NovelToon NovelToon
DiJadikan Budak Mafia Tampan

DiJadikan Budak Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Berbaikan / Cinta Terlarang / Roman-Angst Mafia
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: SelsaAulia

Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

"Ehem. Oke, lupakan yang tadi. Sekarang, dengarkan aku baik-baik,” Gio berkata, suaranya sedikit bergetar.

Ia menarik napas panjang, dada membusung sebelum kembali mengempis pelan. Milea menatapnya dengan intens, mata cokelat gelapnya tak melepaskan pandangan sedikit pun. Telinganya siap menangkap setiap kata yang akan keluar dari bibir Gio.

“Dulu… Alessandro dan Berlin, adikku… mereka… mereka saling mencintai. Beberapa tahun berlalu, tahun-tahun yang dipenuhi tawa, tangis, dan janji-janji manis yang kini terasa pahit di lidah. Lalu… Alessandro pergi. Hilang begitu saja. Tanpa pamit, tanpa penjelasan. Hanya menyisakan luka menganga di hati Berlin. Tak lama setelah kepergiannya, aku mendengar kabar—ia menjadi polisi. Seorang polisi… Ironis, bukan? Aku tak pernah mengerti alasannya. Selama mereka berpacaran, aku selalu bersembunyi di balik bayang-bayang. Alessandro tak pernah tahu aku adalah kakaknya Berlin. Sampai… sampai seminggu sebelum ia pergi. Aku memperkenalkan diri. Aku memperingatkannya, menegaskan agar ia tak main-main dengan adikku. Tapi… ia tetap pergi. Meninggalkan Berlin yang hancur, sampai-sampai… sampai ia mencoba mengakhiri hidupnya…”

Gio terdiam, suaranya tercekat di tenggorokan. Air mata mengancam untuk tumpah, berkumpul di pelupuk mata yang memerah.

Ia buru-buru mengalihkan pandangan, enggan menunjukkan kelemahannya di depan Milea.

“Cukup. Sampai di situ saja. Jangan tanya lagi tentang masa lalu,” Gio berkata, suaranya terdengar serak.

Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Milea yang masih terpaku di tempatnya, pikirannya dipenuhi oleh cerita pilu yang baru saja didengarnya.

Bayangan Alessandro, Kakak kandung nya, seorang polisi yang tega meninggalkan kekasihnya, Berlin, adik Gio yang terluka, berputar-putar di kepalanya.

Keheningan yang tertinggal terasa begitu berat, bergema dengan sisa-sisa emosi yang masih menggantung di udara.

“Kak Alessandro… aku tak menyangka kau sejahat ini…” Milea bergumam, suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan angin yang menyapu dedaunan.

Pandangannya pada Gio berubah drastis. Bayangan Gio yang dulu—pria jahat, kejam, dan licik— kini memudar, diganti oleh pemahaman yang baru tumbuh.

Ia mengerti, ia bisa merasakannya, jika dirinya berada di posisi Gio, mungkin ia akan melakukan hal yang sama. Rasa simpati, bahkan empati, mulai menggantikan rasa benci yang sebelumnya membara.

“Tapi… Berlin… apakah dia masih hidup? Atau… berhasil mengakhiri hidupnya?” Gumam Milea kembali, kali ini lebih lantang, mengungkapkan kerisauan yang mengakar dalam dirinya.

Ia tahu, Gio belum selesai bercerita. Cerita itu menggantung, menciptakan misteri yang mengusik pikirannya. Sebuah misteri yang harus dipecahkan.

Kesempatan untuk bertemu Alessandro, untuk menguak perlahan-lahan alasan di balik kepergiannya, tiba-tiba terasa begitu berharga.

Ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin, mencari kebenaran, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di udara.

Ia akan menggali masa lalu, memahami alasan di balik setiap luka yang tergores di hati Gio dan Berlin. Perlahan, misteri itu akan terungkap.

“Apakah… apakah kemarin… ketika aku mencoba mengakhiri hidup… apakah itu… mengingatkan Gio akan masa lalu Berlin yang mengakhiri hidupnya sendiri?” Milea bergumam, suaranya teredam oleh beban rasa bersalah yang begitu berat.

Kenangan akan kejadian kemarin, saat ia meluapkan emosinya dengan cara yang destruktif, menghantui pikirannya.

Ia menyadari, perilakunya telah membuka kembali luka lama Gio, mengungkit trauma yang selama ini berusaha disembunyikan.

Bayangan wajah Gio yang terluka kembali muncul di benaknya, mengancam untuk menenggelamkannya dalam rasa penyesalan yang mendalam.

“Maafkan aku, Gio…” Bisikannya nyaris tak terdengar, namun di dalamnya tersimpan penyesalan yang begitu dalam, sebuah permintaan maaf yang tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Kata-kata itu, walaupun sederhana, mengungkapkan beban yang telah lama membebani jiwanya.

*

*

*

Bayangan senja menari di balik tirai jendela paviliun itu. Gio melangkah masuk, langkahnya tenang namun diiringi debaran jantung yang tak menentu.

Di kamar sebelah, Dominic tertidur pulas, mungkin kelelahan setelah seharian bermain dengan para pelayan.

Namun, perhatian Gio tertuju pada Berlin, yang terbaring lemah di ranjangnya. Gisela, dengan mata yang sayu namun tetap teguh, menjaga di sisinya.

"Pemeriksaannya sudah selesai?" tanya Gio, suaranya lembut, berusaha meredam kekhawatiran yang menggelegak dalam dadanya.

"Sudah, Gio," jawab Gisela, senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Beri aku waktu berdua dengannya."

Gisela mengangguk, lalu keluar, meninggalkan Gio sendirian dengan Berlin. Berlin terbaring kaku, matanya yang kosong menatap langit-langit kamar, tubuhnya lunglai, seakan tak bernyawa.

Hanya kedipan mata yang sesekali terjadi, menjadi satu-satunya tanda bahwa ia masih hidup. Selimut putih menutupi tubuhnya yang kurus, seakan ingin menyembunyikan rapuhnya.

Gio mendekat, menggenggam tangan Berlin yang dingin. Sentuhan itu terasa begitu asing, begitu menyayat hati. "Berlin, ini aku," bisiknya, suaranya bergetar.

"Hari ini, aku sudah menceritakan semuanya pada Milea, adik Alessandro. Tapi... aku belum memberitahunya bahwa kau masih hidup. Bahwa kau...bahwa kau menderita cacat otak, hingga tak bisa merespon seperti ini. Aku... aku tak sanggup menceritakannya, Berlin." Air mata Gio jatuh membasahi punggung tangan Berlin.

Keheningan menyelimuti ruangan, hanya diiringi isak tangis Gio yang tertahan. Berlin tetap diam, matanya yang kosong seakan menatap kehampaan. Sebuah kehampaan yang begitu dalam, begitu menyedihkan.

"Apa yang harus kulakukan, Berlin?" Gio melanjutkan, suaranya terisak. "Aku berharap... berharap jika memang kau tak bisa lagi menggerakkan tubuhmu, setidaknya kau bisa berbicara, bisa mengingatku, bisa melihat anak mu berlin. Anak yang kini sudah tumbuh menjadi anak yang sangat pengertian, lucu, dan tampan."

Tangisnya pecah, tak terbendung lagi. Rasa putus asa dan kepedihan mencengkeram hatinya.

Di hadapannya, terbaring sosok yang sangat dicintainya, terkurung dalam tubuh yang tak berdaya, seakan terpisahkan oleh dinding tak kasat mata. Sebuah dinding yang hanya bisa ditembus oleh keajaiban.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan kasar. Dominic menerjang masuk, tubuh mungilnya langsung memeluk Gio dari belakang. Pelukan yang erat, penuh dengan kerinduan yang terpendam.

"Papah!" teriak Dominic, suaranya riang, menggema di ruangan yang sebelumnya dipenuhi kesedihan. Beberapa hari terakhir, Gio memang sibuk mengurus Milea di rumah sakit, meninggalkan Dominic yang merindukan perhatiannya.

Namun, pelukan itu, sekilas kegembiraan itu, menimbulkan rasa yang rumit di dada Gio. "Papah"... panggilan itu terasa janggal, menusuk hatinya.

Dia hanyalah paman Dominic, bukan ayahnya. Alessandro, ayah Dominic yang sebenarnya, lah yang berhak atas panggilan itu. Alessandro, pria yang telah meninggalkan Berlin, pria yang bertanggung jawab atas penderitaan Berlin yang kini terbaring lemah.

Ironisnya, Gio merasa Alessandro sama sekali tak pantas mendapatkan panggilan itu. "Pria bajingan," batin Gio, kata-kata itu terlontar dalam hati, mengungkapkan amarah dan kebencian yang terpendam.

Alessandro, dalam pandangan Gio, bukanlah seorang ayah, melainkan seorang pengecut yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya.

Pelukan Dominic yang penuh kasih sayang itu, justru semakin memperkuat rasa getir di hatinya. Dia memeluk Dominic, membalas pelukan itu dengan hati yang bercampur aduk antara kasih sayang dan kepedihan.

1
it's me NF
lanjut... 💪💪
Siti Hadijah
awalnya cukup bagus,, semoga terus bagus ke ujungnya ❤️
SelsaAulia: terimakasih kaka, support terus ya ☺️❤️
total 1 replies
Elaro Veyrin
aku mampir kak,karya pertama bagus banget dan rapi penulisannya
SelsaAulia: terimakasih kaka
total 1 replies
Surga Dunia
lanjuttt
Theodora
Lanjut thor!!
Surga Dunia
keren
Theodora
Haii author, aku mampir nih. Novelnya rapi enak dibaca.. aku udah subs dan like tiap chapternya. Ditunggu ya update2nya. Kalau berkenan mampir juga yuk di novelku.
Semangat terus kak 💪
SelsaAulia: makasih kakak udh mampir 🥰
total 1 replies
✧༺▓oadaingg ▓ ༻✧
karya pertama tapi penulis rapi bget
di tunggu back nya 🥰
SelsaAulia: aaaa.. terimakasih udah mampir☺️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!