Cinta Itu (Tidak) Buta
[Sara]
“Kita putus, ya ...”
Satu kalimat yang cukup membuat Sara terkejut dan mengubah seluruh moodnya di hari itu.
Pria bermata coklat yang dikenalnya dalam 2 tahun terakhir ini yang selalu menemaninya, menghiburnya, dan memberinya kekuatan saat dirinya rapuh setelah ayahnya meninggal, setelah 2 minggu mereka tidak bertemu via layar laptop – karena kesibukannya sebagai mahasiswa di sebuah kampus di Melbourne, Australia –, tiba-tiba saja mengajak bersua via online hanya untuk mengatakan kata itu. Putus.
Hati siapa yang tidak tersayat mendengar berita seperti itu.
“M-mas Vian ... A-ada apa? K-kenapa tiba-tiba begini? Apa aku punya salah?” Sara sudah hampir menangis karena keputusan mendadak itu.
“Orang tuaku ... mereka ... mereka ngotot mau menjodohkan aku dengan gadis pilihan mereka,” jawab pria yang dipanggil Mas Vian oleh Sara.
Ini lagi!
Sara sudah berusaha mendekatkan dirinya dengan orang tua Vian, tapi penolakan sepertinya datang dari sang pacar.
Ya, Vian. Dia selalu menghalangi Sara untuk bertemu dengan sang calon mertua. Selalu ada saja alasannya.
Sara minta bertemu, Vian bilang rumahnya jauh di luar kota Surabaya, tempat mereka tinggal. Sara minta alamat mereka, Vian bilang orang tuanya sedang ke luar pulau.
Yang tidak ada sinyal, yang HP rusak, yang inilah, yang itulah, entah sudah berapa alasan yang diberikan Vian untuk menghalangi Sara bertemu orang tua Vian.
Dan Sara selalu mempercayainya, meski dalam hati juga dia merasa jengkel.
Entah sudah ke berapa kalinya, akhirnya Sara dipertemukan dengan kedua orang tua Vian di satu cafe di Surabaya. Pertemuan yang singkat, tapi cukup menyenangkan menurut Sara. Atau mungkin hanya Sara saja yang merasa demikian.
Karena ternyata, Vian bilang orang tuanya tidak menyukai Sara.
Sara hampir putus asa dibuatnya. Bagaimana caranya menyenangkan calon mertuanya?
“Aku juga bukan diam saja, Sar. Berkali-kali aku bujuk mereka. Aku sering cerita tentang kamu. Aku bilang aku cuma cinta sama kamu. Tapi, mereka tetap nggak mau kasih restu. Aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana lagi, Sar.”
Kedua mata Sara mulai berkaca-kaca dengan menumpuknya air mata di dalam sana. Satu persatu air matanya mulai turun, terutama ketika dia memikirkan berapa banyak usaha yang bisa dia lakukan untuk menyenangkan calon mertuanya itu. Dan sekarang sepertinya semua terlihat sia-sia.
“Aku cerita kalau aku bisa ambil S2 ini juga semua berkat kamu. Kalau bukan kamu yang bantu aku cari dananya, mana bisa aku sampai di sini, Sar? Aku bilang ke mereka, kalau kamu yang selalu dukung aku selama ini. Tapi mereka tetap teguh sama pendirian mereka. Mama bahkan mengancam akan bunuh diri kalau aku tetap ngotot sama kamu. Terus aku harus bagaimana, Sar?”
Air mata Sara turun semakin deras. Terutama ketika Vian cerita ancaman ibunya. Bagaimana bisa Sara tidak peduli tentang hal itu? Dia juga punya Ibu yang sangat dia hormati dan sayangi.
Apakah ini harus benar-benar berakhir?
Tiba-tiba saja, panggilan video call mereka terputus. Layar laptopnya sudah berganti gambar menjadi tampilan daftar warna biru ciri khas software yang biasanya digunakan oleh sebagian besar orang yang ingin melakukan meeting online. Dan tak lama kemudian, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
“Maafkan aku, Sar. Sekali lagi aku minta maaf. Aku harus pergi, dipanggil dosen. Aku akan ganti uangmu secepatnya. Kamu jaga kesehatan, ya. Mas Vian mu.”
Sara semakin marah memandangi pesan itu.
Tapi bukan itu yang aku mau, Mas.
Yang tersisa sekarang adalah air mata Sara. Sara menangis sejadi-jadinya. Terus menangis mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di dadanya, meski rasanya tidak akan pernah habis. Jika bukan karena dia ingat dia harus pergi kerja, mungkin dia masih akan terus menangis sampai ujung hari.
Segera dia ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, mengurangi sembab pada kedua matanya. Sebelum akhirnya dia ke meja makan menemui ibunya.
“Ndak sarapan dhisik? (Tidak sarapan dulu?),” tanya Ibu ketika melihat Sara yang hanya mengambil sepotong roti melewati bangku dan juga nasi goreng kampung kesukaannya.
Sara menciumi pipi Ibu, lalu mencium punggung tangan milik sosok yang sangat dia sayangi itu, dan berkata, “Nggak, Bu. Sudah hampir terlambat. Jadwal cuci darah Ibu hari ini, kan? Ibu sudah kelihatan pucat gitu. Bentar lagi Mbak Mina datang. Ibu jangan kerja yang berat-berat, ya. Tunggu Mbak Mina. Nanti Ibu jatuh.”
“Hati-hati di jalan, Nak.”
Sara hanya melambaikan tangannya seraya pergi menjauh dan meninggalkan Ibu yang terduduk di atas bangku meja makan. Dia sengaja melakukan ini agar ibunya itu tidak melihat kedua matanya yang membengkak.
Meski dia pernah mengenalkan Vian pada Ibunya, tapi menceritakan ini pada Ibu hanya akan semakin menyulitkannya. Dia masih belum siap menceritakan semuanya terutama saat hatinya masih belum bisa ikhlas menerima semua keputusan Vian itu.
Aku akan coba bicara lagi dengan Mas Vian. Setidaknya aku harus mencoba sebelum benar-benar berakhir. Baru setelah itu aku bicara dengan Ibu.
BRAK!
Sara belum jauh melangkah meninggalkan rumahnya saat dia menabrak seseorang dalam perjalanannya menuju halte bis dekat rumahnya. Melamun sambil berjalan memang bukan hal yang baik. Dia bahkan tidak sadar hingga menabrak seseorang dengan kursi rodanya.
“M-maaf, maaf ... Saya nggak perhatian, karena terburu-buru,” kata Sara yang terus menunduk, lalu pergi meninggalkan orang itu begitu saja.
Sambil setengah berlari, pikiran Sara masih digelayuti pembicaraannya dengan Vian pagi ini. Bahkan di antara kerumunan orang yang sedang berlomba-lomba menaiki bis, kata-kata Vian yang mengucapkan kata ‘putus’ seakan tidak pernah pergi dari kepalanya.
Drrt ... drrt ...
Ponsel Sara bergetar tiba-tiba setelah cukup lama bis yang ditumpanginya bergerak meninggalkan halte. Perasaan Sara mendadak menjadi tidak tenang ketika layar ponselnya menunjukkan nama ‘Mbak Mina’. Karena asisten Ibu itu jarang sekali menelponnya jika bukan karena sesuatu yang penting.
Apakah terjadi sesuatu pada Ibu?
Dan benar saja ...
“Non Sara, Ibu jatuh. Ini saya lagi perjalanan ke rumah sakit. Non langsung ke rumah sakit biasanya, ya.” Dan panggilan pun ditutup.
Beruntung, bis yang ditumpangi sejalan dengan tujuannya. Tapi, perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu panjang dan selamanya.
Ibu pasti kerja berat tadi. Ibu selalu gitu, nggak pernah dengerin Sara. Mudah-mudahan Ibu nggak apa-apa, pikirnya terus menerus.
Pikiran Sara menjadi semakin kalut di setiap menit yang dihabiskannya menunggu bis itu tiba di rumah sakit.
......................
“Kondisi Ibu Fira semakin hari semakin menurun. Dan ini cukup mengkhawatirkan.”
Satu lagi kabar buruk hari ini.
Sejak Ayah meninggal 2 tahun lalu, Ibu lah yang banting tulang mencari nafkah untuk biaya kuliah Sara. Setiap kali Sara bilang akan berhenti kuliah, Ibu selalu melarangnya. Impian Ayah agar Sara diwisuda adalah alasan Ibu tidak mau Sara berhenti kuliah di tengah jalan.
Pada akhirnya, membuka jasa katering adalah usaha Ibu dalam menghasilkan uang. Yang mana membuat Ibu kelelahan dan terus merasakan sakit pada lengannya setiap kali harus mengaduk ayam goreng serundeng, andalan Ibu yang selalu menerima banyak pesanan.
Hingga akhirnya Ibu terus menerus minum obat anti nyeri yang berakibat buruk pada ginjalnya.
Dan di sinilah Ibu pada akhirnya, di rumah sakit dengan jadwal cuci darah seminggu 2 kali. Sudah lebih dari 6 bulan terakhir Ibu harus bolak balik rumah sakit untuk cuci darah.
“Apa belum ada kabar tentang donor ginjalnya, Dok?, “ tanya Sara yang sudah lama berharap cemas menunggu jawaban dari pendaftaran permintaan donor ginjal untuk Ibu nya itu.
Jika saja ginjal milikku cocok dengan Ibu, aku tidak perlu menunggu selama ini. Aku pasti akan segera melakukan operasi.
“Sayangnya belum ada,” kata dokter yang sudah beberapa bulan terakhir menangani Ibu nya. “Tapi jangan berhenti berdoa, ya. Siapa tahu akan ada kabar baik setelah ini.”
Kalimat yang sama setiap kali dia bertemu dengan dokter itu. Berdoa dan berharap. Dia terus berdoa hingga hari ini, tapi jawaban itu masih juga belum datang.
Mau sampai kapan lagi harus berdoa?
“Untuk saat ini, jadwal cuci darah Ibu Fira saya jadikan 3 kali seminggu, ya. Nanti biar diatur setiap 2 hari sekali. Pola makan jangan lupa tetap dijaga,” lanjut dokter itu lagi.
Sara memandangi ibunya yang saat ini sedang terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Di sampingnya ada Mbak Mina yang sedang duduk menemani Ibu. Sara hampiri wanita bertubuh tinggi dan kurus itu.
“Makasih ya, Mbak. Untung Mbak hari ini datang lebih cepat,” bisik Sara pada Mbak Mina agar tidak membangunkan Ibu .
Mbak Mina biasanya datang jam 9, satu jam setelah Sara berangkat kerja. Entah bisikan apa yang mendorong dia berangkat lebih awal, begitu cerita Mbak Mina tadi padanya.
“Sami-sami, Non. Wis memang dalane tekan Gusti. Ora usah dipikiri (Sama-sama, Non. Sudah memang jalannya dari Gusti. Tidak perlu dipikirkan),” balas Mbak Mina seraya mengusap lembut punggung Sara seakan sedang membantu menenangkannya.
Drrt ... drrt ...
Ponselnya yang bergetar memaksa Sara harus keluar dari ruangan itu. Dari deretan angka yang tidak tersimpan di ponselnya, Sara tahu siapa yang sedang menelponnya saat ini.
Another bad news ...
“Selamat siang, Ibu Ashara Revalina. Saya dari Pinjam Rupiah ingin mengkonfirmasi kembali kapan kira-kira pinjaman Ibu bisa segera dibayarkan?”
Dan terus begitu untuk beberapa saat. Telepon demi telepon masuk hanya untuk menanyakan hal yang sama, kapan akan dibayarkan?
Sara hanya bisa terduduk di atas bangku ruang tunggu saat semua telepon itu selesai dijawabnya. Kepalanya menengadah ke atas, memandangi langit-langit gedung rumah sakit seraya memikirkan, apa yang harus dilakukannya sekarang?
Pinjaman itu adalah pinjaman yang sudah cukup lama diambilnya. Pertama, 10 juta untuk membayar kekurangan biaya pendidikan Vian dan juga biaya hidupnya selama di Melbourne.
Lalu, 15 juta, untuk biaya operasi pemasangan AV Shunt (*) yang disarankan dokter agar mudah bagi Ibu saat melakukan hemodialisa.
Dan kini semuanya minta agar dibayarkan. Dia bahkan masih harus memikirkan biaya pengobatan Ibu yang sekarang jadwal cuci darahnya menjadi 3 kali seminggu. Meski dibantu oleh asuransi kesehatan pemerintah, tapi ada beberapa obat yang tidak tercover sehingga Sara harus membeli dengan dananya sendiri. Bagaimana mengatasi semuanya?
Sara menghela napas cukup panjang dan lama.
Drrt ... drrt ...
Kembali Sara menghela napasnya, menyiapkan hati dan pikirannya untuk menerima panggilan berikutnya yang dikiranya akan berasal dari debt collector lagi.
“Sara! Kamu mau masuk kerja jam berapa? Kenapa masih belum datang?!”
......................
Author’s Note :
(*) AV Shunt adalah tindakan operasi yang menyambungkan arteri dan vena pada bagian lengan dengan tujuan menjadikan sambungan tersebut sebagai akses hemodialisis
Sumber : https://sardjito.co.id/2021/12/06/tips-perawatan-post-operasi-av-shunt/\#:~:text\=Arteriovenous%20Shunt%20(AV%20Shunt)%20atau,sambungan%20tersebut%20sebagai%20akses%20hemodialisis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
2023-09-21
1
Xin Yue 新月
asik otor balik
2023-06-28
3