Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga
Mia menopang dagunya, matanya berbinar menatap Yansya. "Drama komedi?" tanyanya, suaranya terdengar lembut namun penuh rasa ingin tahu. "Kedengarannya menarik. Apa ceritanya?" Ia menunggu, seolah ingin mendengarkan semua detail, padahal dalam hatinya ia sedang menganalisis setiap ekspresi dan gerak-gerik Yansya. Maria mencari celah untuk membaca pikiran pria itu.
Yansya menyesap kopinya lagi, lalu ia menghela napas panjang, seolah sedang membuang semua kekesalan yang sempat mengendap. "Begini, Nona Mia," Yansya memulai ceritanya. "Aku baru saja menyaksikan drama klasik tentang cinta dan uang. Mantan istriku, yang dulu meninggalkanku karena uang, kini dipepet rentenir karena suaminya terlilit utang judi." Yansya terkekeh pelan. "Ironis, kan?"
Mia terdiam sejenak. Ia hanya mendengarkan. Tatapannya lurus menatap Yansya. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. "Memang ironis," gumamnya, nadanya datar. "Hidup memang penuh kejutan. Terkadang, apa yang kita kejar justru membawa kita ke jurang yang lebih dalam." Ia memutar sendok di dalam cangkir kopinya, seolah sedang memikirkan filosofi hidupnya sendiri.
"Benar sekali," Yansya menimpali, mengangguk setuju. "Dan aku, si mantan suami yang dulu dicampakkan, kini hanya bisa menertawakan semua drama itu sambil berharap ada bonus besar menantiku di masa depan." Ia tersenyum jahil, seolah sedang mengisyaratkan sesuatu. Senyum itu membuat Mia semakin penasaran.
Mia mengangkat satu alisnya. "Bonus besar?" tanyanya, ekspresinya berubah. "Kedengarannya seperti sesuatu yang tidak bisa dilewatkan." Maria menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, membiarkan Yansya mengungkapkan lebih banyak tanpa paksaan.
Yansya hanya mengedikkan bahu. "Rahasia perusahaan, Nona Mia," balas Yansya, nadanya bercanda. "Tapi intinya, aku berharap bisa mendapatkan 'ganti rugi' dari semua kekacauan hari ini." Ia kembali menyesap kopi, mengakhiri pembicaraan tentang bonus. Itu membuat Maria sedikit kecewa, tetapi ia tidak menunjukkannya.
Keduanya kembali terdiam, menikmati keheningan yang nyaman. Mia, atau Maria, diam-diam mengamati Yansya. Ia merasa ada sesuatu yang menarik dari pria ini. Sebuah aura kekuatan tersembunyi, ditambah dengan sisi mata duitan yang membuatnya unik. Ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Yan ini.
Setelah beberapa saat, Yansya melirik jam tangannya. "Wah, sudah malam," ucapnya. "Aku harus kembali. Ada 'urusan penting' yang menungguku di rumah." Yansya tersenyum, lalu beranjak dari kursinya, meninggalkan Mia yang masih merenung.
"Terima kasih untuk kopinya, Nona Mia," Yansya berkata, lalu ia mengedipkan mata sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kedai kopi. Mia hanya mengangguk, lalu ia membalas senyum Yansya dengan senyum tipis, tatapannya mengikuti punggung Yansya yang menghilang di balik pintu.
Maria merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat. Pria itu, Yan, memiliki sesuatu yang membuatnya tertarik sekaligus waspada. Ia harus mencari tahu siapa Yansya Ardian sebenarnya. Tanpa membuang waktu, Maria mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik pesan.
"Lacak semua informasi tentang 'Yan'," perintahnya, nadanya dingin dan tegas. "Aku ingin tahu segala hal tentang dia. Dari latar belakang, pekerjaan, hingga kebiasaannya." Maria tahu ini akan menjadi permainan yang menarik. Ia tak sabar untuk menghadapi Yansya, atau Yan, di lain kesempatan.
Sementara itu, Yansya menyetir mobilnya kembali ke apartemen Lisa. Pikirannya masih dipenuhi bayangan uang dan bonus. Senyum lebar tak lepas dari bibirnya. Ia membayangkan dirinya berenang di lautan uang, membeli apa saja yang ia inginkan.
Begitu sampai di apartemen, Yansya membuka pintu dan mendapati Lisa sedang duduk di sofa, fokus pada tablet di tangannya. Lampu ruangan yang temaram menciptakan suasana tenang. Itu sangat berbeda dari hiruk pikuk di luar.
Lisa mengangkat kepala, menatap Yansya. "Sudah selesai jalan-jalannya, Tuan Ketua Tim?" tanya Lisa, nadanya menggoda. "Sudah ketemu angin, atau malah ketemu ide-ide bisnis baru?" Wanita itu tahu betul kebiasaan Yansya.
Yansya terkekeh. "Angin lagi sibuk, Sayang," balas Yansya, ia melemparkan kunci mobil ke meja. "Tapi aku punya cerita seru dari jalan-jalan malam ini. Dan ya, sedikit ide bisnis juga, sih." Ia duduk di samping Lisa, meletakkan lengannya di bahu kekasihnya, lalu memeluknya erat.
Lisa menyandarkan kepalanya ke bahu Yansya, menikmati sentuhan hangat itu. "Cerita apa? Jangan-jangan tentang mantan istrimu yang dipepet rentenir lagi?" goda Lisa, suaranya lembut. Ia mendongak, menatap mata Yansya yang kini memancarkan kehangatan.
"Ah, itu sudah basi," Yansya mendengus geli. "Aku bertemu seorang wanita menarik di kedai kopi. Namanya Mia. Dia... punya tatapan yang tajam. Mirip kamu." Yansya tersenyum, menarik Lisa lebih dekat, menikmati aroma sampo dari rambut kekasihnya.
Lisa tersenyum tipis, matanya menatap Yansya lekat. "Oh, benarkah? Jadi kamu terkesan?" Ada sedikit nada cemburu yang terselip, namun Yansya tahu Lisa hanya bercanda. Mereka sudah terlalu saling mengenal untuk hal-hal sepele seperti itu.
"Tentu saja tidak," Yansya membalas cepat, lalu ia mencium kening Lisa dengan lembut. "Tidak ada yang bisa menandingi Nona Lisa, Kepala Divisi Investigasi Rahasia paling cantik dan tangguh di seluruh kota ini."
Lisa merona tipis. Pipinya bersemu merah. Ia membalas ciuman Yansya, kali ini di pipi. "Gombal," bisiknya, namun senyumnya tidak bisa disembunyikan. Kehangatan mulai mengisi ruangan, seiring dengan kedekatan mereka.
Yansya merasakan detak jantungnya berpacu. Kelelahan setelah seharian penuh ketegangan seolah sirna begitu saja, digantikan oleh gelombang energi yang berbeda. Tangannya perlahan menangkup wajah Lisa, membelai lembut rahangnya.
"Aku lelah," ucap Yansya, suaranya sedikit serak. Bukan lelah fisik, melainkan lelah mental dari semua drama. Lisa mengerti. Ia melihat sorot mata Yansya yang mencari ketenangan.
"Aku juga," Lisa membalas, lalu ia meraih tangan Yansya, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan itu ke pipinya. Kehangatan kulit mereka saling bersentuhan.
Tatapan mereka terkunci. Kata-kata tidak lagi diperlukan. Hanya ada pemahaman yang mendalam, hasrat yang membara, dan cinta yang tak terucapkan di antara keduanya. Ruangan terasa mengecil, hanya menyisakan mereka berdua.
Yansya mendekatkan wajahnya. Bibir mereka bertemu, diawali dengan ciuman lembut yang perlahan menjadi lebih dalam, lebih menuntut. Jemari Yansya menyusup ke rambut Lisa, menariknya semakin dekat.
Lisa membalas ciuman itu dengan penuh gairah. Tangannya melingkar di leher Yansya, menariknya seolah ingin menyatu. Dunia di sekitar mereka seolah berhenti. Hanya ada sentuhan, napas yang memburu, dan debar jantung yang menyatu.
Yansya mengangkat tubuh Lisa, lalu membaringkannya perlahan di sofa. Tatapannya penuh damba. Ia mencium setiap inci wajah Lisa, lehernya, hingga ke bahunya yang indah, masih terlihat sedikit robek dari insiden ledakan tadi.
Lisa memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan. Jantungnya berdebar kencang, merasakan aliran listrik yang mengalir di setiap sarafnya. Ia merengkuh Yansya, menariknya lebih dekat.
"Yansya," bisik Lisa, nadanya lirih, membiarkan Yansya membimbingnya dalam setiap sentuhan. Mereka saling berbagi kehangatan, keintiman, dan cinta yang tulus. Ini adalah momen mereka, jauh dari misi, buronan, atau drama dunia luar.
Malam itu, apartemen Lisa menjadi saksi bisu dari penyatuan dua jiwa yang saling melengkapi. Lampu temaram seolah ikut meredup, memberikan privasi pada momen suci mereka.
Setelah itu, mereka terbaring saling merangkul, kelelahan namun puas. Napas mereka melambat, berirama. Lisa menyandarkan kepalanya di dada Yansya, mendengarkan detak jantung pria itu yang menenangkan.
Yansya membelai lembut rambut Lisa. "Aku mencintaimu," bisiknya pelan, kata-kata itu keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Bukan gombalan, melainkan pengakuan tulus.
Lisa tersenyum, lalu ia mendongak menatap Yansya. "Aku juga mencintaimu," balas Lisa, nadanya tulus. Kehangatan yang baru saja mereka bagi adalah bukti nyata dari ikatan kuat mereka.
Mereka berdua tahu, meskipun dunia di luar penuh kekacauan dan bahaya, mereka akan selalu punya satu sama lain untuk pulang. Tempat yang aman, penuh cinta, dan pengertian.
Pagi menjelang, matahari mulai mengintip dari balik tirai. Yansya terbangun, mendapati Lisa masih terlelap dalam pelukannya. Ia tersenyum, mencium kening kekasihnya. Misi perburuan Fabian mungkin akan intens, tapi dengan Lisa di sisinya, ia merasa siap menghadapi apa pun.
good 👍👍👍👍❤❤❤❤
menegangkan ❤❤❤❤❤
good thor👍👍👍👍👍
good job👍👍👍👍