NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:12.3k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28. Hayaning Redam, Benjamin Kelabakan

Untuk pertama kalinya, Hayaning terbangun tanpa menemukan Ben di sisinya setelah malam yang mereka lewati bersama.

Ia mengerjapkan mata, membiarkan kesadarannya kembali, lalu bangkit dari tempat tidur. Tangannya meraih slip dress tipis yang tergeletak di dekatnya dan segera mengenakannya. Udara pagi yang dingin membuatnya merapatkan jemari ke lengannya, mencari sedikit kehangatan.

Ia melangkah menuju kamar mandi, berniat menyegarkan diri. Saat menatap bayangannya di cermin, ia menarik napas panjang, membiarkan pikirannya menerawang sejenak. Ada banyak hal yang masih berputar dalam benaknya—terutama tentang bagaimana segala sesuatu telah berubah di antara mereka.

Hayaning membasuh wajahnya dengan air dingin, lalu menggosok giginya sebelum akhirnya beranjak keluar dari kamar mandi. Ia menuju meja rias, mengambil lip gloss dan mengoleskannya tipis di bibir, mencoba menyamarkan rona kantuk yang masih tersisa.

Saat hendak melangkah keluar dari kamar, suara samar dari ruang utama menarik perhatiannya. Langkahnya melambat, mencoba mengenali siapa yang sedang berbicara di sana.

Suara Ben terdengar rendah, berbicara dengan nada penuh tekanan.

Dengan hati-hati, Hayaning mendekat, berdiri di balik dinding sebelum akhirnya mengintip ke arah ruang tamu.

Ben sedang berbicara dengan seorang perempuan.

Begitu melihat wajahnya, tubuh Hayaning menegang.

Perempuan itu bukan orang asing—ia adalah bodyguard pribadi dari seorang pelukis terkenal yang Hayaning kagumi. Seseorang yang pernah ia temui dalam sebuah pameran beberapa bulan lalu.

"Pria itu tidak bertanggung jawab, dan aku... aku sangat menyesal, sayang," ucap perempuan itu dengan bahasa Indonesia yang terdengar sedikit kaku.

Ben menatapnya tajam, rahangnya mengeras. "Jangan panggil saya seperti itu. Saya tidak sudi."

"I love you. Aku terpaksa, Ben... Kalau aku tidak menuruti kemauannya, keluargaku akan dihancurkan—"

"Bullshit!" pekik Ben dengan nada penuh kemarahan.

Perempuan itu tertegun, seakan tak menyangka Ben akan bereaksi sekeras itu. Jemarinya meremas ujung bajunya dengan gelisah. "Aku tidak bohong! Aku tidak punya pilihan! Dia mengancam keluargaku! Aku harus—"

"Dan kamu memilih mengkhianati saya?" potong Ben tajam.

Perempuan itu menunduk, suaranya melemah. "Aku kehilangan bayiku, Ben..." bisiknya lirih. "Dan aku sangat menyesal..."

Bayi?

Hayaning mematung di tempatnya. Dadanya terasa sesak. Ia tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu antara Ben dan perempuan itu, tetapi dari cara mereka berbicara… jelas ada luka yang dalam di antara mereka.

Ben mengembuskan napas panjang, ekspresinya tetap dingin. "Penyesalan tidak mengubah apa pun. Saya sudah selesai dengan kamu. Pergilah, dan jangan pernah muncul di hadapan saya lagi."

Perempuan itu mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. "Ben, kumohon..."

"Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Pergi dari sini," tegas Ben.

Namun, perempuan itu tidak menyerah. Ia menatap Ben dengan penuh harap. "Ben... Aku mohon, berikan aku kesempatan. Bukankah dulu kamu sangat mencintaiku?"

Ia tersenyum tipis di antara air matanya. "Aku tahu itu karena sampai sekarang kamu tidak pernah bisa membuka hati pada siapa pun. Ben... Kamu masih mencintaiku, bukan?"

Dengan percaya diri, ia melangkah mendekat dan berusaha mencari kembali kehangatan yang pernah mereka bagi.

Dari balik dinding, Hayaning buru-buru melangkah mundur. Jantungnya berdegup kencang. Entah kenapa, ia merasa dirinya seharusnya tidak berada di sini—tidak mendengar percakapan ini, tidak menyaksikan bagaimana Ben berhadapan dengan bayang-bayang masa lalunya.

"Tutup mulutmu, Louisa!" suara Ben akhirnya meledak.

Louisa tertegun, matanya masih berlinang air mata. Ia ingin membantah, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar.

Ben mengeratkan rahangnya, ekspresinya dingin dan tajam. "Jangan pernah berpikir kalau kamu masih memiliki tempat di hidup saya. Kamu sudah saya tinggalkan."

Louisa menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. "Karena aku mencintaimu..."

Ben mendengus, lalu menatap Louisa dengan tatapan menusuk. "Kamu sudah membuat pilihan, dan sekarang kamu menanggung akibatnya."

Louisa kembali menghapus air matanya. "Aku menyesal..."

"Penyesalan tidak akan mengubah apa pun," Ben menyela. "Pergilah sebelum saya benar-benar kehilangan kesabaran."

Louisa menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang. "Baiklah," katanya lemah.

Dengan langkah berat, ia berbalik menuju pintu. Namun, sebelum keluar, ia kembali menoleh, menatap Ben untuk terakhir kalinya. "Tapi kamu tahu, Ben? Sebenci apa pun kamu padaku sekarang, aku yakin kamu tidak akan pernah bisa benar-benar melupakan aku."

Sialan, percaya diri sekali perempuan itu.

Ben tidak merespons. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya hanya menatap tajam tanpa ekspresi. Dan ketika Louisa tak ada lagi dalam pandangannya, Ben menggeram keras.

"Shit!"

•••

"Kenapa kamu banyak diam Hayaning?" Tanyanya ketika suasana sarapan diantara mereka begitu sangat senyap.

"Tidak apa-apa," jawab Hayaning tanpa ekspresi, bahkan ia tak menatap wajah sang lawan bicara.

Ben yang sudah terperangkap dalam kekesalan dan frustrasi semakin terbakar amarahnya dengan sikap Hayaning yang tiba-tiba begitu dingin. Ia sudah di ambang batas kesabarannya, dan tingkah Hayaning hanya menambah api dalam dadanya.

Matanya menyempit, sorot tajamnya memancarkan kemarahan yang berusaha ia kendalikan agar tak merusak tatanan hubungan diantara mereka.

Ia menatap Hayaning dengan intens, seolah ingin memaksa perempuan itu untuk membuka mulutnya dan menjelaskan apa yang membuatnya terdiam begitu saja.

"Bicara pada saya, apa yang membuatmu jadi begini? Apa keluargamu mengancam hmm?" Ben bertanya dengan nada suara yang tenang. Hendak membantunya apabila benar seperti itu dugaannya.

Hayaning mengangkat wajahnya, tatapannya datar. "Aku sudah selesai di sini. Aku ingin pulang secepatnya." Jawabnya begitu saja.

Ben mematung sejenak, matanya mulai kembali berapi dengan kilat kesal. “Kita masih punya waktu,” jawabnya tegas, sementara rahangnya mengetat dengan urat-urat disekitar lehernya yang menonjol tegang.

“Aku harus menyiapkan diri untuk pertunanganku.”

Hayaning sudah memutuskan. Ia tak akan lagi hanyut dalam arus perasaan yang tak tentu arah. Sudah cukup. Ia merasa kebahagiaan ini hanya fatamorgana, sesuatu yang seharusnya tak pernah ia genggam terlalu erat. Bukan karena Ben, bukan karena pria itu alasannya—melainkan karena ia memang tak punya banyak waktu lagi. Ada hal yang lebih penting yang harus ia hadapi, dan Ben... bukan bagian dari permasalahannya.

Ben tertawa sinis. “Jadi begitu? Seberapa besar kamu ingin bertunangan dengan pria seperti Adipta huh?" Tanyanya dengan jengkel.

“Tidak usah banyak bertanya, maka cepatlah antarkan aku pulang hari ini juga,” jawab Hayaning dengan lugas, suaranya semakin dingin. Namun tak menjawab pertanyaan Ben.

Rasa marah Ben semakin membengkak, seolah-olah seluruh tubuhnya dipenuhi gelombang yang tak terkendali. Ia bangkit dengan kasar, hendak pergi, namun langkahnya terhenti di tengah jalan.

BRAK!

Tangan kanannya menghantam keras permukaan lemari, membuat barang-barang yang ada di dalamnya berjatuhan berantakan. Suara dentingan keras itu menggema, menciptakan kekacauan di ruangan yang sebelumnya sunyi.

Ben berdiri di sana, napasnya terengah, matanya tajam menatap Hayaning dengan napas yang memburu.

“Kenapa harus begitu, Hayaning?” desisnya, suaranya serak, penuh dengan kekesalan yang memuncak. "You stupid!"

Haya memutar bola matanya dengan malas. "Kenapa kamu harus semarah ini, Benji?" tanya Hayaning dengan kekehan geli.

Nafas kasarnya menderu di udara. "Karena kasihan padamu!" Jawab Ben dengan lekas, ia tak bisa lagi menyembunyikan marah dan frustasinya lagi kepada perempuan itu.

Hayaning terdiam sesaat, mencerna jawabannya. Lalu, ia bangkit dari duduknya dan melangkah tenang mendekati pria itu yang masih berdiri ditempat yang sama.

"Kasihan? Kamu mengasihaniku? Oh..." Hayaning tertawa, tawa itu lebih seperti ejekan, mengasihani dirinya sendiri. "Aku tidak suka dikasihani, Ben. Aku bukan perempuan yang selemah itu."

"F*ck!" Ben mengumpat kesal.

Ia sudah terlalu jengah dengan kata-kata Hayaning, yang akhirnya tak bisa menahan dirinya lagi. Dengan gerakan cepat, ia menarik pinggang Hayaning, menarik tubuhnya dengan ringan, lalu membawanya menuju tembok, menyandarkan punggung Haya ke permukaan dingin.

"Kamu tetap akan disini untuk beberapa waktu lagi, jadi kamu tidak boleh membantah saya," ujar Ben, suaranya penuh dominasi, tak memberi ruang untuk sang perempuan menolak.

Hayaning menatap Ben dengan sorot tajam. Lalu dengan penuh kekesalan, ia menggeram dan mulutnya mulai tergerak.

"Fuck you, Ben!"

Ben terdiam. Kata-kata itu membungkamnya sejenak. Untuk pertama kalinya, ia mendengar Hayaning mengumpat, dan itu cukup mengejutkannya.

"Hayaning… What did you say?" Suaranya terdengar tegang, nyaris tak percaya.

"Fuck you!" Hayaning mengulanginya, kali ini ia menekan tiap kata itu dengan jelas, memastikan Ben mendengarnya tanpa celah.

Ben menatapnya tajam, rahangnya mengatup keras. "Are you serious, huh? Dari mana kamu belajar bicara kasar seperti itu?"

Oh, sialan. Benjamin ini bodoh atau bagaimana? Apa dia lupa siapa yang paling sering berkata kasar di sini?

"You're stupid! Tentu saja dari kamu, Tuan Benjamin," balas Hayaning, suaranya penuh kejengkelan. "Oh, persetan dengan semua ini. Sekarang juga aku mau pulang, dan ini adalah perintah dari atasanmu, Nona Hayaning. Kamu mengerti kan, Ben?"

Ben ingin menghancurkan sesuatu. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia merasa seperti bara yang siap meledak, tapi anehnya, ia tak bisa melakukannya di depan perempuan ini.

"Fine!" desisnya. "Kita pulang sekarang."

1
Nurul Halimah
kok blum up2 ya bolak blik buka blom up2 juga penasarn kisah slanjutnya
Nurul Halimah
lagi nungguin up nya thor
Indah Widi
keren thor,,,👍
di tunggu bab selanjutnya 💪😊
yumi chan
km hrs bisa mjauhi ben haya...biarlh ben yg mndrita karna terluka dgn kt2nya sndri jgn jd wnita yg lmh karna cinta..
yumi chan
jgn bdh hya pergilh jauh..bt apa km berthn dgn orng yg gk mau srius dgn km...bknkh ben sm jga dgn adipti..bt apa km msh berhrp pdnya
yumi chan
dsr km bdh hya mau aja sm lk2 bjnign kyk bnji
Nurul Halimah
bagus bnget sampai ngerasain gmna jadi si little rose karakternya okeee
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!