"Dendam bukan jalan keluar. Tapi bagiku, itu satu-satunya jalan pulang"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Namun wajahnya tampak geram menatap seorang pemuda yang tak seharusnya berada di sana.
"Aji Mahendra…??!! Pendekar Pedang Naga, kah?!" serunya, matanya menatap tajam ke arah Datu Pengemis Nyawa. Raka tampak tak peduli dengan kehadiran beberapa tokoh asing yang belum dikenalnya, meski sempat terkejut saat melihat beberapa orang dari golongan putih juga hadir di sana. Tapi keterkejutannya segera ditepis baginya, semua yang ada di hadapannya sekarang adalah musuh.
"Ingat janji kalian... Jangan bermain keroyokan. Beri kami pertunjukan yang indah," celetuk si Nenek.
"Kalau pertunjukannya jelek dan curang, aku bakal mengamuk!" gerutu Bocah Setan Tua sambil cemberut.
"Aku ingin menjajal ilmu pemuda ini..." geram Biksu Tung Tung, lalu seketika melompat dari mulut gua di tebing setinggi tujuh depa orang dewasa.
Tubuhnya meluncur deras ke bawah, tertarik oleh berat badannya yang tambun. Biksu Tung Tung tampak seperti tak menguasai ilmu peringan tubuh hingga tubuhnya jatuh dengan kecepatan tinggi.
BUMMMMM!!
Tubuh itu menghantam tanah dengan keras, menimbulkan debu yang langsung bertebaran ke segala arah. Jika itu tubuh orang biasa, pasti sudah remuk seketika. Namun Biksu Tung tung jatuh dalam posisi tetap berdiri, meski kakinya sedikit terbenam di tanah menandakan betapa kuat tenaga dalamnya.
“Amitafa... Gelarmu sangat tinggi, anak muda. Membuatku penasaran akan kehebatanmu,” ucap Biksu Tung tung sambil melangkah perlahan meninggalkan titik jatuhnya, memikul gada besar di bahunya.
Raka membalas dengan memberi hormat yang sama, seperti yang dilakukan Biksu Tung tung. Ia pun pernah berguru pada seorang biksu dari Negara sebrang, yakni Biksu khong guan.
“Maaf, Biksu. Saya tidak ada urusan dengan Anda. Urusan saya hanya dengan Datuk Pengemis Nyawa. Tapi... jika Biksu memaksa, jangan salahkan saya jika terpaksa melawan,” kata Raka dengan nada tegas.
“Hahaha... Kesombonganmu setinggi langit, anak muda. Tapi aku ingin bukti!”
“Hiaaaaaaat!”
Begitu kata-katanya selesai, Biksu Tung tung langsung menghantamkan gadanya dengan deras. Raka sigap menghindar ke samping, lalu segera mengambil posisi kuda-kuda dengan Jurus Belalang Sembah tangan bertahan di depan, kaki ditekuk rendah. Melihat jumlah musuh yang ada, Rak tahu ia harus cermat mengatur tenaga agar tidak cepat kehabisan.
Tenaganya mulai terkuras, jadi Raka hanya menggunakan jurus-jurus silat biasa untuk menghemat energi.
Setelah serangan pertamanya tidak mengenai sasaran, Biksu Tung memutar gadanya, lalu melayangkan pukulan ke arah kepala. Raka segera mengangkat tangan kirinya untuk menahan serangan itu.
BUGGG!
Pukulan itu sangat kuat.
Namun, Raka berhasil menekuk tangan kanannya dan menghantam kepala sang biksu yang tak sempat memasang pertahanan.
BUGGG!
Biksu Tung sedikit oleng, sementara Raka terpental mundur dua langkah. Tangannya memerah karena benturan tadi. Untung dia sempat melindungi kepala kalau tidak, bisa saja tengkoraknya remuk.
Sementara itu, Biksu Tung tung tampak tak merasakan apa pun dari pukulan Raka. Dia bahkan menyeringai mengejek.
Meski tidak menggunakan jurus Peringan Tubuh, serangan sang biksu penuh dengan tenaga dalam, dan tubuhnya kebal terhadap pukulan. Pantas saja dia terkenal hebat. Hal itu justru membuat Raka semakin penasaran.
Biksu Tung Tung mencoba menyerang kembali dengan gadanya. Raka melompat ke bawah selangkangan lawannya, lalu bangkit dan segera mengirim tendangan ke arah punggung.
BUGGG!
Tubuh gemuk itu hanya tersurut satu langkah. Ia menoleh dan menyeringai tenang.
"Apakah hanya sampai di situ kehebatanmu, bocah?!" bentak Biksu Tung Tung, lalu kembali menyerang.
Raka semakin penasaran. Ia terus menghindar, tak berani menangkis langsung gada itu, dan sesekali membalas dengan serangan cepat. Jelas terlihat bahwa dalam hal kelincahan, Raka jauh lebih unggul. Serangannya bahkan sering mengenai sasaran, walau lawannya tampak tidak terpengaruh sama sekali.
Para tokoh yang menyaksikan pertarungan itu tersenyum geli.
"Apakah hanya segitu hebatnya orang yang berjuluk 'Pendekar Iblis' itu?" cibir Nenek Peniup Dupa.
"Ah... nggak seru. Rugi aku datang kemari," celetuk Bocah Setan Tua sambil tiduran di tanah dengan batu sebagai bantal, wajahnya tampak kecewa.
lanjut dong