Cerita ini sepenuhnya adalah fiksi ilmiah berdasarkan serial anime dan game Azur Lane dengan sedikit taburan sejarah sesuai yang kita semua ketahui.
Semua yang terkandung didalam cerita ini sepenuhnya hasil karya imajinasi saya pribadi. Jadi, selamat menikmati dunia imajinasi saya😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tirpitz von Eugene, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Sore harinya Tirpitz, Farel, dan Takumi sedang berada di atas geladak salah satu kapal penjelajah ringan kelas Dido. Mereka sedang melepas rasa penat karna seharian itu berkeliling ke setiap kapal untuk memeriksa kondisi semua kapal yang datang. Memang benar kalau semua kapal-kapal ini adalah kapal baru yang diluncurkan bulan lalu, hanya saja pemeriksaan tetap diperlukan karna mereka baru saja melakukan perjalanan jarak jauh.
"Gadis-gadis yang merepotkan!" ucap Farel bersungut-sungut.
Tawa Takumi meledak ketika melihat Farel yang mulai emosi hanya karna kapal-kapal itu. Tirpitz tak menunjukkan ekspresi sama sekali, wajahnya datar dan sikapnya tenang bagaimana permukaan genangan air.
"Jika kapal bisa berbicara," ujar Tirpitz berkomentar, "mungkin mereka akan bilang 'orang kok unik!' sambil melempar mu dari atas geladak."
Mendengar ucapan Tirpitz, Farel hanya bisa membuang muka sambil memasang ekspresi cemberut. Tapi pandangannya tiba-tiba menangkap sebuah gerakan di antara awan. Ia segera memasang teropong binokular nya di depan mata untuk melihat sesuatu yang bergerak di antara awan itu.
Sebuah pesawat lawan terbang di antara awan dengan pola memutar. Gerakannya terlihat seperti sedang mengitari kompleks markas komando serta seluruh kapal yang ada disana, tampak jelas bahwa pesawat di atas sana sedang mengintai markas baru itu. Tapi Farel tidak memperdulikannya, ia justru berjalan pergi meninggalkan Tirpitz dan Takumi.
"Mau kemana, kak?" tanya Takumi heran.
"Bukan urusanmu!" jawab Farel dengan nada kesal.
Mendengar jawaban itu, Takumi hanya bisa melirik Tirpitz yang masih diam menatap kapal Madjapahit sambil menghisap rokok di bibirnya.
"Sebaiknya jangan kau susul," ujar Tirpitz tanpa memalingkan pandangannya, "terik nya matahari mungkin menbuat otaknya mendidih."
Tirpitz mulai beranjak dari tempatnya. Ia berjalan dengan santainya menuju tangga untuk turun ke dermaga tanpa memperdulikan Takumi yang masih dilanda kebingungan, tapi toh Takumi akhirnya menyusulnya juga.
Bisikan wanita misterius kembali terdengar di telinganya. Kali ini ia berbisik bahwa tepat malam ini setelah matahari terbenam sepenuhnya, pasang akan segera surut, dan langit akan bersih tanpa adanya awan ataupun bintang-bintang. Tirpitz tak begitu memikirkan bisikan itu. Entah kenapa pikirannya selalu tertuju pada kapal Madjapahit, seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
***
Malam harinya...
Takumi terlihat gelisah, ia terus saja berjalan mondar-mandir ke setiap ruangan mencari keberadaan Tirpitz yang entah kemana. Farel yang sedang asyik mendengarkan lagu 'Battotai' dari radio merasa sedikit terganggu dengan tindak tanduk wanita itu.
"Bisakah kau berhenti berjalan seperti setrikaan?" ujarnya melontarkan komentar yang lumayan pedas, "lebih baik kau pergi ke kamarmu dan tidur! Itu akan sangat membantu."
"Kau tak merasa khawatir meskipun sedikit saja?!" bentak gadis itu. Suaranya terdengar nyaring, sampai-sampai beberapa penjaga yang sedang berpatroli di luar terdiam di tempat mereka seperti seekor bebek di tengah hujan badai.
"Apa yang harus ku khawatirkan?! Dia adalah perwira, sudah pasti dia bisa menjaga dirinya tanpa perlu kau khawatirkan!" balas Farel sengit. Ia mulai bangkit lalu pergi ke kamarnya.
"Apa yang perlu kau khawatirkan? Dia paman mu! Dan dia..." Takumi hendak memprotes sikap Farel yang sama sekali tak menghormati pamannya itu, tetapi Farel memotong kalimatnya dengan suara tajam.
"Tutup mulut dan berhentilah bersikap sok peduli dengan keluargaku! Kau bukanlah siapa-siapa di mataku! Kau hanya orang asing yang datang menjajah dan menyengsarakan keluarga ku dan bangsa ku!"
Ucapan Farel kali ini sangatlah tajam menusuk hati Takumi, seolah-olah negara seumur jagung ini tidak pernah menganggap kemurahan hati dan kebaikan yang telah diberikan oleh bangsanya sendiri.
Takumi jatuh terduduk di atas lantai ubin tempat penginapan, tangisannya seketika pecah mengalir deras dari kedua matanya. Farel hanya tersenyum kecut di tempatnya. Ia tahu bahwa ucapannya barusan sangat menyinggung perasaan Takumi, tapi apa boleh buat? Kedelai sudah menjadi tempe.
***
Di sisi lain, Tirpitz sedang berada di atas dermaga ke-lima dari sembilan dermaga yang ada di pusat komando. Matanya kembali menatap tajam siluet kapal tempur Madjapahit di kejauhan, sedang di tangannya terdapat kubus kristal yang selama ini selalu ia bawa kemanapun ia pergi.
"Aku harus pergi ke sana," gumamnya kepada dirinya sendiri, "bagaimanapun caranya, aku harus pergi ke kapal itu."
Seolah dirinya sedang dirasuki oleh sesuatu, tanpa berpikir panjang ia langsung melompat terjun ke laut. Tapi sebuah keajaiban muncul saat ia mencapai permukaan laut. Ia terkejut melihat kedua kakinya tidak tenggelam ke dalam air laut, melainkan kedua kakinya seolah-olah sedang menapak di atas permukaan air.
Ia mencoba untuk melangkah, tapi secara mengejutkan suara wanita yang berbisik di telinganya melarangnya untuk bergerak seolah ia sedang berada di daratan.
"Apa maksudmu? Aku tak mengerti sama sekali."
"Bergeraklah seolah kau sedang meluncur di atas permukaan es, shikikan-sama."
Tirpitz terlihat kebingungan dengan saran barusan, tapi ia dengan perlahan mencoba gerakan yang dimaksud oleh bisikan wanita itu.
Kaki kanannya mulai ia dorong maju, disusul dengan kaki kirinya. Gerakannya semakin cepat seolah ia sedang benar-benar meluncur di atas lautan yang membeku. Riak air laut bergelombang di belakangnya seiring ia bergerak, tapi Tirpitz tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari kedua kakinya.
"Awas!"
Sejurus kemudian Tirpitz menengadahkan kepalanya, ia terkejut saat mengetahui bahwa jaraknya hanya tersisa beberapa meter dari dinding lambung kapal Madjapahit. Dengan cepat ia memiringkan arah kedua kakinya, persis seperti gerakan orang yang sedang mengerem saat meluncur di atas es.
Tapi hal itu sia-sia karena akhirnya ia menabrak lambung kapal dengan lumayan keras, sampai-sampai terdengar suara besi yang dipukul dengan palu. Tubuhnya segera kehilangan keseimbangan dan jatuh ke permukaan laut, tapi anehnya ia merasa seolah terjatuh di atas permukaan es.
"B-bagaimana ini bisa terjadi?" tanya nya kebingungan.
"Sejatinya, kami ini adalah sebuah kapal. Dan kapal tak akan tenggelam selain karna air yang membanjiri lambung kami atau kelebihan muatan."
Seolah semuanya sudah jelas, Tirpitz hanya menganggukkan kepalanya sambil berkata, "oh begitu."