahnya.
*
*
Senja itu, suasana rumah masih kaku. Widya sibuk di dapur, memasukkan piring kotor ke wastafel dan membilasnya satu-satu. Arman berdiri agak jauh, bersandar di pintu dapur sambil memperhatikan gerak-gerik istrinya.
Sejak pagi, yang keluar dari mulut Widya hanya kalimat-kalimat seperlunya. Tanpa senyum, tanpa tatapan.
Arman menelan ludah. Dadanya terasa sesak karena tak terbiasa diperlakukan dingin begitu. Akhirnya, ia mendekat.
“Widya…” panggilnya pelan.
Widya berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. “Hm?” jawabnya singkat, lalu melanjutkan mencuci piring.
Arman menarik napas dalam, lalu mendekat. Lebih dekat hingga hanya berjarak satu langkah.
“Kamu kenapa? Dari tadi pagi… dingin banget sama aku.”
Widya tetap tak menoleh. “Nggak apa-apa,” jawabnya datar.
Arman menahan frustasi. “Jangan bilang nggak apa-apa. Aku bisa liat kamu berubah. Ada apa, Wid?”
Widya menggenggam piring yang sedang ia pegang terlalu erat, hampir saja tergelincir dari tangannya. Ia buru-buru menaruhnya di rak, lalu akhirnya menoleh, menatap Arman sebentar dengan mata yang berusaha tenang padahal bergetar.
“Nggak semua hal harus aku ceritain ke kamu, Mas,” ucapnya lirih.
Arman terdiam. Ucapan itu menusuk, membuatnya sadar bahwa jarak di antara mereka makin nyata. Ia mengangkat tangan, seakan ingin menyentuh bahu istrinya, tapi Widya sudah lebih dulu membalikkan badan, mengambil lap, dan mengelap meja.
Keheningan kembali turun.
Arman mendesah berat, meremas rambutnya sendiri, lalu berkata dengan suara rendah, nyaris seperti menggerutu pada dirinya sendiri:
“Aku nggak suka kalau kita kayak gini, Wid…”
Widya hanya berhenti sejenak, tapi tetap tidak menoleh. Ia takut, kalau menatap wajah suaminya sekarang, semua keraguan yang ditanam Priya akan tumpah jadi tangisan.
*
*
Malam itu, lampu kamar sudah diredupkan. Widya berbaring membelakangi Arman, pura-pura sibuk dengan ponselnya padahal layar hanya menampilkan beranda kosong. Arman di sisi lain duduk bersandar di kepala ranjang, memandang istrinya lama sekali, berusaha merangkai kalimat yang tepat.
Hening.
Hanya terdengar suara dengung AC dan jam dinding yang berdetak.
“Widya…” panggil Arman akhirnya, suaranya pelan.
Widya tidak langsung menjawab. Baru setelah beberapa detik, ia bergumam, “Hm?”
Arman menelan ludah, lalu mencondongkan tubuh sedikit. “Aku nggak tau apa aja yang Priya katakan sama kamu. Tapi satu hal yang pasti… apapun itu, semuanya bohong.”
Widya akhirnya menoleh, menatap Arman dengan mata yang penuh keraguan. “Memang kamu tahu pacarmu itu ngomong apa?”
Arman menggeleng, cepat-cepat mengoreksi, “Mantan, Wid. Bukan pacar lagi.” Nadanya tegas, seakan ingin menghapus label itu dari ingatan selamanya. “Aku nggak tau pasti apa aja yang dia ucapin. Tapi aku bisa jamin, semua itu bohong. Dia cuma mau bikin kamu sakit hati.”
Widya terdiam, menatap wajah suaminya. Ada keinginan untuk percaya, tapi bayangan kata-kata Priya siang tadi masih menancap dalam-dalam.
Arman menarik napas panjang, lalu menambahkan, suaranya lebih lembut, “Jangan biarin dia merusak rumah tangga kita. Ya meskipun kita nikah dipaksa, kita udah buat kesepakatan. Tapi kita nggak boleh mempermainkan pernikahan kan?”
Widya menunduk, pura-pura sibuk menarik selimut lebih tinggi. Ia tidak menyahut, hanya membiarkan kata-kata Arman menggantung di udara.
Arman tahu ia belum menang. Tapi malam itu, ia sengaja tidak mengatakan satu hal: bahwa ia sempat menemui Priya sore tadi. Ia memilih diam, karena tidak semua kejujuran bisa membawa manis. Kadang, diam lebih aman daripada menyalakan api yang sudah hampir padam.
Akhirnya, Arman mematikan lampu sepenuhnya dan berbaring miring, membiarkan jarak sempit tetap ada di antara mereka. Tapi di kegelapan itu, ia bisa merasakan, meski Widya masih dingin, istrinya tidak lagi membelakanginya sepenuhnya.
Ada tipis-tipis ruang untuk berharap.
*
*
Pagi Hari
Alarm ponsel berdering, memecah keheningan kamar. Widya bangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang dengan rambut kusut belum tersisir. Ia menatap cermin kecil di meja rias, menghela napas panjang. Kata-kata Arman semalam masih bergema—“Jangan biarin dia merusak rumah tangga kita. Ya meskipun kita nikah dipaksa, kita udah buat kesepakatan. Tapi kita nggak boleh mempermainkan pernikahan kan?”
Widya menggigit bibir bawah, tak mau mengakuinya, tapi sedikit bagian dalam dirinya terasa lebih ringan. Meski begitu, bayangan ucapan Priya tetap menghantui.
Arman membuka mata pelan. Tatapannya langsung jatuh ke punggung istrinya. Ia ingin mengucapkan selamat pagi, tapi takut terdengar dipaksakan. Akhirnya, ia hanya berdeham kecil.
“Pagi,” ucapnya pelan.
Widya menoleh sekilas. Tidak dingin seperti kemarin, tapi juga tidak hangat. “Pagi.”
Arman tersenyum tipis. Ia bangkit dari ranjang, mendekat ke meja rias. “Aku anterin kamu ke kampus lagi, ya. Biar kamu nggak usah repot mikirin angkutan.”
Widya sempat ingin menolak, tapi kalimat itu keluar dengan nada yang terlalu tulus. Ia hanya mengangguk kecil, “Hmm.”
Arman berusaha menyembunyikan rasa lega. Ia berjalan ke dapur, tanpa banyak bicara, menyiapkan kopi dan roti seadanya. Widya mengikutinya beberapa menit kemudian.
Suasana sarapan masih canggung, tapi tidak lagi sebeku kemarin. Ada momen kecil ketika tangan mereka hampir bersentuhan saat mengambil gula, dan Widya buru-buru menarik tangannya, pipinya memanas.
Arman pura-pura tidak melihat, tapi senyum samar tak bisa ia tahan.
Di kepalanya, ia sadar: dinding es itu belum runtuh, tapi ada retakan. Dan ia harus sabar untuk terus mengetuknya.
---
Eh... kan memang😂