Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
“Kami menyiapkan kamar ini untuk Nyonya. Semoga nyonya menyukainya. Dan jika nyonya membutuhkan sesuatu, tinggal tekan bel di meja dan saya akan segera datang kemari.”
Reina masuk perlahan untuk melihat kamar pengantin itu yang terlalu indah. Ranjangnya berukuran besar dengan sprei putih yang dihias taburan kelopak mawar merah. Lampu-lampu kecil berkerlip lembut di dinding. Aroma bunga melati yang memenuhi kamar. Di meja rias, ada buket mawar putih dengan pita perak bertuliskan:
“Untuk Reina.”
Tidak ada nama pengirim. Tapi jelas hanya satu orang yang cukup penting untuk menaruhnya di sini. Reina menyentuh kelopak bunga itu dan membuat detak jantungnya berdegup tidak karuan. Kamar ini memang dipersiapkan untuk malam pertamanya. Untuk malam di mana ia sebagai istri akan menunggu suaminya datang.
Namun kenyataan itu membuat tenggorokannya mengering.
Aditya belum kembali. Ia bahkan tidak tahu di mana lelaki itu sekarang. Tidak ada yang tahu kamar mana yang akan ia pilih. Tidak ada yang tahu ke mana suaminya itu akan memilih untuk menghabiskan dengan siapa malam pertama pernikahannya itu.
Dan itu membuat dada Reina semakin sesak.
Ia menatap ranjang besar itu dan membayangkan sesuatu yang bahkan tidak ingin ia bayangkan. Apakah Aditya akan masuk ke kamar ini? Apakah Aditya akan menyentuhnya? Atau apakah ia akan memilih pergi ke kamar Alisha?
Reina duduk perlahan di tepi ranjang, meremas gaun pengantinnya yang kini sudah diganti gaun tidur yang disiapkan pelayan. Napasnya terasa berat sementara dadanya terasa nyeri.
Ia merasa gelisah, takut dan bahkan tidak diinginkan oleh keluarga suaminya.
Sementara itu di tempat lain, Alisha berjalan memasuki kamar pengantinnya sendiri dengan langkah ringan. Kamarnya tidak kalah indah—bahkan mungkin lebih mewah dari milik Reina. Tirai putih menghiasi jendela kamarnya, ranjang luas ber sprei satin, lampu kristal yang menghiasi langit langit kamar serta harum lavender yang memenuhi ruangan.
Ia berdiri di tengah kamar dan tersenyum puas. Ia menunggu Aditya. Menunggu malam pertama yang sejak awal memang ia rencanakan sebagai miliknya. Ia bahkan sudah melepas sebagian perhiasan dan berdandan ulang agar terlihat lebih menggoda. Di samping ranjang, lilin aromaterapi telah dinyalakan, memberikan nuansa lembut dan sensual.
“Aditya pasti akan datang ke sini dan untuk itu aku sudah siap untuk membuatnya jatuh cinta denganku.” gumam Alisha dengan penuh keyakinan.
Kediaman keluarga Wiranegara sudah jauh lebih sepi dibandingkan beberapa jam lalu. Angin malam berembus perlahan, membawa sisa aroma melati dari pelaminan yang sejak pagi menjadi pusat perhatian setiap mata.
Namun di balik semua keheningan itu, sebuah pintu kamar di lantai dua tetap menyimpan riuhnya pergolakan batin seorang perempuan yang baru saja melewati hari paling rumit dalam hidupnya.
Reina duduk di tepi ranjang besar berseprai putih itu, menggenggam ujung gaun tidurnya erat-erat. Seluruh tubuhnya terasa ringan sekaligus berat. Ranjang yang dipenuhi kelopak mawar merah membuat dadanya tak henti berdebar, terlebih ketika pikirannya berkelana pada satu pertanyaan yang terus menyiksa hatinya:
Apakah Aditya akan datang ke kamar ini?
Ia melihat kembali ke meja rias tempat buket bunga mawar putih itu terletak, seakan memanggilnya untuk dilihat sekali lagi. Buket bunga itu terlihat indah—terlalu indah untuk seorang pengantin yang tidak sepenuhnya dianggap oleh keluarga ini.
“Seandainya aku tahu apa yang harus aku lakukan,” gumam Reina pelan sembari menundukkan kepalanya.
Suaminya, lelaki yang ia cintai dengan sederhana dan tanpa banyak harapan, kini telah menjadi milik dua perempuan di hari yang sama. Dan kenyataan itu seperti bayangan besar yang menempel di dinding kamar ini.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/