Hans dan Lily telah menikah selama 2 tahun. Mereka tinggal bersama ibu Meti dan Mawar. Ibu Meti adalah ibu dari Hans, dan Mawar adalah adik perempuan Hans yang cantik dan pintar. Mawar dan ibunya menumpang di rumah Lily yang besar, Lily adalah wanita mandiri, kaya, cerdas, pebisnis yang handal. Sedangkan Mawar mendapat beasiswa, dan kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota Bandung, jurusan kedokteran. Mawar mempunyai sahabat sejak SMP yang bernama Dewi, mereka sama-sama kuliah di bagian kedokteran. Dewi anak orang terpandang dan kaya. Namun Dewi tidak sepandai Mawar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ANGGUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 Sakitnya Lily
Pagi itu, Rosa mengunjungi rumah Lily. Sahabat Lily itu sedang libur di hari itu, bi Sita menyambut Rosa dan menyuruhnya duduk untuk menunggu Lily keluar dari dalam kamarnya. Beberapa menit berlalu, Lily belum juga keluar dari dalam kamarnya, Rosa menemui bi Sita untuk membangunkan Lily di dalam kamarnya. Jam telah menunjukkan pukul 9 pagi, Lily belum keluar dari dalam kamarnya. Bi Sita heran karena pintu kamar Lily masih terkunci rapat, biasanya pukul 8 Lily sudah berada di ruang makan untuk sarapan.
Rosa: "Tolong ketuk pintu kamarnya, bi." pintanya dengan cemas. Bi Sita mengetuk beberapa kali, dan memanggil nyonyanya itu, namun tetap tidak ada jawaban dari dalam. Bi Sita dan Rosa mulai gelisah, bi Sita memanggil pak Anto untuk mendobrak pintu kamar Lily. Pak Anto yang ikut cemas dan gelisah terpaksa mendobrak pintu kamar Lily dengan keras. Setelah pak Anto berhasil membuka pintu kamar Lily, alangkah terkejutnya Rosa dan bi Sita serta pak Anto melihat Lily yang terbaring di lantai dengan kepala yang sudah memar.
Rosa: "Ya Allah, Lily." teriaknya dengan terkejut.
Bi Sita: "Ya Allah, nyonya." teriaknya dengan cemas. Rosa, bi Sita dan pak Anto segera mendekat ke arah Lily. Mereka bertiga mengangkat tubuh Lily ke atas ranjang. Wajah Lily pucat, kepalanya memar dan terluka. Tanpa menunda waktu, Rosa menelpon ambulance.
Rosa: "Sadarlah, Li." teriaknya dengan cemas. "Apa yang terjadi denganmu, Li?" tanyanya sambil memeluk tubuh Lily.
Pak Anto: "Ambilkan air hangat, bi. Bersihkan luka nyonya." pintanya dengan cemas. Bi Sita segera keluar dari kamar Lily, bi Sita melangkah dengan terburu-buru ke dapur untuk mengambil baskom kecil dan mengisinya dengan air hangat, lalu mengambil handuk kecil. Bi Sita kembali masuk ke dalam kamar Lily sambil membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil. Bi Sita mulai membersihkan luka memar di kepala Lily dengan hati-hati, namun Lily belum juga sadar. Beberapa menit kemudian terdengar bunyi mobil ambulance memasuki halaman rumah Lily.
Rosa: "Mobil ambulancenya sudah datang." ucapnya dengan suara agak keras. Bi Sita dan pak Anto segera keluar dari kamar Lily, mereka memberitahu kepada petugas letak kamar Lily. Beberapa petugas ambulance mengikuti arahan bi Sita dan pak Anto. Petugas itu masuk ke dalam kamar Lily, lalu mengangkat tubuh Lily dengan memakai alat bantu untuk masuk ke dalam mobil.
Rosa: "Bi Sita, pak Anto. Kalian jaga rumah, ya. Aku akan temani Lily." ucapnya dengan cemas.
Bi Sita: "Iya, non." sahutnya. Rosa masuk ke dalam mobil ambulance dan menjaga Lily. Di dalam mobil itu, Rosa menelpon Toni untuk memberitahukan tentang kondisi sahabatnya itu. Toni terkejut dan cemas dengan keadaan Lily. 25 menit kemudian mobil ambulance tiba di depan rumah sakit. Rumah sakit itu tempat praktek Rosa, dengan cekatan petugas ambulance mengangkat tubuh Lily keluar dari dalam mobil itu, dan langsung membawa tubuh Lily ke dalam ruang IGD. Dokter dan beberapa perawat segera menangani Lily, dan Rosa ikut masuk ke dalam ruang IGD untuk memastikan kondisi Lily.
Rosa: "Bagaimana keadaan teman saya, dokter?" tanyanya dengan cemas.
Dokter: "Sepertinya teman dokter Rosa terjatuh. Kepalanya memar dan agak bengkak." ucapnya. Dokter itu mengenali Rosa karena sama-sama praktek di rumah sakit itu.
Rosa: "Apakah kepalanya tidak apa-apa, dok?" tanyanya lagi.
Dokter: "Aku harus memeriksanya lebih detail. Kepalanya perlu CT Scan." sahutnya dengan penuh keyakinan. "Takutnya terjadi pendarahan pada otak." ucapnya lagi.
Rosa: "Ya Allah, Lily." ucapnya dengan sedih. "Lakukan saja, dokter." pintanya. "Aku akan menanggung semua biayanya." ucapnya dengan penuh keyakinan.
Dokter: "Baik, dokter Rosa." sahutnya. Akhirnya Lily di pindahkan ke ruangan khusus, dokter itu mulai melakukan tugasnya dengan baik. Rosa menunggu di ruang tunggu, dari kejauhan Rosa melihat Toni berlari kecil menuju ke arahnya.
Toni: "Bagaimana keadaan Lily?" tanyanya dengan cemas. Rosa mengatakan semua yang dikatakan dokter padanya tentang kondisi Lily.
Rosa: "Tunggu saja hasil pemeriksaan dokter, Ton." sahutnya dengan sedih.
Toni: "Mengapa Lily bisa terjatuh, ya." tanyanya dengan heran. "Apakah kamu sudah menelpon suaminya, Sa?" tanyanya lagi sambil menatap ke arah Rosa. Selama berbulan-bulan Lily maupun Rosa tidak mengatakan kepada Toni tentang perpisahan Lily dan Hans.
Rosa: "Belum, Ton." sahutnya dengan pelan.
Toni: "Mengapa, Sa?" tanyanya heran. "Suaminya berhak tahu semuanya." ucapnya. Rosa terdiam dan berpikir mungkin sudah saatnya untuk Toni tahu tentang perpisahan Lily dan Hans.
Rosa: "Mereka sudah bercerai, Ton. 5 bulan yang lalu." sahutnya dengan pelan. Toni menatap Rosa, dia tertegun dan tak percaya.
Toni: "Jangan ngawur, Sa." ucapnya dengan rasa tidak percaya.
Rosa: "Hans menghianati Lily. Dia berselingkuh dengan teman adiknya sendiri. Nama wanita itu adalah Dewi." ucapnya dengan jelas. Toni terdiam, dia mencoba memahami perkataan Rosa.
Toni: "Lily tidak pernah cerita padaku." ucapnya dengan heran.
Rosa: "Untuk apa dia cerita padamu? Apakah kamu bisa membantunya, Ton?" tanyanya. "Lily hanya bercerita pada teman dekatnya saja, yaitu aku." ucapnya lagi dengan rasa bangga.
Toni: "Aku juga temannya." sahutnya. Perasaan iba timbul dalam hati Toni, selama ini Toni selalu melihat Lily adalah wanita yang ceria, tegar, murah senyum dan bersemangat. Toni tidak menyangka di balik keceriaannya, Lily menyimpan luka yang mendalam. Dokter yang memeriksa kepala Lily menghampiri Rosa dan Toni.
Dokter: "Lily sudah sadar. Dia telah di pindahkan ke ruangan 203." ucapnya. "Lily harus dirawat beberapa hari di sini, dokter Rosa." ucapnya lagi.
Rosa: "Apa hasilnya, dokter?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Dokter: "Untung saja kepalanya tidak apa-apa. Tidak ada luka dalam." ucapnya. "Lily menderita penyakit lain." ucapnya lagi.
Rosa: "Penyakit apa itu, dokter?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.
Dokter: "Asam lambung yang sudah cukup lama. Lily terjatuh karena dia merasa pusing." ucapnya.
Rosa: "Apakah asam lambungnya parah, dokter?" tanyanya lagi dengan rasa penasaran.
Dokter: "Tidak juga. Asam lambungnya naik karena pikiran. Pikiran Lily harus tenang dan tidak boleh stres." ucapnya. Rosa menghela nafas pendek, lalu menatap ke arah dokter.
Rosa: "Terima kasih, dokter." ucapnya. "Apakah kami bisa menjenguknya?" tanyanya.
Dokter: "Iya, silahkan." sahutnya sambil tersenyum tipis. Dokter itu berlalu dari hadapan Rosa dan Toni.
Toni: "Ayo, kita melihat Lily." ajaknya dengan buru-buru. Rosa dan Toni melangkah dengan cepat mencari kamar 203. Di depan kamar itu Rosa dan Toni berhenti sejenak, Toni membuka pintu kamar itu dengan pelan, lalu masuk bersama Rosa. Mereka berjalan pelan menghampiri Lily yang sedang terbaring.

***