Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 13
Sementara itu, di SMA SKY...
Jenny terus menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah cukup lama ia berdiri di depan gerbang sekolah, menanti sosok sahabatnya yang belum juga muncul sejak pagi.
“Ck, itu anak ke mana sih?” gumam Jenny sambil mendecak kesal.
Setelah beberapa menit berlalu tanpa kabar dan tanpa tanda-tanda kemunculan Zia, akhirnya Jenny menyerah dan melangkah menuju kelas. Namun, di tengah perjalanan, ia mendengar percakapan sekelompok siswa yang menyebut nama Zia.
“Eh, katanya si Zia pindah ke SMA Binabangsa, loh,” ucap salah satu siswa.
“Sekolah elit itu?” sahut temannya, sedikit terkejut.
“Iya, itu,” balas siswa pertama.
“Tapi gue denger-denger, si Zia masuk ke sini aja karena beasiswa. Kok bisa-bisanya dia pindah ke sekolah paling elit di Jakarta?” ucap yang lain dengan nada penuh curiga.
“Jangan-jangan... dia kerja jadi jalang lagi,” bisik salah satu dari mereka, disambut cekikikan pelan.
BRAK!
Jenny mendekat dengan langkah cepat dan wajah merah padam menahan emosi. “Heh! Jaga mulut lo ya! Jangan pernah jelekin sahabat gue sembarangan!”
Siswa-siswa itu langsung terdiam, saling pandang, lalu pergi begitu saja tanpa menjawab. Jenny berdiri mematung, giginya terkatup rapat menahan marah.
“Zia pindah?” gumam Jenny pelan, masih tak percaya. “Tapi... kenapa dia nggak bilang apa-apa ke gue?”
Matanya mulai meredup. Hatinya penuh tanda tanya dan sedikit kecewa.
____
Di lantai tertinggi gedung regandra crop suasana kantor tampak tenang seperti biasa. Aksa duduk di ruangannya yang luas dan modern. Jas hitamnya tergantung rapi di belakang kursi, sementara kemeja putihnya tampak sedikit kusut karena sejak tadi pagi ia sudah menghadiri dua meeting berturut-turut.
Di hadapannya, layar laptop menampilkan grafik saham dan laporan keuangan. Namun, tatapan Aksa kosong. Matanya menatap ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Entah kenapa, sejak tadi pagi pikirannya terasa... tidak fokus.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, satu tangan meraih gelas kopi yang mulai mendingin, dan tangan satunya memijit pelipis.
“Apa gadis itu betah dengan sekolah barunya?” gumam Azka sambil menatap kosong layar laptopnya.
Tapi dengan cepat ia menggeleng pelan, seolah menepis pikirannya sendiri.
"Ckk… untuk apa gue mikirin dia?" desisnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Namun, bayangan wajah Zia entah kenapa terus menghantui benaknya. Ada sesuatu dari tatapan gadis itu yang terasa… familiar. Terlalu familiar.
“Wajahnya… kayaknya gue pernah lihat di suatu tempat,” ucap Azka, masih menautkan alis, mencoba mengingat.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
“Masuk,” ucap Azka datar, nadanya dingin seperti biasa.
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok pria muda berpakaian rapi—Indra, asisten pribadinya.
“Pak Azka, hari ini Bapak ada meeting dengan klien dari luar kota. Jadwalnya dimajukan jadi pukul dua siang,” lapornya dengan sopan.
Azka hanya mengangguk tanpa ekspresi. Ia menutup laptopnya pelan, lalu berdiri sembari merapikan jas hitamnya.
“Siapkan mobil. Kita berangkat jam satu lewat sepuluh,” ujarnya singkat.
“Baik, Pak,” jawab Indra sebelum keluar dari ruangan.
Saat pintu kembali tertutup, Azka menoleh ke jendela tinggi di belakang meja kerjanya. Matanya menatap kosong ke arah luar, tapi pikirannya tak benar-benar di sana.
Zia.
Gadis itu kembali muncul di benaknya.
Dan sejujurnya, Azka membencinya—bukan karena ia benar-benar benci. Tapi karena gadis itu terlalu mudah mengguncang ketenangannya yang sudah ia bangun bertahun-tahun.
---
TAMAN BELAKANG SEKOLAH, WAKTU ISTIRAHAT
langkah Zia pelan. Tangannya menggenggam kotak bekal makan siang yang tadi baru saja ia beli dari kantin sekolah, Hari ini, kepalanya berat karena tekanan dari tatapan siswa-siswi SMA Binabangsa yang penuh rasa ingin tahu dan... sinis.
"Orang miskin nyasar di sarang sultan," katanya dalam hati, berusaha menepis rasa tidak nyaman.
Zia memilih pergi ke taman belakang sekolah. Tempat itu sepi dan jarang dilewati siswa lain—tepat seperti yang ia butuhkan untuk menenangkan diri. Tapi begitu ia berbelok di sudut taman…
Asap.
Zia mengernyit.
Ada aroma menyengat yang tidak asing baginya. Bau tembakau. Bau rokok.
Dan saat matanya menoleh ke sumber asap itu…
Deg.
Di sana. Duduk santai di bangku beton dengan satu tangan menyelipkan rokok ke bibir, adalah sosok yang sangat ia kenal.
Aksa.
Zia mematung beberapa detik. Aksa? Di sekolah ini? Ngerokok pula?
Ia buru-buru menyembunyikan diri di balik pohon besar, hanya mengintip dari celah batang. Napasnya tertahan. Bukan karena takut... tapi karena kaget. Dan bingung.
“Dia ngerokok di lingkungan sekolah? Apa dia gila?” desis Zia lirih, nyaris tak bersuara.
Ia tahu betul siapa Aksa. Cowok itu jail, galak , dan... menyebalkan. Tapi tetap saja—sebagai ‘pengurus’, dia tetap punya tanggung jawab. Termasuk memastikan kedua cucu Oma Ririn itu nggak bikin masalah.
Zia menggigit bibirnya, antara ingin pergi dan pura-pura nggak lihat... atau menegur cowok itu.
Tapi pikirannya kembali ke pesan Oma Ririn tempo hari.
“Kalau Aksa atau Azka bikin ulah, kamu laporin ke Oma, ya, Zia. Kamu kan yang paling bisa ngawasin mereka.”
Zia menarik napas, melangkah maju dengan ragu, lalu akhirnya membuka suara—pelan tapi jelas.
"Kamu kok ngerokok di sekolah, sih?" ucap Zia, menatap Aksa tak percaya.
Aksa menoleh pelan, mengepulkan asap rokok dari mulutnya sebelum matanya bertemu dengan Zia.
Wajah cowok itu datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Sorot mata tajam dan senyum tipisnya justru makin bikin jengkel.
"Lo ngapain ngintip?"
"Aku nggak ngintip," Zia membalas, mencoba tetap tenang. "Aku cuma... lihat kamu. Dan ini tanggung jawab aku juga. Kalau sampai ketahuan guru, kamu bisa—"
"Lo mau ngadu?" potong Aksa cepat. Tatapannya menyipit, suaranya dingin tapi menyimpan ancaman samar.
Zia menarik napas pendek, tangannya menggenggam kotak bekalnya lebih erat.
"Aku nggak bakal ngadu ke guru," ucapnya pelan. "Mungkin... ngadunya ke Oma."
Aksa langsung berdiri. Tubuh tingginya membuat Zia harus sedikit mendongak.
Rokok yang tadi diisapnya kini diinjak begitu saja di tanah, matanya tak lepas dari wajah Zia.
Langkahnya mendekat, perlahan, tapi mengintimidasi.
"Jangan karena lo yang ngurus semua keperluan gue sama bang azka, lo pikir Lo bisa larang-larang gue."
"Lo tau, Lo itu cuma benalu, tau nggak?" ucap Aksa tajam, hampir berbisik tapi mengiris.
Zia terdiam. Bibirnya mengatup rapat.
Matanya menunduk, bukan karena takut—tapi karena menahan diri sekuat tenaga agar nggak terpancing emosi.
Namun jauh di dalam hati, ia tahu…
Sekuat apa pun Aksa ingin menyangkal, sejak ia tinggal di mansion Oma Ririn—Aksa memang sudah jadi tanggung jawabnya.
---
...Babay~...
...aku sayang kalian i love youuuuu sekebon yang udah baca...