"Perjodohan memang terlihat begitu kuno, tapi bagiku itu adalah jalan yang akan mengantarkan sebuah hubungan kepada ikatan pernikahan," ~Alya Syafira.
Perbedaaan usia tidak membuat Alya menolak untuk menerima perjodohan antara dirinya dengan salah satu anak kembar dari sepupu umminya.
Raihan adalah laki-laki tampan dan mapan, sehingga tidak memupuk kemungkinan untuk Alya menerima perjodohannya itu. Terlebih lagi, ia telah mencintai laki-laki itu semenjak tahu akan di jodohkan dengan Raihan.
Namun, siapa sangka Rayan adik dari Raihan, diam-diam juga menaruh rasa kepada Alya yang akan menjadi kakak iparnya dalam waktu dekat ini.
Bagaimana jadinya, jika Raihan kembali dari perguruan tingginya di Spanyol, dan datang untuk memenuhi janjinya menikahi Alya? Dan apa yang terjadi kepada Rayan nantinya, jika melihat wanita yang di cintainya itu menikah dengan abangnya sendiri? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Beda Tangan Beda Rasa
..."Begitu cinta terlalu besar dalam hati kita, maka perlakuan seperti apapun akan tetap di terima, walaupun rasanya sangat amat menyakiti hati yang telah di butakan oleh cinta."...
...~~~...
Tanpa di sadari oleh Rayan, Alya tersenyum tipis, dengan menerima perlakuan lembut dari Rayan yang tengah mengobati memar di kakinya dengan sangat hati-hati.
"Aaaww!" pekik Alya begitu obat merah itu menyentuh luka memarnya yang begitu amat sakit baginya.
"Eh maaf, Alya. Aku terlalu menekan ya? Aku akan lebih hati-hati lagi," ucap Rayan begitu Alya meringis kesakitan.
Alya hanya mengangguk pelan saja sembari tersenyum tipis, melihat bertapa Rayan mengobati luka di kakinya dengan hati-hati, memperlakukannya seperti kaca yang mudah retak.
"Rayan, dia begitu baik sekali kepadaku. Berbeda dengan Mas Raihan yang selalu menganggap sepele luka kecil dan terlalu banyak menuntut. Rayan itu lebih kalem dan lebih perhatian dari yang aku kira, malah melebihi perhatian suamiku sendiri. Beruntung sekali, wanita akan akan menjadi istrinya nanti," ucap Alya di dalam hatinya tanpa sadar terus menatap wajah Rayan yang tengah mengobati kakinya.
Detik kemudian, Rayan menarik tangannya dari kaki Alya, lalu tersenyum begitu obat merah itu telah di berikan pada luka memar Alya.
"Sudah, kakimu telah selesai di obati," ucap Rayan sembari menatap kepada Alya.
Seketika keduanya beradu pandang untuk sesaat. Namun, dengan cepat Alya memalingkan pandangannya ke arah lain, karena sudah kembali sadar.
"Oh iya, terimakasih banyak sudah mau mengobati lukaku," ucap Alya sembari tersenyum manis kepada Rayan.
"Sama-sama, sekarang kamu minum obat ini dulu ya? Ini berguna untuk meredakan rasa sakit di kakimu itu," ujar Rayan sembari memberikan gelas dan obat tablet kepada Alya.
"Baiklah, aku minum dulu obatnya," balas Alya dengan menerima obat tablet itu, lalu meminumnya tepat di hadapan Rayan.
Sampai Alya selesai minum obat, keduanya sempat terdiam untuk sesaat. Dan kedua mata Alya tidak sengaja menatap kepada kakinya yang telah di obati oleh Rayan, sehingga mengingatkannya kepada obat ramuan yang di berikan oleh Bi Narsih tadi.
"Loh, kok itu kamu obati kaki aku pake obat merah sih?" seru Alya sembari mengerutkan keningnya.
"Iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?" sahut Rayan begitu mendapatkan pertanyaan dari Alya.
"Yah, gimana sih Rayan? Ini kaki aku kan memar bukan luka berdarah yang bisa di obati pake obat merah saja," ujar Alya dengan memprotesi hasil pengobatan Rayan.
"Loh bukanya kaki kamu itu terluka tadi? Kan kamu jatuh barusan. Jelas tadi ada lukanya sedikit. Jadi, aku obati pake obat merah," ucap Rayan dengan berkata jujur.
Sontak saja Alya terperangah oleh ucapan Rayan. Dan ia kembali teringat bahwa insiden jatuhnya itu berlangsung dua kali. Dan yang menimbulkan luka memar itu sewaktu masih di dapur.
"Ah iya, aku lupa." Alya sengaja berbohong agar Rayan tidak sampai tahu bahwa ia habis terpeleset di dapur.
"Bentar, dari wajar kamu kelihatan gelisah. Ada yang kamu sembunyikan ya?" tanya Rayan yang bisa langsung menebak kondisi Alya.
"Enggak kok, aku baik-baik saja," balas Alya yang engan memberitahu semuanya kepada Rayan.
"Jujur sama aku, Alya! Kamu kenapa? Jangan berbohong!" tegas Rayan karena Alya sudah terlihat semakin gelisah.
Pada akhirnya Alya pun mengalah dan menghembuskan napasnya kasar. "Huh, iya Rayan. Aku hanya terpeleset di dapur," ungkapnya dengan tidak berbohong.
"Apa? Terpeleset?" Rayan begitu terkejut mendengar pengakuan dari Alya yang cukup mengejutkan.
"Iya Rayan makanya aku bilang memar tadi bukan luka, lukanya mungkin sedikit yang jatuh barusan," ujar Alya dengan tidak berbohong.
Rayan pun menenangkan dirinya dan melihat kaki Alya yang masih terlihat sisa memar yang memerah, karena tadi ia tidak begitu memperhatikan itu, dan menyangka bahwa itu luka biasa. Namun, dugaannya itu salah, melainkan itu adalah luka memar bekas terpeleset.
"Aduh iya, ini merah banget loh, Alya. Biar aku obati ya?" kata Rayan yang dengan sigap ingin mengobati luka memar di kaki wanita itu.
"Biar Abang saja, Rayan!" ucap Raihan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan keduanya.
Deg.
Kedua mata Alya membulat sempurna begitu melihat keberadaan suaminya yang sudah berdiri tepat tidak jauh dari keduanya. Begitupun dengan Rayan yang terkejut melihat kehadiran abangnya itu.
"Mas," ucap Alya dengan lidah yang terasa kelu untuk sekedar berucap.
"Bang Raihan kapan datang ke sini?" tanya Rayan dengan tersenyum tipis, berniat mencairkan suasana yang mulai tegang itu.
"Belum lama. Kamu balik saja ke kamar! Biar Abang yang lanjutkan obati Alya," sahut Raihan dengan sorot mata tajam mengarah kepada Alya dan Rayan.
Rayan yang melihat Raihan tidak baik-baik saja. Ia pun memutuskan tidak ikut campur akan rumah tangga abangnya itu, walaupun ia masih ingin bersama Alya, karena wanita itu sampai kapanpun sulit untuk di lupakan olehnya.
"Oh ya udah, karena sekarang sudah ada Bang Raihan. Aku balik ke kamar ya, Al? Semoga cepat sembuh," ucap Rayan dengan tersenyum manis kepada Alya.
Tidak lama dari itu, Rayan pun langsung beranjak dari sofa, dan melewati Raihan yang masih berdiri di sana.
"Tolong obati istrimu dengan baik, Bang! Obati lukanya sampai sembuh, karena jika tidak akan terasa semakin menyakitkan," ucap Rayan begitu berhenti di dekat Raihan dan berbisik pelan di depan telinga abangnya itu.
Hal itu membuat Raihan menatap tajam kepada Rayan, tapi tidak berlangsung lalu. Sampai dia pun memutuskan untuk segara mendekati Alya, begitu Rayan telah benar-benar pergi dari tempat itu.
"Ma--s, udah enggak papa. Ini Alya obatin sendiri lukanya," ucap Alya begitu terbata, karena takut mendapatkan kemarahan sang suami yang sudah terlihat jelas dari kedua matanya.
Raihan dengan kasar mengambil piring kecil yang ada di tangan Alya, dan menatap istrinya itu dengan tatapan yang sulit untuk di mengerti.
"Ceroboh sekali kamu, sayang!" ucap Raihan begitu saja, sembari memasukan dua jari tengannya ke dalam piring berisi ramuan tradisional itu.
Deg.
Alya terdiam, hatinya sakit begitu mendengar ucapan singkat dari sang suami yang tanpa di sadari olehnya, Raihan telah melukai hatinya dengan kata-kata seperti itu.
"Maaf, Mas. Alya tadi terpeleset di dapur, karena terasnya masih licin," ucap Alya lirih dengan menahan sakit begitu Raihan menekan luka memarnya cukup kasar.
"Ya itu, kamu ceroboh! Enggak hati-hati kalau jalan! Jadi, memar kayak gini, kan?" balas Raihan menohok, sembari menekan olesan ramuan di tangannya itu cukup kuat kepada memar yang ada di kaki sang istri.
"Aaaww! Mas pelan-pelan, sakit banget itu," pinta Alya karena rasanya amat sakit begitu Raihan yang mengobati luka memar di kakinya itu.
"Dasar manja! Ini juga pelan kok," cetus Raihan malah semakin menekan memar di kaki sang istri, dengan dalih mengoleskan ramuan itu ke kaki Alya yang sudah memerah.
Deg.
"Aaaww! Mas ...," keluh Alya meringis kesakitan, dengan menatap tak menyangka akan ucapan sang suami yang begitu menohok.
.
.
.