Yang Sara tahu, Tirtagama Wirasurya itu orang terpandang di seluruh negeri. Setiap orang membicarakan kehebatannya. Tapi mengapa tiba-tiba dia mau menikah dengan Sara yang hanyalah seorang pegawai biasa yang punya banyak hutang dan ibu yang sakit-sakitan? Sara pun juga tidak pernah bertemu dengannya.
Dan lagi, ada apa dengan ibu mertuanya? Mengapa yang tadinya sangat baik tiba-tiba saja berubah? Apa salah Sara?
Terima kasih banyak untuk semua bentuk dukungannya.
Cygni 💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cygni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20-1 : Pernikahan yang Bahagia
[Sara]
“Sara!,” panggil Ibu dengan keras yang juga menggoyangkan salah satu bahunya hingga membuyarkan lamunannya. “Suamimu manggil, tuh.”
“Biar Sara saja yang menyiapkan. Ibu makan saja,” kata Agam lagi.
Sementara Ibu menjauh dari Sara, dan duduk di dekat Mbak Mina, Sara melanjutkan apa yang sudah Ibu kerjakan sebelumnya, memisahkan duri dari daging ikannya. Dengan kening yang berkerut, dan juga sesekali melirik ke arah Agam, Sara terus melakukannya dengan suara Ibu yang terus mengingatkan Sara.
“Jangan besar-besar potongannya, Sara.”
“Hati-hati durinya. Jangan sampai ada yang ketinggalan.”
“Sara itu anaknya sering lupaan. Harus sering diingetin,” kata Ibu yang sekarang sedang mengajak Agam ngobrol.
Agam malah tertawa menanggapi ucapan Ibu itu. Membuat Sara semakin jengkel melihatnya.
Begitu Sara selesai dengan tugasnya, Sara meletakkan piring itu di depan Agam. Dia masih mengambil kesempatan untuk mengajak Agam bekerja sama dengan baik.
“Mas, nanti aku bilang Mas mau makan di ruang kerja, jadi nanti ...”
“Nasinya sedikit saja, ya.”
Bisikan Sara dipotong begitu saja oleh Agam yang menengadahkan piringnya ke udara seakan benar dia sedang meminta piringnya diisi dengan nasi. Sara semakin menganga. Tapi juga kesal. Ini kenapa begini, sih?
Sara menggeram tapi dengan suara yang ditahan hingga pelan sekali. Dia menutup kedua matanya untuk menahan kekesalannya. Setelah semalam dan sekarang lagi? Kesabarannya sudah benar-benar di ujung tanduk.
Oke. Aku ikuti saja maumu. Kamu punya rencana, kan? Oke, oke ...
Sara kemudian menyendoki sesendok nasi ke dalam piring makan Agam. Karena memang segitu porsi Agam biasanya. Lalu, mengambil sendok dan meletakkannya dalam genggaman Agam. Kemudian menjelaskan apa saja yang ada di hadapannya.
Saat melirik ke arah Agam, dia dapat melihat salah satu sudut bibir Agam terangkat ke atas. Matanya langsung melebar.
Senyum? Itu senyum, kan?
“Terima kasih, sayang.”
Sara menahan nafasnya. Waktu terasa berhenti, tapi tidak bisa mundur hanya untuk mendengar sekali lagi apa yang baru saja didengarnya. Kali ini dia berharap ada masalah pada telinganya.
“Kok berdiri?,” tanya Agam. Tangannya bergerak perlahan mencari tangan Sara lalu menariknya untuk duduk. “Ayo duduk, sayang. Temani aku makan.”
Otak di kepala Sara berhenti bekerja seketika. Dia tidak mengomel atau pun mengumpat di dalam sana. Hanya bibirnya saja yang menganga. Tidak dapat mengatakan apa-apa lagi, dan mengikuti arahan tangan Agam yang memintanya duduk.
Begitu Sara duduk, Agam mulai menyendoki makanan yang ada di dalam piringnya.
Dia benar-benar akan memakannya?
Sara memperhatikan Agam dengan intens. Dia mengunci terus sendok yang digenggam Agam yang sedang bergerak ke arah mulutnya. Semakin dekat jaraknya, kedua matanya semakin melebar.
“Selamat siang, semuanya.”
Sara kaget bukan main. Suara Raka yang tiba-tiba saja masuk ke ruang makan hampir membuat jantungnya lepas dari tempatnya.
“Coba lihat Om Raka bawa apa? Donaaatt.”
“Yaayy ...”
Sapaan Raka langsung dibalas dengan seruan kebahagiaan dari Nisa. Mbak Mina sampai harus mengingatkan Nisa untuk tetap diam di tempatnya.
Setelah dari Raka, Sara kembali pada Agam yang saat ini sedang mengunyah makanannya. Begitu habis yang di dalam mulut, Agam kembali menyendoki makanannya dan memasukkannya kembali ke dalam mulutnya.
Dia benar-benar memakannya!!
Tapi, dia terlihat menikmatinya. Bahkan senyumnya terlihat lembut, berbeda dari yang tadi dilihatnya. Dia menyukainya.
“Gimana? Enak?,” tanya Ibu yang duduk di depan Sara, samping Agam yang lain. Senyumnya tetap terpasang manis, meskipun raut wajah penasaran sedang mendominasi.
Agam menganggukkan kepalanya. “Enak, Bu. Lebih enak dari masakan Sara.”
Sara langsung berdesis, dengan senyum tipisnya. Dari mana dia tahu nggak enak kalau dia nggak pernah makan selain yang dimasak Mbok Jami?
Sara memandangi Ibu, Mbak Mina, dan Nisa yang sedang memandanginya dan Agam dengan tatapan penuh kebahagiaan. Tentu saja, mereka sedang menyaksikan sepasang suami istri yang sedang bahagia dengan pernikahan mereka. Panggilan sayang, sentuhan lembut, adegan mesra, semua hanya ada dalam sebuah pernikahan yang bahagia.
Sedikit demi sedikit, Sara mulai menyadari sesuatu. Agam sedang membantunya meyakinkan Ibu dan semuanya bahwa dia baik-baik saja. Senyumnya kini terpasang indah di wajahnya.
“Raka, ayo ikut gabung,” seru Sara mengajak Raka untuk bergabung.
“Siap laksanakan kalau yang ini, Nyonya,” jawab Raka dengan antusiasnya dan langsung mengambil duduknya di bangku yang kosong di sebelah Nisa yang sedari tadi memaksa duduk terpisah dari Mbak Mina.
Makan siang hari itu terasa hangat. Sejak mereka menikah, ini pertama kalinya Sara melihat suasana di ruang makan begitu hidup dengan suara obrolan dan canda tawa orang-orang di dalamnya. Tidak ada kemarahan. Agam bahkan dengan jelas memperlihatkan dia begitu menyukainya. Rasanya begitu menyenangkan.
“Ayo, ajak Ibu jalan-jalan lihat rumah!”
Sara tetap terkejut. Hal ini tidaklah biasa, jadi sudah jelas dia pasti akan terkejut Tapi memikirkan kembali semua yang dilakukan Agam ini hanya untuknya, Sara menyembunyikan rasa terkejutnya itu, dan ikut bermain dalam rencana Agam.
Seperti yang diminta Agam, Sara mendorong kursi rodanya ke mana pun perintah Agam untuk membawanya, melihat-lihat kamar, bahkan mengantarkan Nisa untuk bermain di halaman belakang
“Nisa sama Nino sering-sering main kesini, ya. Om Agam rencananya mau bikin playground di sini. Nanti ada ayunannya, jungkat jungkitnya. Terus disitu mau dibikin kolam renang,” seru Raka menceritakan rencananya yang hanya dia dan Agam yang tahu.
“Beneran?,” tanya Nisa dengan penuh semangat.
Raka pun mengangguk dengan antusiasnya.
Sara menoleh sebentar memandangi Agam. Pria itu tersenyum, tidak menyangkalnya sama sekali.
Ada apa dengan Agam? Mengapa dia tiba-tiba berubah menjadi seperti ini?
Terakhir Agam meminta untuk membawanya ke kamar di lantai atas yang ada di sebelah kanan tangga, berlainan arah dengan kamar yang biasanya ditempati Sara.
Belum pernah Sara melihat ke dalamnya. Dan kali ini, Agam membukanya untuk memperlihatkan pada Ibu.
“Ibu sering-seringlah datang kemari. Biar bisa obati kangennya Sara. Ibu tinggal bilang ke saya kapan Ibu mau kesini, nanti Agam suruh supir yang jemput. Mina, suami, dan anak-anak juga. Ini kamar Ibu. Nanti ada lagi kamar di belakang untuk Mbak Mina dan keluarga.”
Sara tahu, dia seharusnya tidak perlu merasa terkejut lagi. Tapi yang ini paling mengejutkan. Atau pada dasarnya memang sama saja, hanya terlalu mendadak hingga Sara tidak dapat bersikap tenang seperti biasanya.
Tidak banyak yang terjadi setelah itu. Agam dan Raka bersama-sama ke ruang kerja, sementara Sara masih menemani Ibu dan Mbak Mina berkeliling di dalam rumah, lalu berakhir di teras belakang seraya memperhatikan Nisa yang masih sibuk bermain bola di halaman belakang.
Pada akhirnya Sara ikut bermain bersama Nisa. Sedangkan Ibu duduk di kursi teras dengan ditemani Mbak Mina sambil memandangi halaman. Sesekali mereka tertawa melihat kelakuan Sara dan Nisa yang saling menggoda.
Entah sudah jam berapa sekarang, yang pasti matahari sudah hampir mencapai ujung barat. Dari kejauhan Sara bisa melihat Agam sudah berada di teras bersama Ibu. Sedang Mbak Mina tidak terlihat lagi. Mungkin sudah masuk ketika Agam keluar.
Sara masih tetap bermain dengan Nisa sambil sesekali menoleh ke arah Ibu dan Agam. Melihat mereka berdua di sana timbul pertanyaan di kepalanya. Apa yang sedang mereka bicarakan hingga begitu seriusnya terlihat?
Wajah Ibu terlihat tanpa senyum. Tapi sesekali dia menundukkan kepalanya. Sara semakin khawatir. Dia menjadi tidak fokus meski sedang bermain dengan Nisa.
“Aahh ... Tante Sara, iihh ... Bolanya jadi jauh, tuh,” gerutu Nisa yang melihat bolanya menggelinding semakin menjauh.
“Maaf, maaf, ya ... Maafin Tante Sara, ya,” pinta Sara dengan wajah penuh penyesalan. “Nisa main sendirian dulu sebentar, ya. Tante mau ke Uti dulu.”
Selangkah demi selangkah, Sara menghampiri Ibu dan juga Agam. Mereka masih berbicara saat ini. Tak lama kemudian, Ibu berdiri menghadap Agam. Sara mulai mempercepat langkahnya.
“... dan menjaga anak saya.”
Kalimat terakhir Ibu tidak terdengar seutuhnya. Tapi, dari penggalan terakhirnya, Sara tahu siapa yang dimaksud Ibu.
“Ada apa, Bu?,” tanya Sara cemas.
Ibu jelas terlihat kaget melihat Sara yang sudah berdiri di depannya.
bayanginnya imuttt
penasaran tiap babnya nih, bagaimana nasibnya yaaa
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
tapi... si mama widia harus dpt ganjarannya..
kasian tapi udh byk korban dr dia sendirii . dihhh :') mangkel