Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Dampingi Dia
Acara fashion di Paris malam itu begitu meriah. Lampu-lampu kristal dari atas panggung menyorot gemerlap, memantul dari kain sutra dan payet yang berkilauan di bawah sorotan lampu. Model-model berjalan anggun, menampilkan rancangan Anna yang menghanyutkan, memadukan warna-warna pastel dengan garis-garis yang begitu elegan.
Namun, dibalik gemerlap pesta dan tepuk tangan penonton yang membahana, suasana hati dua orang di sana justru jauh dari ceria. Juna dan Anna, yang sama-sama ikut dalam rombongan perusahaan tempat mereka bekerja, duduk berjauhan dari kerumunan, masing-masing tenggelam dalam pikiran.
Anna duduk di pojok ruangan, memegangi tangannya sendiri dengan kegelisahan yang sulit ia sembunyikan. Matanya sesekali melirik ke arah Juna yang terlihat murung, duduk di sofa seberang dengan kepala tertunduk. Rambut hitamnya kusut, wajahnya tampak lelah, jauh sekali dari semangat yang biasanya ia perlihatkan saat hadir di acara-acara penting seperti ini.
“Sebenarnya Juna mikirin apa?” Anna bertanya dalam hati, menegakkan punggungnya berusaha menampakkan sikap percaya diri. Namun hatinya tidak tenang.
“Anna,” suara lembut Juna tiba-tiba memecah keheningan saat mereka berkumpul bersama rombongan untuk kembali ke hotel, “sepertinya aku perlu berbicara sesuatu denganmu.”
Anna menatap Juna, dengan harapan dia segera mengeluarkan apa yang dipendam selama beberapa hari ini.
Di lobby hotel yang elegan, rombongan telah pergi ke kamar masing-masing. Anna dan Juna berjalan pelan menuju kamar yang satu, mereka harus berbagi karena keterbatasan kamar.
Begitu pintu kamar tertutup, suasana hening. Anna duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang menampilkan gemerlap kota Paris di malam hari. Juna duduk bersandar di sandaran tempat tidur, matanya terpaku pada ponsel, namun ekspresinya kosong.
“Apa Juna masih berharap sama Elsa, mantannya? Tapi Elsa juga sedang koma di rumah sakit Singapura karena kanker otak... Aku harus bagaimana?” batin Anna cemas.
Anna menarik napas panjang dan akhirnya memecah kesunyian.
“Juna, ada apa? Dari kemarin kamu murung terus, apa kamu kecewa dengan gaun rancanganku yang kita siapkan serba mendadak ini?”
Juna mengalihkan pandangan dari ponselnya, menatap Anna dengan mata penuh kesedihan.
“Tidak, Anna. Rancangan kamu bagus. Tapi sebenarnya aku mau jujur padamu, tapi aku takut kamu sakit hati.”
“Katakan saja, tidak apa-apa.”
“Aku masih kepikiran Elsa. Dia sedang berjuang di rumah sakit, dan aku merasa bersalah sudah membiarkan dia berjuang sendirian.”
Anna terhenyak. Ini bukan yang ia harapkan.“Bersalah?” Anna bertanya, menahan emosinya. “Juna, aku tahu Elsa pernah jadi bagian dari hidupmu. Tapi aku adalah masa depanmu sekarang. Kita bertunangan, kita bersama. Kamu harus bisa melewati ini.”
Juna menggeleng pelan. “Tapi bagaimana bisa aku memungkiri perasaanku? Saat aku tahu Elsa koma, aku merasa seperti kehilangan semua harapan.”
Anna bangkit, mendekati Juna, menggenggam tangan laki-laki itu.
“Dia yang pura-pura mati Juna.”
“Tapi dia melakukan itu demi aku bahagia, Anna,” sela Juna cepat.
Anna melepaskan genggamannya. Ia merasa asing dengan Juna, kemarin Juna begitu menggebu dan dengan tegas menolak kabar Elsa, tetapi sekarang ia tahu, Juna sedang membohongi perasaannya sendiri demi perasaannya.
“Anna... apa kamu benar-benar mau tetap di sisiku, meski aku belum benar-benar bisa melupakan Elsa?”
Anna tersenyum lembut.“Aku tahu perasaanmu saat ini. Pergilah, temani Elsa berjuang melawan sakitnya. Aku tahu, kamu juga tahu, harapan Elsa untuk sembuh sangat tipis. Setidaknya saat-saat terakhirnya kamu ada disampingnya dan kamu tidak akan pernah merasa bersalah lagi.” Anna menggenggam erat tangan Juna lagi.
Berat rasanya Anna mengucapkan kata-kata tersebut, tetapi ia juga tidak ingin melanjutkan hubungan dengan Juna jika Juna masih dibayangi masa lalu.
“Maafkan aku, aku janji. Setelah Elsa pulih atau terjadi sebaliknya. Kita–”
Anna menutup bibir Juna dengan telunjuk jarinya.“Ssstttt, tidak perlu janji apa-apa. Kita tunda dulu rencana pernikahan kita. Aku juga tidak akan mengganggu kamu saat kamu mendampingi Elsa. Kalau kita memang berjodoh pasti akan bersatu, begitu sebaliknya. Kita rahasiakan dulu masalah ini dari orang tua kita masing-masing.”
Juna memeluk Anna.“Terima kasih, sudah mengerti aku, Anna,” ucap Juna tidak tahu harus berbuat apa.
Hati Anna sakit tapi memilih untuk mengerti perasaan Juna. Walau saat ini tidak ada yang mengerti perasaannya.
“Pergilah, temani Elsa,” ucap Anna menahan air matanya.
Juna melepaskan pelukannya melihat Anna begitu lekat.“, Maafkan aku,dan terima kasih sudah memahamiku.”
Anna mengangguk pelan dan tersenyum menahan air matanya. Juna bergegas mengemasi barang-barangnya dan meninggal Anna di Paris.
Anna menangis saat Juna keluar dari kamar hotel. Ia juga bingung harus berbuat apa. Juga tidak tega melihat Juna terus murung.
Anna juga bingung kenapa ia bisa menangis, ia tidak pernah seperti saat ini, menangis karena laki-laki.
“Kok aku nangis sih, kok tadi aku bisa ngomong kayak tadi, membiarkan Juna dampingi Elsa. Mulus banget ucapanku tadi. Ada apa denganku, aku biasanya gak mau ngalah, ” gumam Anna sambil mengusap air matanya.
“Ah sudahlah. Tapi kenapa air mataku gak bisa berhenti.” Tangisan Anna bertambah deras, ia meringkuk sendirian di atas tempat tidur.
Pagi harinya, Anna masih tidur. Tanpa tahu di kamarnya sudah ada Aldo dan Tiara serta dua staf kantornya, sedangkan sepuluh model yang ia bawa dari Indonesia sudah pulang kembali ke tanah air.
“Pak Aldo, Anna tidurnya lama sekali. Kita berlima sampai ketinggalan pesawat,” bisik Tiara pada asisten Juna.
Aldo menghela napas panjang.“Mau bagaimana lagi, kita nurut saja sama bos Juna. Anna tidak boleh dibangunkan kalau lagi tidur, biar bangun sendiri, kalau nanti dibangunin, bisa marah-marah tujuh turunan.”
Tiara pasrah lalu tanpa sadar ia bersandar di bahu Aldo. Aldo hanya tersenyum tipis membiarkan Tiara bersandar.
“Aku yakin , Anna pasti menangis. Juna, Juna. Kamu gak sadar sih sudah sakiti Anna,” batin Aldo sekilas melihat Anna masih meringkuk.
Tak lama terdengar Anna bergerak, menggeliat diatas tempat tidur. Perlahan ia membuka mata sambil meraih ponselnya yang tidak jauh dari sisinya.
“Hah! Jam satu? Aduh gawat, ketinggalan pesawat,” cicit Anna panik sambil bangkit dari tidurnya.
“Memang sudah telat dua jam, Anna,” balas Tiara kesal.
“Hah? Kamu? Kalian?” Anna melihat satu persatu rekan kerjanya.
“Sudah, kamu sudah bangun. Cepat mandi, kami tunggu di lobby. Tiara kamu bantu Anna beberes,” sela Aldo sambil berdiri dari duduknya dan mengajak staf untuk menunggu di lobby hotel.
Anna masih terpaku, mengumpulkan nyawanya. Tiara berdiri menghampirinya sambil melambaikan tangan didepan wajah Anna.
“Na, kamu gak apa-apa ditinggal pak Juna duluan?”
“Tidak apa-apa. Dia ada urusan. Sudahlah, aku mau mandi dulu ya. Tolong bantu aku beresin koper aku.”
“Iya, tapi cepetan ya.”
“Hem.”