Galang Aditya Pratama—seorang pengacara ternama yang dikhianati oleh sang istri hingga bertahun-tahun lamanya. Kemudian, Cinta Amara hadir di kehidupannya sebagai sekretaris baru. Amara memiliki seorang putri, tetapi ternyata putri Amara yang bernama Kasih tak lain dan tak bukan adalah seseorang yang selama ini dicari Galang.
Lantas, siapakah sebenarnya Kasih bagi Galang?
Dan, apakah Amara akan mengetahui perasaan Galang yang sebenarnya?
###
"Beri saya kesempatan. Temani saya Amara. Jadilah obat untuk menyembuhkan luka di hati saya yang belum sepenuhnya kering. Kamulah alasan saya untuk berani mencintai seorang wanita lagi. Apakah itu belum cukup?" Galang~
"Bapak masih suami orang. Mana mungkin saya menjalin hubungan dengan milik wanita lain." Amara~
***
silakan follow me...
IG @aisyahdwinavyana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Na_Vya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28~
~PERLU SAYA BANTU?
###
Papi Hendra menghela napas panjang, merasa heran dengan istrinya ini yang sangat mudah sekali menangis dan terbawa perasaan. Wajar jika mami Sarah berujar demikian, pasalnya Kasih merupakan anak yang sangat pintar dan penyayang. Sifat sang ayah sepertinya menurun pada bocah berumur tujuh tahun itu. Dan, sifatnya yang mudah bergaul dan ingin banyak tahu, itu adalah sifat dari Maya—sang ibu.
Kasih termangu menatap bergantian pasangan suami istri yang dia panggil nenek dan kakek itu. Panggilan cucu yang disematkan untuk dirinya menjadi suatu kebahagiaan tersendiri sebab selama ini dia sangat menginginkan punya nenek dan kakek.
"Nenek, emang Kasih boleh anggep kalian Nenek dan Kakek beneran?" tanyanya dengan muka berseri dan bola mata berbinar. Pertanyaan polos itu tentu membuat mami dan papi tersenyum bersamaan.
Mami mengusap wajah Kasih lantas menyahut, "Boleh dong, Sayang. Boleh banget malah. Iya 'kan, Pi?"
"Boleh. Kasih boleh panggil kami Nenek dan Kakek sepuas Kasih." Papi menimpali seraya melirik penuh arti kepada istrinya. Beruntung Kasih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan mami Sarah beberapa saat yang lalu.
"Mom, Pi."
Kedua paruh baya itu menoleh serentak ke arah sumber suara yang memanggilnya.
"Galang ... Amara ...."
*
*
Beberapa jam kemudian...
Keluarga Pratama pergi meninggalkan Rumah Sakit setelah berkonsultasi dengan dokter yang menangani kejiwaan Maya selama ini. Dokter tersebut berujar jika kondisi mental Maya belum sepenuhnya pulih lantaran ingatannya yang masih terkungkung dalam kubangan masa lalu. Dan, soal Maya yang tidak mengingat Kasih itu sesuatu yang sangat wajar, sebab selama hampir tujuh tahun ini dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan putrinya.
Lain cerita bila keluarganya dulu dengan rutin memperkenalkan Kasih kepada Maya. Kemungkinan Maya mengenali putrinya sangat besar.
"Seandainya dulu Maya enggak buang Kasih. Mungkin hari ini dia masih mengenali anaknya." Mami berujar dengan penyesalan yang mendalam, beliau merasa tidak ada gunanya sebagai orang tua selama ini.
Mami menyesali ketelodarannya dalam menjaga Maya kala itu. Maya pergi dengan diam-diam tanpa sepengetahuan orang rumah. Saat itu mami tidak sengaja meninggalkan Maya sebab harus membuatkan susu formula untuk cucunya. Sejak anaknya lahir, Maya tidak mau memberinya ASI. Alhasil, mami yang kerepotan setiap hari. Memakai jasa baby sitter pun percuma. Mereka semua tidak ada yang betah dengan kondisi Maya yang selalu mengamuk dan marah-marah.
Papi yang berada di samping mami mencoba menghiburnya. "Udahlah, Mi, jangan disesali terus-menerus. Kita itu harusnya bersyukur karena Tuhan sudah mempertemukan kita dengan anaknya Maya," ujar papi menenangkan hati mami.
Pandangan mami tertuju pada Kasih yang tertidur di pangkuannya. "Iya, Pi. Mami bersyukur kita bisa dipertemukan dengan Kasih," sahut mami lantas mengambil gelang emas milik Kasih dari dalam tasnya.
"... ini dulu gelang yang bikin mami. Untung mami ada kepikiran buat pakek'in Kasih gelang. Jadi dia enggak kehilangan jati diri aslinya. Amara memang perempuan berhati malaikat, ya, Pi. Mami jadi kasian sama dia. Tahu-tahu harus terseret dramanya si Vanila yang enggak tahu diri itu. Mami kesel, deh!" sungut mami yang sangat menyayangkan jika Amara harus terbawa dalam masalah rumah tangga putranya.
"Ya ... semoga anak kita Galang bisa menyelesaikan masalah ini secepatnya. Jadi, kita juga bisa tenang berangkat ke Singapura," ucap papi Hendra penuh harap.
"Iya, Pi ...." Mami mengamininya dalam hati.
Mereka berencana membawa Kasih untuk berobat ke Singapura dengan membawa serta Maya. Di sana banyak Rumah Sakit terbaik dan ternama. Papi mau penyakit Kasih segera ditangani supaya sel kanker tidak semakin menyebar ke seluruh tubuh cucu satu-satunya itu. Tentunya atas izin dari Amara selaku orang yang merawat Kasih selama ini.
_
_
Galang meminta Amara untuk menemaninya sidang di Pengadilan Negeri Agama. Kasus yang harus dia tanganin kali ini adalah perceraian sepasang suami istri yang sudah menikah hampir sepuluh tahun. Memutuskan untuk berpisah lantaran tak kunjung ada kecocokan diantara mereka. Sampai pihak dari laki-laki memilih membebaskan istrinya untuk bahagia dengan pria yang dicintai.
Awalnya Galang merasa lucu dengan drama rumah tangga para kliennya yang beraneka ragam cerita. Dari mulai perselingkuhan, perselisihan sampai berbeda tujuan dan visi misi. Ibarat kata, pernikahan tak ubahnya seperti sebuah permainan atau kesepakatan yang sewaktu-waktu bisa diubah kapan saja.
Sungguh tak masuk akal.
Namun, detik ini dirinya merasakan sendiri berada di posisi semacam itu. Diselingkuhi, dan dikhianati oleh istri yang dicintai setengah mati. Seakan waktu lima tahun itu terbuang sia-sia dengan kesalahan fatal yang dilakukan Vanila. Galang merasa menjadi pria paling bodoh saat ini lantaran tak bisa mengenali wanita yang dia nikahi selama bertahun-tahun itu.
Terkadang, Galang sempat berpikir, apakah dia benar-benar mencintai Vanila? Atau itu semua hanya obsesinya semata? Jika memang itu cinta kenapa dia tidak bisa membuat Vanila hanya mencintainya saja? Kenapa selalu dia yang harus mengalah dan lagi-lagi meminta maaf.
Sementara, dalam diamnya, Amara tak berniat berbincang dengan atasannya itu. Kabar Kasih yang akan dibawa ke Singapura justru semakin menambah kesedihannya. Otomatis dia tidak akan bisa bertemu lagi dengan putrinya, hingga membuat pikiran Amara menjadi tidak tenang sejak tadi.
'Kenapa aku harus sedih? Toh, Kasih pergi untuk berobat. Dan, dia juga pergi bersama keluarganya. Jadi, untuk apa aku harus mencemaskannya? Nyonya Sarah pasti akan merawatnya dengan baik. Kasih pasti akan segera sembuh dan kembali sehat seperti dulu. Aku cuma perlu bersabar dan mendoakannya dari sini.'
Amara membatin gusar. Sebagai orang yang sudah bertahun-tahun bersama Kasih, dia merasa tidak rela jika harus berjauhan dengan putrinya itu. Namun, Amara juga tidak ingin menjadi egois dan serakah.
"Amara ...." Suara berat Galang membuyarkan lamunan Amara.
Perempuan itu terhenyak sesaat, kemudian menoleh. "Ya?" dia melihat Galang sedang melepas sabuk pengamannya.
"Ayo turun. Kita sudah sampai pengadilan," ajak Galang pada Amara yang masih memandanginya.
Sejenak Amara memindai keadaan di luar sana.
"Baik." Setelah itu dia melepas sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. Namun, dia agak kesulitan untuk membuka pengaitnya. "Kenapa susah banget, sih?" gerutunya sambil terus berusaha membukanya.
Cukup lama Amara berkutat dengan pengait itu dan tak urung menimbulkan rasa penasaran bagi Galang yang sedari tadi memperhatikannya.
"Kenapa?" tanyanya sambil beringsut maju mendekati Amara. Kepalanya melongok ke arah tangan Amara yang sejak tadi sibuk membuka pengait seat belt tersebut. "Macet, ya?"
Amara hanya mengangguk dan tetap berusaha membukanya. Walau kesabarannya kian menipis.
'Kenapa susah, sih? Biasanya juga enggak. Ck!' Dia mulai putus asa.
"Perlu bantuan?" tawar Galang.
"Enggak perlu."
"Itu memang selalu seperti itu. Kadang macet enggak jelas," ucap Galang sekadar memberi tahu.
"Oh, iya? Kayaknya kemarin-kemarin enggak," timpal Amara menanggapi. Dia berkali-kali mendengus lantaran pengait yang tak kunjung terlepas.
"Sini. Biar saya bantu." Galang sedikit memaksa. "Sebentar lagi saya akan sidang. Kita bisa terlambat," imbuhnya yang pada akhirnya membuat Amara setuju menerima bantuannya.
"Baiklah. Coba Anda buka."
"Permisi." Galang semakin mendekat, mengikis jarak antara dia dan Amara yang membeku di tempatnya.
Posisinya saat ini benar-benar sangat intim. Mereka bahkan bisa menghirup aroma parfum masing-masing. Mata Amara mengerjap pelan sambil menatap lekat-lekat rahang tegas Galang yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Sedangkan lelaki itu tengah mati-matian berusaha membuka pengait seat belt sambil menahan diri untuk tidak larut dalam situasi ini.
Embusan napas Amara menerpa kulit lehernya. Lengannya tak sengaja menempel pada bagian dada perempuan itu.
'Ya Tuhan ... aku harus secepatnya membuka pengait sialan ini. Kalau enggak, entah apa yang akan dipikirkan Amara tentang aku.'
"Su-sudah?" tanya Amara dengan gugup. Rasanya kenapa begitu sesak dan aneh.
"Tunggu sebentar." Galang menjawab sambil terus berusaha dan usahanya membuahkan hasil. Pengait itu akhirnya terlepas. "Sudah." Dia segera beringsut mundur, kemudian menatap wajah Amara yang sudah memerah.
Amara tersenyum kikuk sembari membenahi pakaiannya yang sedikit berantakan.
"Te-terima kasih, Pak."
"Sama-sama."
###
Atau penulis nya udah keabisan ide utk kelanjutannya?
sayang klo ga sampe abis n ending yg entah itu happy or sed ending.
setidaknya di selesaikan dulu sampe finish. jangan ngegantung.