Selama ini, Rambo mengutuk diri dalam kehidupan nikah paksa yang terjadi antaranya bersama Erin 3 bulan belakang. Sayang, tak ada ruang untuk Erin dalam kehidupan Rambo yang masih memendam cinta lama.
Hingga semua berubah ketika waktu mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati di masa lalu, Marwah.
Dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama telah menikah, Rambo yang tak bisa menahan rasa cintanya pada Marwah, akhirnya terjebak dalam konflik terlarang dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan ancaman yang semakin banyak, terutama pada Marwah yang sering mendapat kekerasan dari suaminya, juga Erin yang tak mau melepaskan Rambo, mampukah Rambo melindungi wanita yang dicintainya... Atau haruskah ia menerima hidup bersama Erin selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - Sikap yang Dulu
Rambo mematung, menggeleng kencang sampai rambutnya beterbangan di sekitar. Air bercipratan dari penghujung rambutnya setelah ia membasuh kepala di wastafel. Marwah sudah tidur, tapi Rambo masih belum berhenti berpikir.
Dia memandang wajahnya di cermin, ingin sekali rasanya ia mengatakan pada semua orang termasuk Anta Reza, "Aku sudah menemukan Marwah! Aku dan dia bahkan telah menjadi kekasih." Ucap Rambo dalam hati.
Ia masih ingat betul, bagaimana sahabat karibnya itu tahu perjuangannya mencari cinta. Tetapi, Anta Reza itu terlalu lurus, jika dia tahu tentang Marwah bahkan tentang perselingkuhan mereka tentu dia lah yang akan menentangnya dengan lantang.
"Haruskah aku minta tolong dia juga untuk menginap? Bagaimana ya, aku harus cari kandidat yang pas. Anta Reza sebenarnya bagus, tapi dia tidak boleh tahu tentang Marwah dulu." Ucap Rambo pelan.
Dan ketika ia melamunkan hal itu, ponselnya berdering. Telepon masuk dari Erin, istrinya. Ini hal yang bagus, Rambo tak perlu repot-repot lagi memikirkan cara untuk bisa kembali ke rumah. Setidaknya ini yang mungkin terjadi.
"Halo, Mas?" Ucap Erin dari kejauhan sana.
"Ya, aku di sini. Ada apa?"
"Mas, tolong kembalilah. Satu kali saja Mas, aku tidak mau kehilangan kamu. Aku sungguh minta maaf aku sangat menyesalinya."
Rambo diam sejenak, memikirkan kata yang tepat. Tidak membuatnya terkesan ingin pulang tapi juga tidak membuatnya kehilangan kesempatan.
"Aku sedang memikirkan arah. Aku tak tahu harus menjawab mu bagaimana, lagi pula aku juga salah karena mencari kenyamanan dari perempuan lain. Sebetulnya, aku kurang nyaman---" Jawab Rambo terbata-bata, atau sengaja terbata-bata.
"Aku paham Mas. Perempuan itu yang menggoda kamu, dia bukan perempuan baik-baik, karena itu ayo pulang Mas. Kita mulai lagi dari awal, hanya aku dan kamu."
Rambo kembali diam, menatap pada jalanan di luar lewat terobosan pintu depan sambil berjalan. Sejenak ia berhenti di depan pintu kamar Marwah, ditatapnya sekilas. Kemudian lanjut berjalan lagi.
"Mas? Kamu masih di situ kan? Kamu tolong jawab, pulang ya? Hanya kita berdua, tanpa siapa pun lagi." Erin mengulangi kata-katanya.
Langkah Rambo berhenti tepat ketika ia berada di luar rumah, ia mulai menghela napas, "Baiklah Rin, besok pagi sebelum berangkat kerja aku akan pulang ke rumah."
Ia menatap ke arah malam, langit membentang luas penuh bintang, lalu menghirup udara malam di rumah yang sepi dan jauh dari perkotaan. Rumah ini terlalu sempurna, apalagi ada Marwah di dalamnya, pikir Rambo.
"Tidak bisa malam ini, mas?" Ucap Erin lagi.
"Tidak, mataku pegal kalau harus berkendara sekarang. Aku istirahat dulu, kamu pun tidurlah. Besok pagi, saat kamu membuka mata, aku sudah ada di dekatmu."
Lelaki gondrong ini, selain pandai menyusun strategi, ia pun pandai berkata. Selain pandai membohongi orang, ia juga pandai membohongi diri sendiri.
Dan kata-kata Rambo barusan, jelas memberi angin segar pada Erin di jauh sana. Seperti mendapatkan kejayaannya lagi.
"Baik, Mas. Aku mengerti, kalau begitu kamu istirahat ya! aku juga mau tidur, biar besok pagi waktu ketemu kamu aku dalam kondisi yang baik, jangan lupa makan sayang. Selamat istirahat suamiku, sampai ketemu lagi besok."
Rambo kembali menatap langit begitu telepon itu diselesaikan dan menyadari seseorang telah berada di belakangnya, begitu dekat, namun bayangannya berada dalam keremangan.
"Kamu belum tidur, Om?"
"Kamu sendiri kenapa belum tidur?" Jawab Rambo, suaranya begitu lembut. Selembut desiran angin yang menyentuh kulit lehernya.
"Aku haus, jadi ambil air minum di dapur. Tapi waktu kembali ke kamar, aku lihat kamu di depan."
"Jadi kamu ke sini... "
"Ya." Jawab Marwah. Satu tatapannya melayang pada sosok Rambo yang ia kagumi, malam ini ia melihat sisi lain dari sosok Om gondrong yang konyol dulu. Ini kah Rambo yang sesungguhnya? Sosok yang serius dan selalu bisa diandalkan.
Tetapi di dalam mata Rambo itu, Marwah tak melihat perubahan, mata itu sama lembut dan tulusnya dengan yang dulu ia kenal.
Ingatan mengenai saat-saat mereka dulu begitu hidup. Ia masih dapat mendengar ketika mereka berselisih, saling adu argumen, saling mengejek, dan suara motor Rambo di waktu malam saat mengantarnya pulang ke rumah.
"Om, aku kesal."
Rambo mengernyit, ia tak mampu menyembunyikan ekspresi heran saat ini. "Kesal? Dengan siapa?"
"Aku kesal. Saat bertemu lagi denganmu setelah sekian lama dan melihat perubahan dalam dirimu 180 derajat, atau melihat Om dengan gaya bicara yang berbeda." Ucap Marwah.
Kata-kata dan tatapan Marwah itu menyadarkan Rambo akan sesuatu. Rambo tersenyum tipis, lalu berkata, "Aku juga pernah merasakan hal yang sama. Misalnya dengan air matamu itu, dulu aku nyaris tak pernah melihatnya walau hanya satu tetes. Tapi sekarang, gampang sekali keluar."
"Aku cengeng?"
"Ha ha, aku pernah dengar perempuan itu sebenarnya kuat, tapi saat di depan lelaki yang dia cintai dia akan menunjukkan sisi lemahnya agar lelaki itu akan melindungi dia, dan memeluknya untuk memberi ketenangan." Rambo menurunkan telapak tangannya di puncak kepala Marwah, lalu melanjutkan kata-katanya. "Itu berarti, saat ini kamu benar-benar mencintaiku."
Malam ini mengajarkan Rambo; bahwa cinta tak selamanya sempurna, cinta juga bisa menimbulkan luka dan berakhir sakit. Seperti dulu, saat ia kehilangan jati diri karena beban cinta yang membuatnya terjun ke dasar jurang. "Denganmu memang sulit, tapi bila tidak denganmu aku mati." Begitu Rambo menegaskan dalam hatinya.
Ketika fajar datang, setelah selesai sarapan bersama dengan Marwah. Rambo mulai menghidupkan mesin mobil, dan siap berangkat untuk kembali ke rumah pertama, tempat Erin.
Sialnya, Rambo merasa seperti seorang suami beristri dua. Pulang dari rumah istri muda, lalu pulang ke rumah istri tua. Ay, tapi itu tak akan terjadi... bagi Rambo, hanya boleh ada satu perempuan di hati seorang lelaki, itulah yang sepatutnya.
"Mas? Itu kamu?" Tiga kata pertama yang diterima Rambo setelah sampai di rumah. Erin baru bangun, hampir setengah jam setelah Rambo datang.
"Ya."
Rambo bergerak mendekat, keluar dari kegelapan ruang makan, dan melangkah di bawah siraman sinar lampu yang remang. Mata gelapnya bersinar dan Erin segera berlari menyambutnya lebih dekat.
"Sejak kapan? Kenapa tidak bangunkan aku?" Ucap Erin begitu sampai di dadanya, namun Rambo menghalangi pelukan itu dengan halus.
"Dari tadi, tapi aku tak enak bangunkan kamu."
Bibir Erin mengerucut tipis, lalu berkata, "Kamu mengatakannya seolah-olah kita se-asing itu. Kita kan sudah baikan, jangan terlalu canggung."
Rambo tersenyum, tapi lengkungan di mulutnya sama sekali tidak menunjukkan rasa humor atau perasaan dekat pada Erin. "Maaf, kamu tidak perlu berpikir kejauhan. Aku memang begini dari dulu."
Oh, Erin tahu itu. Dan ia tahu Rambo benar. Bagi Erin, sikap Rambo itu memang seperti biasa, kaku dan sempit. Tapi, ini malah memberikan Erin rasa tenang, ia yakin Rambo telah kembali pada sikapnya yang dulu. Sebelum berselingkuh dengan Marwah, pikir Erin.
"Syukurlah, kamu sudah kembali. Aku siap-siap kerja dulu ya. Kamu juga pasti sudah kesiangan, Kan? Jangan lupa sarapan ya, di kulkas ada susu, banyak! Ada roti juga, tinggal kamu oles selai saja. Aku mandi dulu, Mas!"
Erin berpikir saat itu, posisinya sudah aman. Ternyata bukanlah Rambo yang kembali seperti dulu, tapi Erin sendiri. Dia tidak berubah, semua yang dia katakan hanyalah janji basi. Erin mengatakannya cuma dari mulut, dan otaknya akan segera lupa setelah janji itu keluar.
"Maasssss!!!!!!" Satu teriakan keluar dari pintu kamar, Rambo mendongak ke lantai atas sambil mengernyit.
"Aku butuh air hangat untuk membasuh muka. Aku lupa tadi siapkan, aku kesiangan jadi tidak sempat. Tolong bantu panaskan air untukku, ya mas?! Kamu belum telat, kan?!" Begitu katanya.