NovelToon NovelToon
Yogyakarta Di Tahun Yang Menyenangkan

Yogyakarta Di Tahun Yang Menyenangkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:915
Nilai: 5
Nama Author: Santika Rahayu

Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 22

“Ngapa lu?” Tristan menyenggol lengan Bara yang terlihat duduk termenung memandangi ponselnya.

“Tau nih, dari kemaren tiba-tiba jadi introvert.” Nula menimpali.

Bara tidak langsung menjawab, ia kembali memandangi video singkat yang diposting di Insta story oleh seorang gadis dua menit yang lalu, helaan napas berat terdengar samar. “Aru. Langgeng banget sama pacarnya.” katanya pelan.

Nula mengerutkan kening, “Lah bagus dong, Lo berharap mereka berantem terus gitu?”

“Masalahnya, gue suka sama Aru.”

“Hah...?” Nula dan Tristan terkejut hampir bersamaan.

Perkataan Bara barusan terdengar seperti pengakuan yang diungkapkan secara tak sengaja, namun Bara terlihat santai setelah mengatakan hal tersebut.

“Serius Lo?, sejak kapan?, gimana ceritanya?, Lo harus klarifikasi pokoknya!” Nula langsung duduk di sebelah Bara, dia langsung menghujami temannya itu dengan rentetan pertanyaan.

Bara menghela napas panjang, lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku jaket. Tatapannya lurus ke depan, seolah sedang menata sesuatu di kepalanya.

“Dari lama,” jawabnya akhirnya. “Sejak awal MPLS. Awalnya biasa aja… tapi makin kesini, makin kepikiran.”

Tristan menyandarkan punggung ke meja. “Terus kenapa baru sekarang ngomong?”

Bara tersenyum kecil, getir. “Karena sekarang gue sadar… gue telat.”

Nula duduk disebelahnya, tangannya menepuk pundak Bara pelan. “Yang sabar, lagian Lo punya perasaan malah dipendam.”

Bara tertawa kecil, tapi tawanya tidak benar-benar terdengar seperti tawa. “Gak apa lah, sekarang gue masih bisa temenan sama dia, kalau dulu gue ungkapin perasaan terus ditolak, kan pasti asing jadinya.”

“Bijak-bijak. Emang ya, mencintai gak selalu harus memiliki, bisa jadi mengiklaskan.” kata Nula, puitis.

“Tapi emangnya, lo gak sakit? Lihat dia bahagia sama yang lain?” Tristan bertanya pelan.

Bara terdiam sejenak, “Sakit sih sakit. Tapi mau gimana lagi, gue juga kurang gentle. Gue cuma berani mendam, gak berani confes.” Nada suara pemuda itu terdengar penuh penyesalan.

“Yaudah lo iklasin aja. Ingat, level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Lo harus iklas lihat dia bahagia, meskipun bukan sama lo.” Lanjut Nula lagi, setiap kalimat yang diucapkan pemuda itu, benar-benar terdengar seperti dokter cinta.

“Iya gue iklas.” ujar Bara lirih.

Tristan tertegun, banyak hal mulai berputar di kepalanya. “Apa nasib gue bakal sama yang, kalau gue cuma diam.” batinnya berisik.

“Bener ya, cuma ada dua hal yang bisa kita lakuin kalau suka sama seseorang.” Tatapan Tristan lurus ke depan, “Ungkapkan, atau pendam.”

“Dan kalau diungkapkan, ada dua kemungkinan yang akan terjadi.” sambung Nula. “Kemungkinan pertama, lo diterima karena kalian sama-sama suka. Dan kemungkinan kedua, lo ditolak terus asing.”

“Dan kalau dipendam, dia gak akan pernah tau kalau lo suka sama dia, mungkin juga bakal kayak gue, keduluan orang.” Kali ini Bara yang berbicara, “Tapi ada untungnya, lo masih bisa temenan, gak akan pernah asing karena dia gak tau perasaan lo.” lanjutannya dengan senyum iklas yang berusaha diikhlaskan.

Tristan kembali terdiam, menelan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Dalam benaknya, suara itu kembali berputar.

"Pendam, atau ungkapkan."

Ia melirik ke arah Bara sekilas, di wajah sahabatnya itu ada ketegaran yang dipaksakan. “Kalau lo dikasih kesempatan lagi, lo bakal milih mendam perasaan lo, atau ungkapin?”

Bara tidak langsung menjawab, dia seperti berpikir dan mengingat-ingat sesuatu “Ungkapin lah,” jawabnya mantap. “Gue bakal ngungkapin. Ditolak juga gak apa-apa. Paling enggak gue gak hidup dengan kata seandainya.”

Beberapa detik setelahnya, pelatih mereka memasuki lapangan. Peluit terdengar, semuanya berkumpul sebelum mulai berlatih basket.

...****************...

Motor Sagara memasuki kediaman Alleta, keduanya terlihat basah kuyup kehujanan. Sisa tawa masih terlihat di wajah mereka.

Alleta turun dari motor kemudian melepaskan helmnya. “Gak mampir dulu?” tanyanya sembari menyerahkan helm pada Sagara.

“Gak, udah sore. Gue juga basah gini.” tolak Sagara halus.

“Yaudah, makasih ya. Hati-hati di jalan.” ujar Alleta tulus

Sagara mengangguk, dia kembali menyalakan mesin motornya. Motor itu pun melaju pergi, meninggalkan Alleta yang masih berdiri di halaman rumahnya. Gadis itu baru melangkah masuk ketika ponselnya bergetar di saku jaket.

Sebuah panggilan masuk.

Mata Alleta seketika berbinar mendapati panggilan video call dari seseorang yang sangat dia rindukan.

“Mama...” ujarnya antusias, wajah lembut sang ibu muncul di layar.

“Halo sayang.., kok kamu basah kuyup gitu?, pasti main hujan lagi.” Sekar mengerutkan kening, dia sudah tidak tahu bagaimana agar putrinya itu berhenti melakukan hal-hal yang membuatnya sakit.

“Hehe. Iya kehujanan dikit.” Alleta nyengir.

“Udah, gak usah dimarahin. Kayak gak pernah kecil aja..” Suara sang ayah terdengar membela.

“Papa.., papa disana juga?” Alleta semakin antusias, karena biasanya saat dirinya video call, hanya ada sang ibu karena biasanya ayahnya sibuk di laboratorium.

“Iya, hari ini papa istirahat.” kata Bagas, “Papa mau kasih tau sesuatu sama Alleta.”

“Apa pa?” Alleta terlihat penasaran.

“Vaksin Denluma udah lolos uji klinis. Besok mama sama papa akan terbang ke Jakarta untuk peresmian.”

Alleta terdiam sesaat.

Matanya membesar, lalu senyumnya perlahan melebar.

“Serius, Pa?” suaranya bergetar, antara tak percaya dan bahagia.

“Serius sayang.., setelah peresmian kami masih harus urus beberapa hal, habis itu kita pulang.” kali ini Sekar yang menjawab, suaranya juga tak kalah antusias.

“Akhirnya.., Alleta udah kangen banget sama mama, sama papa.” ujar Alleta penuh kerinduan.

“Kita juga kangen sama kamu. Udah mandi sana, nanti kamu sakit.” sang ayah menjawab.

“Siap komandan.” Alleta mengangkat tangan kanannya ke pelipis, membentuk gestur hormat.

Setelah panggilan berakhir, gadis bermata cokelat teduh itu langsung masuk ke dalam rumah dengan riang. Setelah kedua orang tuanya pergi ke Singapur selama tiga minggu yang terus berlanjut hingga menjadi tiga bulan, mereka akhirnya akan segera pulang ke tanah air.

Alleta menutup pintu kamarnya sambil tersenyum sendiri.

Hatinya terasa ringan, seperti baru saja melepas rindu yang selama ini terpendam.

Ia meletakkan tas, melepas seragamnya yang basah lalu mandi.

Langit di luar jendela mulai menggelap, hujan sudah berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan.

...****************...

Di kediamannya, Sagara baru saja selesai membersihkan diri. Saat sebuah pesan tiba-tiba masuk membuat notifikasi ponselnya bergetar.

Zayyan

[Sa, Zea udah tau lo di Jogja.]

Tangan pemuda itu langsung bergerak mengetik balasan.

[Oh. Ok]

Sagara hanya membalas singkat, dia tidak mau tau lagi tentang gadis itu–gadis yang pernah menorehkan trauma baru pada Sagara.

Zayyan kembali mengirimkan pesan.

[Sok cool Lo]

[Tapi tenang aja, dia lagi olimpiade. Kalo mau pindah sekarang, sekolah gak akan ngizinin.]

Sagara hanya membaca pesan itu, tanpa sedikitpun berniat untuk membalasnya.

Sagara baru saja hendak meletakkan ponselnya, saat sebuah pesan yang muncul dari chat yang dia sematkan tiba-tiba masuk di notifikasi.

Pesan itu dari Alleta.

[Makasih ya buat hari ini. Maaf jadi bikin lo kehujanan😊]

Sagara tersenyum tipis tanpa sadar.

Ia membalas cepat.

[Gak apa-apa. Seru malah. Udah mandi?]

Tak sampai satu menit, balasan datang.

[Udah nih.]

Sagara membayangkan wajah Alleta yang selalu cerah meski hanya lewat teks.

[Langsung pakek minyak angin. Jangan sampe sakit.]

[Siap dokter Sagara.]

Sagara kembali mengetik balasan.

[Jangan lupa makan, istirahat yang bener. Last chat di gue]

Setelah ceklis di chat itu berubah dua biru, Sagara langsung menyimpan kembali ponselnya.

Pemuda itu kemudian melangkah turun menuju lantai dasar, sesampainya disana. Sagara melihat ibunya yang sedang mengobrol dengan dokter yang sangat dia kenali–Dr.Ardi.

“Ehh, anaknya dateng. Baru aja diomongin.” ujar bu Sofi. “Sini dulu nak.”

Sagara melangkah mendekat, dia tau setiap bulan dia akan diperiksa untuk mengontrol bipolar yang diidapnya.

Dokter itu tersenyum ramah seperti biasa, membuka map kecil yang selalu ia bawa. “Gimana kabarnya, Sagara?” tanya Dr. Ardi sambil melirik jam tangannya.

“Baik, dok.” jawab Sagara singkat.

Bu Sofi ikut duduk di kursi sebelah, wajahnya menunjukkan raut lega sekaligus khawatir yang selalu sama setiap kali pemeriksaan tiba.

Dr.Ardi mulai mengajukan beberapa pertanyaan rutin, tentang tidurnya, perubahan suasana hati, emosi, dan obat yang harus diminum Sagara secara teratur.

Sagara menjawab seadanya. Tidak berlebihan, tidak juga terlalu tertutup.

Namun saat Dr.Ardi bertanya, “Ada hal yang beberapa hari ini sering kamu pikirkan?”

Sagara terdiam. Alleta tiba-tiba kembali muncul di benaknya, tawanya ditengah hujan, dan senyumnya yang selalu menenangkan.

“Ada, tapi bukan hal yang bikin emosi.” jawab Sagara akhirnya.

Dr.Ardi mengangguk kecil, seolah memahami lebih dari sekedar kata-kata. “Perubahan emosi karena sesuatu yang menyenangkan juga perlu dijaga. Jangan terlalu ditahan, jangan juga berlebihan.”

Sagara menunduk, menyerap tiap kata.

Bu Sofi menatap putranya penuh perhatian.“Kamu kelihatan lebih hidup sekarang,” ucapnya pelan.

Pemuda itu hanya tersenyum tipis.

Setelah mencatat semua perkembangan itu, Dr.Ardi memberikan obat-obatan baru yang harus dikonsumsi. Setelah itu ia pamit, meninggalkan ibu dan anak itu di ruang keluarga.

Beberapa detik hening. Bu Sofi kemudian berkata,“Siapa yang bikin kamu senyum-senyum sejak pulang tadi?”

Sagara refleks menoleh.“Kelihatan, ya?”

Bu Sofi tersenyum. “Banget.”

Sagara menghela napas kecil.

“Ada, temen kelas.”

“Hm.”

Bu Sofi tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu, suatu hari nanti Sagara akan bercerita sendiri ketika ia siap.

“Yaudah sana, makan dulu. Habis itu istirahat.”

“Iya ma.” Sagara langsung melangkah menuju ruang makan.

Sementara Bu Sofi, dia tersenyum menatap bahu putranya yang menjauh. Ia merasa membawa Sagara pindah ke Jogja adalah pilihan yang tepat, sejak disini Sagara menjadi lebih hidup, dia juga jarang kumat. Sungguh siapapun yang berhasil membawa perubahan itu pada Sagara, ia ingin sekali mengucapkan terimakasih.

...Bersambung......

...–Terkadang Tuhan memang menciptakan dia untuk berada di hatimu saja, tapi tidak di kehidupanmu–...

^^^~Bara Barunika~^^^

...Btw gayss...

...Kalian pilih kapal yang mana nih??...

...Sagara Alleta or Tristan Alleta?...

1
Fathur Rosi
asik akhirnya up lagi
butterfly
lanjuttttt💪💪💪💪
Fathur Rosi
up Thor......... gasssss
Fathur Rosi
up Thor......... gasssss
Fathur Rosi
mantap
Lilis N Andini
lanjut /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Sant.ikaa
Kalian tim Tristan Alleta OR Sagara Alleta
Sant.ikaa
Yang mau lanjut absen dongg
butterfly
lanjut thor 💪💪
Sant.ikaa: sudah nihh
total 1 replies
Fathur Rosi
asik ceritanya...... gassssss
Siti Nina
Oke ceritanya Thor 👍👍👍
Lilis N Andini
ceritanya bagus,dengan latar sekolah yang menggemaskan seakan bernostalgia ketika masa putih abu
Sant.ikaa: terimakasih dukungannya😊
total 1 replies
Lilis N Andini
ditunggu upnya kak/Heart/🙏
Lilis N Andini
Aku mampir kak....semangat/Rose//Rose/
kalea rizuky
lanjut banyak thor nanti q ksih hadiah
kalea rizuky
aduh km knp Tristan
kalea rizuky
yaaa sad boy donk tristan
kalea rizuky
kasian Tristan jd Ubi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!