Keyz, pemuda berusia sekitar lima belas tahun tanpa sengaja menelan dua buah kristal kehidupan milik Gabrielle dan Lucifer.
Dua kekuatan yang bertolak belakang, cahaya dan kegelapan. Air dan Es. Menyelimuti dirinya.
Dan tiga kesadaran telah bersemayam di dalam jiwanya. Siapakah yang akhirnya nanti berkuasa atas tubuh Keyz?
Gabrielle?
Keyz sendiri?
Ataukah sang laknat dari neraka jahanam, Lucifer?
Ini sedikit berbeda dengan world without end yang sudah tamat, tapi akan saya tulis kembali dengan nuansa yang lebih mendalam. lebih gelap, dan lebih sadis. dan cerita yang sedikit berbeda.
dan pastinya, Keyz yang disini, bukan Keyz yang cemen!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Pulau Misterius
1
_______________________________________________
Kuil Pemujaan Gabrielle dipenuhi aroma harum bunga mawar Rose Blood yang bersinar anggun dalam vas kristal di atas altar. Wewangiannya lembut, namun menusuk, seolah menyatu dengan atmosfer kudus di dalam kuil.
Pinoria Sadness menyambut mereka dengan anggun. Setiap langkahnya menghasilkan dentuman lembut, seperti gema yang bersahut di dalam dada Keyz. Suaranya yang merdu membungkus mereka dalam ketenangan saat menyapa.
"Ra'Horakthy, dan dua lainnya—penghancur keseimbangan itu—telah kami kalahkan," ujar Keyz. Ia menambahkan santai, "Yang dua lagi... aku lupa siapa nama mereka."
Pinoria menanggapi dengan senyum tenang. "Lalu, apa yang kalian dapatkan dari mereka?"
Keyz menunjukkan Drop Item yang mereka peroleh, tapi Pino hanya menggeleng pelan. "Ambil saja untuk kalian. Aku tidak membutuhkannya." Nada bicaranya lembut, namun ada kekuatan tersembunyi di balik suara itu yang mengguncang batin Keyz.
"Kalian bilang... ada Minotaur di sana?" tanyanya kemudian.
"Benar," jawab Suki datar. "Kami mendapatkan Kapak Minotaur dan Tanduk Minotaur. Keyz, tunjukkan pada beliau."
Keyz mengangguk, lalu meletakkan kedua item itu di atas lantai marmer kuil yang bersih mengilap. Aura gelap masih terasa menyelimuti kapak Minotaur, bergemuruh perlahan seperti desah amarah yang tertahan. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Pino.
Tatapannya justru terpaku pada sepasang tanduk besar Minotaur. Matanya menyipit sedikit, mengamati dengan ketertarikan yang dalam.
"Kedua tanduk ini… sangat kubutuhkan," ucapnya akhirnya. "Sebagai gantinya, kalian akan menerima upah yang layak dari kuil ini."
Ia berbalik, langkahnya tetap berirama lembut namun terasa menekan ruang. Setiap jejak kakinya seolah menciptakan riak di udara. Tak lama kemudian, ia kembali dari balik altar, membawa empat kantong penuh koin emas, lalu menyerahkannya satu per satu.
"Selanjutnya," kata Pinoria, menatap langsung ke arah Keyz, "aku akan tetap membutuhkan bantuanmu, Keyz."
Keyz membalas dengan hormat, "Tentu. Dengan senang hati saya akan membantumu, Nona Pino."
Dengan itu, keempat petualang itu meninggalkan Kuil Pemujaan Gabrielle, membawa berat langkah dan sisa bau harum mawar yang masih menggantung di hidung.
2
________________________________________________
Langkah kaki mereka bergema lembut di pelataran kuil saat cahaya matahari senja mulai menyorotkan warna keemasan ke permukaan marmer putih. Pintu Kuil Pemujaan Gabrielle perlahan tertutup di belakang mereka, menyisakan suasana tenang yang hangat. Tepat di luar, Suki dan Selene berhenti, saling bertukar pandang singkat sebelum berpaling ke arah Keyz dan Alice.
"Ada urusan yang harus kami selesaikan, sampai jumpa lagi, suamiku." kata Suki singkat, nada bicaranya masih datar seperti biasa.
Selene mengangguk ringan. "Kami pamit dulu. Sampai jumpa lagi."
Tanpa menunggu jawaban, keduanya berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Keyz dan Alice berdua di bawah langit jingga yang perlahan meredup.
Alice menatap Keyz dengan mata bulatnya yang penuh cahaya. Aura agung yang sebelumnya menyelimuti dirinya seolah lenyap begitu saja, digantikan dengan ekspresi ceria dan suara kekanak-kanakan yang nyaring.
"Onichan! Kita pergi ke Pulau milikmu, yuk?" ucapnya sambil melompat kecil. "Kamu sudah janji akan menunjukkannya kepadaku, kan?"
Keyz tersenyum kecil dan mengangguk. Ia lalu mengajak Alice berjalan ke sudut kota yang tenang, sebuah jalan kecil yang dipenuhi bayangan bangunan dan semak tinggi, cukup tersembunyi dari pandangan orang. Tempat itu tenang, hanya suara angin yang menyapa.
Sesampainya di sana, Keyz berdiri tegak, lalu mengeluarkan Key Of Teleport dari balik pakaiannya. Kunci itu bersinar lembut di genggamannya. Dengan gerakan pelan namun mantap, ia mengangkatnya tinggi ke udara.
"Open!" serunya.
Seketika, udara di depan mereka beriak seperti air yang dilempar batu. Dari pusaran itu muncul cahaya membentuk sebuah gerbang berkilauan, lalu perlahan terbuka, menampakkan lorong bercahaya yang mengarah entah ke mana. Tanpa ragu, Keyz melangkah masuk. Alice mengekor tepat di belakangnya.
Mereka tiba di padang rumput luas yang terbentang sejauh mata memandang. Angin berembus lembut, mengibarkan helai-helai rumput tinggi yang hijau segar. Di langit, awan tipis bergulung pelan tertutup beberapa lingkaran sihir dengan tulisan-tulisan Rune yang bergerak secara perlahan mengelilingi pulau itu, dan di kejauhan, hanya kesunyian yang menemani.
Tiba-tiba, sebuah titik hitam kecil tampak bergerak cepat dari ujung cakrawala. Semakin dekat, bentuknya semakin jelas—seekor kucing hitam berlari lincah dengan tubuh mungilnya.
"Mimi!!" seru Keyz, senyum merekah di wajahnya. Ia berjongkok menyambut kucing itu yang langsung melompat ke pelukannya. "Kamu pasti kesepian!"
Alice berteriak kegirangan, "Kyaaaahhhh! Nekochan!!"
Tanpa menunggu, Alice ikut bergabung, berlutut di rerumputan dan mengelus kepala si kucing. Mereka bertiga bermain bersama, tawa Alice menggema di padang rumput yang sunyi itu. Waktu mengalir perlahan, tak terasa matahari mulai condong di langit.
Beberapa jam kemudian, mereka duduk berdua di atas rerumputan, kucing hitam kecil itu tertidur di pelukan Alice.
"Di sini tidak ada apa-apa," ujar Alice pelan. Ia memandang sekeliling. "Tidak ada bangunan ataupun pepohonan."
"Aku tidak bisa membangun rumah atau menanam pohon," jawab Keyz tenang, sambil menatap langit yang mulai berwarna ungu senja.
"Mau aku bantu?" tanya Alice, menoleh padanya dengan senyum kecil.
3
_______________________________________________
Langit di atas pulau perlahan berubah warna, dari jingga lembut menuju semburat ungu kebiruan saat malam mulai menjelang. Angin senja masih berhembus tenang, menyentuh helai-helai rumput panjang yang menari dalam diam. Di tengah padang rumput itu, Alice berdiri tegak, memegang tongkat sihirnya dengan kedua tangan mungilnya.
Matanya memejam, dan raut wajahnya berubah—dari ceria menjadi serius, penuh konsentrasi. Tongkat itu diangkat tinggi ke udara. Ujungnya berkilau pelan, lalu bersinar semakin terang seiring lafalan mantra yang meluncur lembut dari bibirnya. Kalimat asing yang terdengar seperti nyanyian suci bergema di udara.
"Virentia Sylvara... Nostra Radix, Crescite. Aeternum Floreat in Nomine Lux!"
(Wahai akar kehidupan, tumbuhlah. Kekal dan mekar dalam cahaya.)
NB, terjemahan dari Google translate yak. 😁
Dan dalam sekejap, di kaki bukit yang terbentang tak jauh dari mereka, bumi bergetar ringan. Retakan-retakan kecil muncul, lalu dari sana tumbuhlah pohon-pohon. Ratusan batang pohon melesat keluar dari tanah, menjulang tinggi dalam hitungan detik. Dedaunan mereka mengembang cepat, seolah musim semi dipercepat oleh kekuatan sihir.
Alice menurunkan tongkatnya perlahan. "Onichan bisa membangun rumah dengan kayu-kayu itu," ucapnya, suaranya kembali ringan dan lembut.
Keyz berdiri membisu. Matanya masih menatap pepohonan itu—hutan mini yang baru saja tercipta dari kehampaan. Ia tak berkata apa-apa, hanya menghela napas pelan. Di dunia asalnya, kekuatan yang ia miliki adalah sesuatu yang menggentarkan. Ia terbiasa menjadi satu-satunya manusia yang tak tersentuh, satu-satunya harapan sekaligus ketakutan.
Namun di sini, di dunia asing yang disebut Ring World, Keyz menyadari sebuah kebenaran—ia bukan siapa-siapa. Banyak makhluk lain dengan kekuatan yang jauh melampaui dirinya. Ia bukan lagi pusat dari kekuatan. Ia hanyalah satu dari sekian banyak.
Keyz teringat satu pepatah lama yang dulu pernah ia dengar dalam kesendirian: "Di atas langit, masih ada langit." Dan kini, ia menyaksikan sendiri kenyataan dari pepatah itu, tepat di hadapannya.
Sementara itu, Alice melangkah pelan ke sebuah bidang kosong di dekat mereka. Ia kembali mengangkat tongkatnya, dan kali ini, energi yang terpancar tak lagi sebesar sebelumnya. Dengan gerakan halus, tongkat itu membuat pola cahaya di udara, dan perlahan membentuk bangunan kecil. Sebuah pondok sederhana dari kayu, berdiri dengan struktur yang belum sepenuhnya sempurna, namun sudah cukup untuk disebut tempat tinggal.
"Hehehe. Cuma bisa segini untuk hari ini," katanya lirih, nada suaranya mulai kelelahan. Tubuh kecilnya sedikit goyah, dan napasnya terdengar berat.
Keyz segera mendekat, namun tidak mengatakan apapun untuk sesaat. Ia hanya menatap Alice, terdiam. Lalu ia berkata perlahan, "Kamu sangat berlebihan, Alice."
Alice menoleh ke arahnya, tersenyum tipis. Ia melangkah pelan, lalu mendekat. Dengan gerakan lembut, ia menyenderkan kepalanya ke lengan Keyz.
"Untuk Onichan, ini bukan apa-apa," katanya pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam. "Sekarang, Onichan punya tempat untuk pulang."
Dan senja pun beranjak ke malam. Di bawah cahaya bintang yang mulai bermunculan, Keyz berdiri diam bersama Alice yang bersandar di sisinya. Pulau itu tak lagi kosong.
4
_______________________________________________
Ketika Alice sedang dalam mode kanak-kanak yang manja di hadapan Keyz. Tiba-tiba ada aura lembut datang dari belakang mereka.
Saat Keyz dan Alice menoleh...
Di belakang mereka ada gadis seumur Alice berparas eksotis dengan aura ilahi, berkulit gelap kemilau, rambut panjang menjuntai hitam kebiruan, dan sepasang telinga binatang yang menjulang indah seperti lambang dewa-dewi Mesir. Mata emasnya berpendar tajam, penuh kebijaksanaan dan bahaya tersembunyi.
Dia mengenakan pakaian bergaya Mesir kuno yang dimodifikasi dengan nuansa fantasi, penuh hiasan permata biru dan emas, menunjukkan statusnya sebagai entitas luhur. Gelang, ikat pinggang, dan kalungnya berkilau dengan energi sihir kuno.
Dia hanya diam, dan terus mendekat ke arah mereka, tanpa ada aura menekan. Seolah-olah dia begitu akrab dengan mereka.
Lalu....
Gadis itu memeluk Keyz dan Alice dengan manja, dan mengendus mereka berdua.
Dan....
"Miaw..."
"Mimi!?" seru Keyz.
"Eeehhh... Nekochan tadi?" teriak Alice. "Kok bisa?"
"Miaw." Mimi hanya mengeong seperti kucing pada umumnya. Matanya berbinar-binar saat melihat Keyz dan Alice secara bergantian.
Lalu...
—Srup!—
Mimi menjilat pipi Keyz dengan lidahnya.
"Kyaaaahhhh!!! Onichan ku!!!" Alice berteriak kencang panik melihat adegan itu. Lalu...
—Srup!—
Mimi menjilat pipinya juga.
Alice langsung membeku di tempatnya.
NB. Ilustrasi Mimi dalam bentuk manusia bertelinga kucing.