Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengkhianatan Sang Teknisi
Raisa memegang lengan Alex erat-erat. Jantungnya berdebar, bukan karena rasa romantis yang biasa muncul setiap kali mereka berdekatan, melainkan karena adrenalin dan ketakutan yang mencekik.
Jakarta, di malam hari, adalah labirin yang menelan mereka. Mereka menyelinap di balik truk delivery dan tumpukan kardus, bergerak menuju Indo Tech Energy Tower—markas megah tempat mereka dulu bekerja, yang kini terasa asing dan berbahaya.
"Oke, Ra. Server room di lantai tiga puluh empat. Kunci akses lama lo masih berlaku?" bisik Alex, suaranya tegang namun fokus. Ia mengenakan jaket kulit yang menutupi t-shirt pahlawan supernya.
Raisa mengangguk, mengusap keringat di pelipisnya. "Masih. Aku sekretaris Pak Rohim; kodeku dulu Class-A. Tapi aku yakin Jenderal Wirayudha sudah mem-patch semua security lama."
"Nggak masalah. Firewall itu urusan gue," balas Alex, menyeringai tipis, mencoba meredakan ketegangan. Ia menyentuh earphone kecil di telinganya. "Intinya, lo ambil hard disk-nya. Gue yang urus digital security-nya."
Mereka berhasil melewati lobi yang sepi, menggunakan kartu akses Raisa yang ajaibnya masih berfungsi. Mereka menuju lift, dan di situlah ketegangan memuncak.
Di lantai tiga puluh empat, koridor terasa gelap dan pengap. Mereka tiba di Server Room utama. Bau ozon dan panas dari komputer yang bekerja keras menyambut mereka.
Alex segera menyambungkan laptop mungilnya. Jari-jarinya menari cepat di keyboard. Kode-kode berlapis Dharma Wijaya yang super-enkripsi perlahan-lahan runtuh di hadapan keahlian Alex.
"Gila, Ra," gumam Alex, kagum. "Bos Dharma benar-benar paranoid. Enkripsinya hampir setingkat dengan The Vault!"
Raisa mengabaikan pujian Alex. Dia fokus pada brankas dinding tersembunyi. Dengan cepat, ia memasukkan kode lama, dan brankas itu terbuka dengan desisan pelan. Di dalamnya, tersembunyi hard disk perak yang berkilauan. Blueprint Project Tesla Nova, warisan yang mereka kejar.
"Dapat!" bisik Raisa, meraih hard disk itu, matanya dipenuhi kemenangan.
"Bagus! Sekarang download data logistik untuk kiriman bahan Dharma. Kita keluar dari sini. Hitungan mundur dimulai!" seru Alex, memasukkan hard drive cadangan Rohim ke port server.
Tepat saat progress bar hampir mencapai seratus persen, lampu darurat merah tiba-tiba menyala. Alarm senyap yang tersembunyi meraung.
"Sial! Kita ketahuan!" teriak Alex, menarik laptopnya.
Di pintu, Jenderal Wirayudha berdiri tegak, dikelilingi oleh delapan agen berseragam militer yang kini memegang senjata bius berteknologi tinggi.
"Alex dan Raisa. Kerja bagus. Dharma Wijaya terlalu naif," suara Jenderal Wirayudha dingin. "Serahkan hard disk-nya, atau kalian berdua akan tidur sangat lama."
Raisa mencengkeram hard disk di balik jaketnya. Kakinya gemetar.
"Dengar, Jenderal," kata Alex, berdiri di depan Raisa, tangannya terangkat. "Ini bukan tentang uang. Ini tentang visi. Jangan jadi pion Miss Armstrong!"
"Visi tidak menyelamatkan dunia, insinyur cilik," balas Jenderal Wirayudha, memberi isyarat kepada anak buahnya. "Tangkap mereka! Pastikan hard disk itu aman!"
Dua agen bergerak cepat, mengincar Raisa.
Alex bertindak tanpa berpikir.
Dia mengeluarkan sebuah bom asap kecil dari sakunya—bukan buatan Rohim, melainkan gadget canggih yang sangat profesional—dan melemparnya ke lantai. Asap tebal memenuhi ruangan dalam sedetik.
"Lari, Ra! Lorong kanan! Jangan pernah berhenti!" teriak Alex.
Raisa tidak mau meninggalkan Alex, tapi ia tahu hard disk itu lebih penting. "Alex!"
"CEPAT!" Alex mendorong Raisa menjauh, lalu berbalik menghadapi asap. Dia mengaktifkan mode strobe di jam tangannya, membutakan dua agen yang mendekat.
Tembakan bius melesat. Satu tembakan mengenai bahu Alex. Tubuhnya tersentak. Ia ambruk, tapi ia berhasil memberikan waktu bagi Raisa untuk menghilang di balik lorong koridor.
Jenderal Wirayudha menyeringai saat Alex tak sadarkan diri. "Amankan dia! Pastikan dia hidup! Dan cari wanita itu! Jangan biarkan blueprint itu lolos!"
The Closer Cipher
Alex diseret ke dalam van tahanan militer yang melaju kencang di jalanan Jakarta yang sepi. Raisa sudah berhasil lolos membawa data. Misi Dharma berhasil, tapi dengan bayaran: Alex tertangkap.
Kepalanya terasa berdenyut, efek dari obat bius. Tangan dan kakinya diikat kuat. Di depannya, duduk seorang agen militer yang mengawasi.
Alex memejamkan mata. Tepat saat van itu melewati terowongan yang minim sinyal, Alex mengaktifkan sesuatu.
Tangan kirinya, yang terikat di belakang punggung, bergerak sedikit. Di pergelangan tangan Alex, tersembunyi sebuah implannya yang sangat kecil—bukan jam tangan, melainkan perangkat komunikasi terenkripsi yang tidak akan terdeteksi scanner standar militer.
Alex adalah seorang hacker, dan security analyst. Tapi, dia bukan hanya itu.
Jari Alex menekan serangkaian kode Morse sangat cepat ke implan itu. Matanya kini terbuka, tidak ada lagi humor, hanya fokus yang dingin dan profesional. Itu adalah kode komunikasi rahasia The Vault.
Pesan burst terenkripsi melesat di antara sinyal-sinyal kacau Jakarta: "Heliogar. Visi. Closer."
Di Vanguard Tower, markas pusat The Vault, tengah malam. Bella Septiani, sang Manajemen Keuangan, sedang mengawasi sistem keamanan PT Harapan Jaya, memastikan tidak ada yang melacak pencurian material mereka yang lalu.
Tiba-tiba, sebuah alert khusus berbunyi di konsolnya. Hanya ada satu sumber yang bisa mengirimkan alert ini.
Bella yang dingin, yang jarang menunjukkan emosi, seketika menegang. Ia melihat origin pesan itu: Agen yang sedang tidak bertugas.
Dia segera membuka enkripsinya. Tiga kata: "Heliogar. Visi. Closer."
Bella menghela napas panjang. Alex. Dia tahu Alex menyusup, bukan untuk liburan. Dia telah menantang perintah The Vault untuk tidak terlibat, tapi sekarang dia memberikan konfirmasi intelijen yang vital.
"Rohim Wiratama memiliki visi yang sama dengan Taqi Dirgantara (The Closer)."
Ini mengubah segalanya. Rohim bukan lagi ancaman yang harus diawasi; dia adalah potensi sekutu yang kini berada dalam bahaya besar dari Miss Armstrong.
Bella segera mengaktifkan komunikasi prioritas tertinggi.
"Tia Paramitha, Closer Amo. Aktifkan Command Center! Panggil Agent Liana kembali dari misi di Kalimantan. Kita punya target baru."
Di layar, muncul wajah Tia Paramitha, sang Jurnalis Organisasi The Vault, dengan ekspresi terkejut. "Bella? Ada apa? Alex? Kenapa dia mengirim kode Black-Swan?"
"Alex tertangkap di Indo Tech Energy saat mengambil warisan Rohim. Intelijennya mengonfirmasi: Rohim itu bukan ancaman, Tia. Dia adalah duplikat filosofi The Closer. Sementara kita sibuk memantau Rohim, Miss Armstrong mencuri genetika anaknya dan sekarang memburu CEO Dharma Wijaya dan blueprint teknologi."
Tia Paramitha, yang tahu betul betapa pentingnya filosofi The Closer, langsung mengerti. "Miss Armstrong adalah ancaman nyata, Bella. Bukan Rohim."
"Tepat," balas Bella, matanya kini memancarkan api. "Tugas kita bergeser. Kita harus melindungi Rohim, dan kita harus mengambil kembali Alex."
Bella mengalihkan panggilan ke Agent Liana, sang Shadow Messenger, yang baru mendarat di Jakarta. Liana muncul di layar, mengenakan jaket Vanguard.
"Liana, lupakan misi pencurian material di Batara Raya," perintah Bella dengan suara tajam. "Kami memiliki prioritas baru. Gunakan semua jaringan Vanguard yang ada. Target kita sekarang adalah Miss Armstrong, ISTC, dan Jenderal Wirayudha. Mereka mengancam Indo Tech Energy dan visi The Closer."
"Tugas sudah jelas, Bella," balas Agent Liana, ekspresinya tegas. "Penangkapan. Atau Penghilangan?"
Bella memejamkan mata, memikirkan konsekuensinya. "Lakukan yang terbaik. Tapi bawa dia kembali ke Amerika. The Vault kini menyatakan Miss Armstrong sebagai Ancaman Level Alpha. Kita akan mulai perburuan sekarang juga."
Sementara van yang membawa Alex melaju menuju markas militer yang kini dikendalikan Miss Armstrong, di ruang komando The Vault, Bella Septiani menyaksikan peta global menyala. Agen Liana dan Tia Paramitha mulai mengerahkan jaringan super-vigilante mereka ke Jakarta.
Di saat yang sama, Raisa berhasil sampai di Muria Kencana, membawa hard disk berisi blueprint Transmisi Nirkabel, tetapi hatinya hancur. Ia tidak tahu apakah Alex adalah pahlawan yang mengorbankan diri, atau mata-mata yang telah mengkhianatinya. Yang jelas, kini dua kekuatan super—CIA/Militer dan The Vault—berada di Jakarta, siap bentrok memperebutkan satu wanita: Miss Armstrong.
Bersambung....