NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 / THTM

Langit sore berubah kelabu ketika Nayara berjalan pulang.

Langkahnya cepat, tapi hati dan pikirannya berantakan.

Setiap bunyi klakson, setiap langkah di belakangnya, membuatnya menoleh dengan gugup.

Ia tahu itu tidak logis — mungkin hanya perasaan paranoid semata — tapi setelah membaca catatan itu, setiap suara terasa seperti tanda bahaya.

Begitu tiba di rumah, ia langsung menutup pintu dan mengunci gembok dua kali.

Punggungnya bersandar pada kayu pintu yang dingin, matanya terpejam rapat.

Hembusan napasnya berat, bercampur dengan getaran halus di ujung jarinya.

Di dalam sakunya, secarik kertas lecek itu masih ada.

Kata-kata Alaric terngiang-ngiang di kepala.

...“Kau masih sama. Tetap cantik ketika ketakutan.”...

Ia ingin membuangnya, membakarnya, melupakan semuanya.

Tapi saat jemarinya hendak melemparkannya ke tempat sampah, entah kenapa tubuhnya berhenti sendiri.

Ada sesuatu yang aneh.

Antara marah, takut, dan rasa bersalah yang samar.

“Kenapa aku nggak bisa berhenti mikirin dia…” gumamnya pelan.

Ia menunduk, menatap kertas itu sekali lagi, seolah menantang dirinya sendiri untuk tidak goyah — tapi justru semakin ia menatap, semakin dalam rasa sesak itu tumbuh.

Ia mencoba menenangkan diri dengan belajar, membuka buku pelajaran yang bahkan tidak bisa dibacanya dengan fokus.

Huruf-huruf di halaman hanya berputar, berbaur dengan bayangan wajah dingin Alaric di dalam pikirannya.

Ia bisa membayangkan tatapan pria itu saat di toko fotokopi tadi — datar, tenang, tapi di balik itu ada sesuatu yang tidak bisa ia definisikan.

Apakah itu amarah? Rasa ingin memiliki? Atau hanya sekadar permainan?

Nayara memukul pipinya pelan, mencoba sadar.

“Udah, Nayara. Stop mikirin itu. Fokus aja ke sekolah.”

Namun bahkan ketika malam datang dan lampu kamar dipadamkan, pikirannya tetap tidak tenang.

Setiap kali ia memejamkan mata, suaranya terngiang — nada rendah, teratur, dan terlalu akrab.

Dan, entah bagaimana, di balik rasa takutnya, ada sesuatu yang lebih menakutkan lagi: kerinduan samar yang tidak mau diakui.

Ia menarik selimut, membenamkan wajah di bantal, tapi hatinya masih berdebar cepat.

Bibirnya bergetar ketika berbisik lirih, nyaris tanpa sadar,

“Kenapa harus dia… kenapa harus dia yang aku ingat…”

Di luar jendela, hujan mulai turun pelan.

Rintik-rintiknya memantul di kaca, menambah suasana yang makin muram.

Dan di tengah dingin malam itu, Nayara tahu — ketenangan yang sempat ia miliki sudah benar-benar berakhir.

Karena satu catatan kecil itu saja, cukup untuk membawa kembali semua bayangan yang ia coba lupakan.

...----------------...

Pagi datang terlalu cepat.

Nayara belum benar-benar tidur ketika alarm ponselnya berbunyi.

Matanya sembab, tubuhnya lelah, tapi ia tetap memaksa bangun.

Ia tidak mau membuat ibunya curiga hanya karena wajahnya yang tampak tidak segar.

Ia mengenakan seragamnya dengan terburu-buru.

Namun entah kenapa, setiap kali membuka pintu, ada perasaan aneh di dadanya — seperti ada yang mengintip dari kejauhan.

Ia menepisnya. “Jangan paranoid, Nay. Udah, jangan mikir aneh-aneh,” katanya pada diri sendiri sambil tersenyum kaku di depan kaca.

Jalan menuju sekolah biasanya terasa ramai dan biasa saja, tapi hari itu berbeda.

Beberapa kali ia merasa seperti sedang diikuti.

Saat menoleh, tak ada siapa-siapa — hanya bayangan pepohonan dan suara sepeda motor lewat.

Namun detak jantungnya tetap cepat, membuatnya harus berhenti di depan warung kecil untuk menenangkan diri.

Saat itulah ponselnya bergetar.

Satu pesan masuk.

Nomor tak dikenal.

Tidurmu nyenyak?

Jantung Nayara seolah berhenti.

Ia menatap layar ponselnya, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya salah kirim, atau lelucon teman sekelas.

Tapi kemudian notifikasi berikutnya muncul.

“Kau masih sama seperti dulu. Penuh kepanikan setiap kali aku mendekat.”

Jemarinya bergetar. Ia langsung mematikan ponsel itu dan menyimpannya ke dalam tas, berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang.

Kepalanya penuh suara — bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri.

Kenangan yang selama ini ia tekan mulai menyeruak satu per satu.

Sepulang sekolah, ia memutuskan tidak langsung ke tempat fotokopi tempatnya bekerja.

Ia ingin pulang lebih cepat, menenangkan diri. Tapi baru beberapa langkah keluar dari gerbang, ia melihat mobil hitam terparkir di seberang jalan.

Mobil itu tidak asing.

Mobil yang dulu sering berhenti di depan rumah besar keluarga Elara.

Tangannya langsung menggenggam tas dengan kuat.

Ia menunduk, mencoba berjalan tanpa menarik perhatian.

Namun saat melewati sisi jalan, kaca mobil itu perlahan turun.

Dan dari baliknya, terlihat sosok pria yang selama ini ingin ia lupakan — duduk dengan wajah tenang, tanpa senyum, tanpa sapaan, tapi dengan tatapan yang cukup untuk membuat lutut Nayara melemah.

Ia hampir berlari.

Tapi saat langkahnya menjauh, ponselnya kembali bergetar.

“Aku cuma lewat. Tapi kau selalu menarik perhatianku, Nayara.”

Pesan itu menjadi akhir dari seluruh usahanya untuk berpura-pura tenang.

...----------------...

Keesokan harinya suara mesin fotokopi berdengung monoton, memenuhi ruangan kecil yang sedikit pengap itu.

Aroma tinta bercampur kertas baru seharusnya menenangkan, tapi bagi Nayara, hari ini semuanya terasa sesak.

Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, menata lembaran dokumen dan melayani pelanggan yang datang silih berganti.

Namun, jantungnya masih belum tenang sejak pagi.

Pesan itu — dua kalimat singkat yang tak seharusnya membuatnya segelisah ini — masih menari di benaknya.

Ia bahkan sempat mengganti nomor teleponnya beberapa jam lalu, berharap ketakutannya ikut terhapus bersama daftar kontak lama.

Bel pintu berbunyi.

Seseorang masuk.

Langkah sepatu kulit terdengar jelas di lantai keramik, kontras dengan suara pelanggan lain yang datang tergesa.

Nayara yang tengah menunduk menghitung kembalian spontan mendongak.

Dan tubuhnya seolah membeku.

Alaric.

Pria itu berdiri di depan konter, dengan setelan kasual tapi tetap terlihat mahal.

Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap — datar, seperti pelanggan biasa.

Tak ada senyum, tak ada tatapan menggoda seperti sebelumnya.

Seolah-olah mereka hanyalah dua orang asing yang kebetulan bertemu di tempat umum.

“Selamat sore,” suara Nayara bergetar.

Ia mencoba bertindak profesional, seolah tak ada beban dalam dadanya.

“Perlu fotokopi, Pak?”

Alaric menatapnya sebentar, lalu menggeser satu berkas ke arah konter.

“Lima rangkap,” jawabnya datar.

Nada suaranya rendah, teratur, tapi setiap kata terasa menembus pertahanan Nayara seperti peluru halus yang tak terlihat.

Ia mengangguk cepat dan menyalakan mesin.

Kedua tangannya sibuk, tapi pikirannya kacau.

Apa pria ini sengaja datang?

Atau hanya kebetulan?

Namun, semua rasa ragu itu hancur begitu ia mendengar kalimat berikutnya.

“Aku tidak menyangka kamu bekerja di tempat seperti ini,” ucap Alaric perlahan.

Nada bicaranya masih sopan, tapi ada sesuatu di balik kata-kata itu — seolah ejekan halus yang membuat jantung Nayara terhimpit.

“Aku... hanya bantu-bantu, Kak,” jawab Nayara dengan senyum kecil, berusaha tenang.

Alaric mengangguk pelan, menatap hasil fotokopi yang keluar dari mesin satu per satu.

“Rajin sekali,” katanya ringan.

“Tapi... berhati-hatilah. Kadang orang yang terlalu rajin justru lupa menjaga dirinya.”

Nayara berhenti sejenak.

Tangannya hampir menjatuhkan kertas terakhir.

Ia menelan ludah, menatap meja tanpa berani mengangkat wajah.

“Ma—maksudnya, Kak?”

Alaric tersenyum kecil. Bukan senyum hangat, melainkan senyum yang lebih seperti peringatan.

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, jarak mereka hanya dipisahkan oleh konter kayu tipis itu.

“Maksudku, dunia ini kecil, Nayara.

Kau tak pernah tahu... siapa yang memperhatikanmu dari kejauhan.”

Detik itu, Nayara merasa darahnya berhenti mengalir.

Ia memaksakan diri tersenyum, menyerahkan hasil fotokopi itu dengan tangan gemetar.

“Ini... lima rangkapnya, Kak.”

Alaric menerima kertas itu dengan santai, seolah tidak ada yang salah.

Matanya menatap Nayara sekali lagi — kali ini tidak tajam, tapi juga tidak lembut.

Hanya tenang, seperti seseorang yang sudah tahu hasil permainan bahkan sebelum dimulai.

“Terima kasih.”

Ia membayar tanpa menunggu kembalian, lalu melangkah keluar.

Bel pintu berbunyi lagi.

Dan kali ini, Nayara baru sadar napasnya tercekat sejak tadi.

Begitu Alaric benar-benar pergi, ia terjatuh di kursinya, menatap pintu yang baru saja tertutup rapat.

Ia tidak tahu mana yang lebih menakutkan — saat pria itu mendekat dengan tatapan mengancam, atau saat ia pergi begitu tenang seolah sudah mengatur semuanya dari jauh.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!