Wulan Riyanti merebut suami adiknya lantaran dia diceraikan sang suami karena terlalu banyak menghamburkan uang perusahaan. Tia sebagai adik tidak tahu bahwa di balik sikap baik sang kakak ternyata ada niat buruk yaitu merebut suami Tia.
Tia tidak terima dan mengadukan semua pada kedua orangtuanya, akan tetapi alangkah terkejutnya Tia, karena dia bukan saudara seayah dengan Wulan. Orang tua Ita lebih membela Wulan dan mengijinkan Wulan menjadi istri kedua Ridho-suami Tia.
Rasa sakit dan kecewa Tia telan sendiri hingga akhirnya Tia memutuskan untuk bercerai dan hidup mandiri di luar kota. Suatu kebetulan dalam kesendiriannya Tia bertemu dengan sang mantan suami Wulan yang bernama Hans. Bagaimana kisah Cinta Tia dan Hans selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aryani Ningrum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27
Arfa menoleh ke arah Tia. Wanita yang menjadi cinta pertama untuknya. Terlintas di benak Arfa untuk menjadikan Tia sebagai ibu surogasi bagi anak-anaknya. Terlebih, Tia pernah berjanji akan mengabulkan semua permintaannya dulu semasa masih di bangku putih abu, saat Arfa berhasil mengalahkan Tia.
"Hai, sedang apa kau di sini?" tanya Tia dengan ramah.
"Ah, tidak sedang apa-apa. Hanya sedang menunggu bidadari cantik seperti dirimu," goda Arfa.
Tia mengernyitkan dahinya, Arfa yang dia ditemuinya tadi berbeda dengan Arfa yang sekarang.
"Iyakah? Aku takut jika istrimu dengar, dia akan marah kepadaku," balas Tia membuat Arfa tersenyum kecut.
"Hmm ... Tidak mungkin dia marah, istriku sama sekali tidak peduli denganku. Yang dia pedulikan hanyalah kariernya saja. Apalah artinya suami tanpa istri yang bisa diajak untuk berbagi rasa," kata Arfa sembari bertopang dagu.
Tia menghela napas dalam-dalam, dia pun duduk di samping Arfa. Dua orang yang sudah bersahabat semenjak dulu itu sama-sama terpekur mengingat nasib rumah tangga mereka yang begitu tragis.
"Tembem, apa kau masih ingat, kalau kau pernah berjanji untuk memenuhi semua permintaanku, jika aku bisa mengalahkan mu menjadi juara kelas?" Arfa menoleh ke arah Tia yang terkejut menatap Arfa.
Degh!
"Kau masih mengingatnya?" tanya Tia dengan mengerutkan alisnya.
"Tentu saja, kau masih berhutang padaku," ucap Arfa dengan senyum menyeringai.
Tia terpaku, tidak menyangka jika Arfa akan menagihnya juga.
"Bukankah itu hanya berlaku saat kita masih sekolah saja? Kau yang telah pergi begitu saja saat kutanya apa yang kau inginkan. Kau tidak lupa, bukan?" elak Tia.
Arfa menghela napas dalam-dalam, sebenarnya dia tidak berniat untuk menagihnya, namun desakan Susi membuat Arfa nekat.
"Benar, tapi janji itu adalah hutang. Kau harus tetap membayarnya. Kau tidak inginkan disebut sebagai pembohong? Tukang ingkar janji?" desak Arfa mengintimidasi Tia.
Glek!
Hati Tia merasa tidak enak, pastilah permintaan Arfa berat untuknya.
"Sesuai dengan yang aku katakan dulu, aku akan mengabulkan permintaan mu asal tidak melanggar hal yang dilarang agama dan merendahkan harga diriku. Sekarang apa permintaanmu," jawab Tia tegas.
Setelah mencuri dengar pembicaraan Arfa dan Istrinya tadi, Tia paham ke mana arah permintaan Arfa. Pasti Arfa akan meminta dirinya untuk menjadi ibu surogasi anaknya dengan Susi.
Glek!
Arfa menelan kasar ludahnya, dia lupa dengan kesepakatan akan hal yang bisa dikabulkan oleh Tia.
"Hmm ... Permintaanku tidak melanggar agama dan tidak merendahkan harga dirimu. Aku hanya ingin kau bersedia menikah denganku. Aku sangat mencintaimu Tia," ucap Arfa menunduk, dia sudah buntu dalam mencari wanita lain.
Deg ... Deg ....
Jantung Tia memompa dengan begitu cepat, darahnya berdesir. Wajah Tia sedikit memucat. Andai dulu sebelum bertemu Ridho, pinangan Arfa pasti akan diterimanya. Namun, kini walaupun Tia sudah menjadi janda, dia sudah dilamar oleh ibunya Hans.
"Bu ... Bukannya, kamu sudah memiliki istri, Arfa. Bagaimana dengan istrimu nanti," ucap Tia.
"Tia, kita bicarakan di kantin, yuk ... Tidak baik di sini, banyak pasien dan keluarganya yang akan melihat kita," ucap Arfa sambil berdiri membersihkan celananya.
Tia ikut berdiri, kemudian dia pun mengingat kalau meninggalkan Hans yang baru saja pindah ke kamar rawat.
"Arfa, maaf. Lain kali saja kit bicarakan lagi. Aku sudah ditunggu kak Hans," ucap Tia hendak berpamitan.
Arfa mengingat pasien yang dibawa oleh Tia. "Apakah Hans itu suamimu?" tanya Arfa dengan tatapan tidak senang. Dia lupa kalau Tia datang ke rumah sakit membawa sosok lelaki.
Tia melongo, untuk sepersekian detik kemudian tanpa sadar dia mengangguk begitu saja. Tanpa terucap kata, Arfa sudah tahu kalau anggukan Tia itu artinya adalah benar bahwa Hans adalah suami Tia.
"Benar, dia suamimu?" ulang Arfa dengan nada menyelidik.
Entah mendapat hasutan dari mana, Tia mengangguk lagi. Walaupun bibirnya masih terkunci untuk mengatakan jawabannya, tubuh Tia sudah mewakili.
"Sudahlah, lupakan permintaanku. Aku tidak ingin menjadi perusak rumah tangga orang. Beda jika kau sendiri, maka aku akan berjuang menjadikanmu milikku. Aku akan melepaskan Susi, dan mengejar dirimu. Maafkan aku, Tia. Aku tetap menunggu jandamu sampai kapanpun!" ucap Arfa tanpa menatap Tia, dia berlalu begitu saja dari hadapan Tia.
Tia yang masih diam terpaku, hanya menatap punggung lelaki yang baru saja menyatakan cinta untuknya. Seumur hidup Tia, baru pertama kali dia menerima pernyataan cinta dari laki-laki. Dulu sewaktu bersama Ridho, Tia hanya dijodohkan saja. Menerima begitu saja lamaran dari Ridho karena desakan dari ibunya.
"Arfa, mengapa kisah cinta kita begitu pahit. Andai dulu kau tidak pergi begitu saja, mungkin hidupku tidak akan sepedih ini. Menerima pengkhianatan dan perlakuan tidak adil dari orang -orang yang aku sayangi." Tia bergumam di dalam hatinya.
Dengan langkah gontai, Tia memilih kembali ke kamar Hans, niat untuk membeli makanan di kantin dia urungkan karena rasa lapar itu hilang begitu saja.
"Tia ..?" ucap Hans lemah memanggil Tia yang baru saja masuk ke ruangan Hans dirawat.
"Kak Hans? Kakak sudah siuman? Bagaimana keadaan kakak?" sahut Tia mendekat ke arah Hans.
"Sudah mendingan. Tia, apakah kau yang membawaku ke rumah sakit ini?" tanya Hans dengan nada yang masih lemah.
"Benar, Kak. Kami panik karena Kak Hans demam dan menggigil tidak karuan. Kami memutuskan untuk membawa ke rumah sakit," jawab Tia dengan senyum yang dipaksakan.
Hans menatap lekat wajah wanita yang ada di sampingnya itu. Ada gurat kesedihan di sana.
"Tia, jujur pada kakak. Apa yang sedang kau pikirkan. Mengapa wajahmu murung begitu?" Hans menatap lembut mata Tia.
Tia terdiam sejenak, dia bingung haruskah berkata jujur pada Hans atau tidak.
Apakah Tia akan jujur?
Bersambung...