Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar untukmu
Dokter Santoso berhenti sejenak, pulpen yang tadi ia gunakan untuk menandatangani rekam medis menggantung di udara. Keheningan koridor yang hanya diisi oleh dengung samar mesin pendingin terasa menebal di antara mereka. Ia melepas kacamatanya, menggosok pangkal hidungnya seolah mencoba menghapus kelelahan atau mungkin, keterkejutan.
“Maaf, bisa diulangi, Mas Angkasa?” tanyanya, suaranya kini kehilangan nada profesional yang datar, digantikan oleh kewaspadaan yang tulus.
“Pertanyaan saya sederhana, Dok,” ulang Angkasa, suaranya tetap tenang, nyaris tanpa emosi, yang justru membuatnya terdengar lebih mengerikan.
“Apakah scara medis ... Secara teori. Jantung saya, jantung seorang penderita Anemia Aplastik… apa bisa didonorkan kalau, katakanlah, saya mengalami kematian batang otak?” uang Angkasa dengan senyum tipis tanpa keraguan.
Dokter Santoso menatap pemuda di hadapannya. Wajah pucat, piyama rumah sakit yang kebesaran, dan mata yang menyorotkan ketenangan yang tidak wajar. Ini bukan pertanyaan dari pasien yang putus asa. Ini adalah pertanyaan dari seseorang yang sudah menemukan jawaban, dan kini hanya mencari justifikasi teknis.
“Mas Angkasa, pembicaraan ini… sedikit di luar prosedur,” kata dokter itu hati-hati, kembali memasang kacamatanya.
“Fokus kita sekarang seharusnya adalah rencana perawatan Anda. Transplantasi sumsum…”
“Fokus saya sudah berubah, Dok,” potong Angkasa lembut.
“Saya hanya butuh jawaban. Jantung saya sehat, kan? Penyakit ini menyerang sumsum tulang saya, bukan otot jantung saya kan?”
Dokter Santoso menghela napas panjang, menyadari ia tidak bisa menghindari pertanyaan ini.
“Secara teori… ya...." Dokter Santoso mengambil nafas dalam. Menjeda ucapannya sejenak.
"Anemia Aplastika tidak secara langsung merusak organ vital seperti jantung atau ginjal. Selama tidak ada komplikasi infeksi parah atau pendarahan yang merusak jaringan, organ tersebut bisa dianggap layak untuk transplantasi.” Ia berhenti, menatap Angkasa lekat-lekat.
“Tapi ini hanya teori. Praktiknya sangat kompleks dan melibatkan begitu banyak faktor etis dan medis. Kenapa Anda bertanya soal ini?”
Angkasa tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak mencapai matanya.
“Hanya penasaran, Dok. Terima kasih atas waktunya.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, ia membalikkan badan dan mendorong tiang infusnya kembali ke kamarnya, meninggalkan Dokter Santoso yang termangu di koridor sepi, merasakan firasat buruk yang dingin merayap di punggungnya.
Kembali di dalam kamar, Angkasa menatap tirai yang memisahkan ranjangnya dengan Gilang. Suara desis ventilator yang teratur terdengar seperti detak waktu yang dipaksakan. Keputusannya sudah bulat. Gagasan yang tadinya hanya percikan liar kini telah menjadi api yang membakar habis semua keraguan dan ketakutannya. Ia akan memberikan sayap itu pada Gilang.
Namun, sebelum ia bisa memberikan masa depan pada orang lain, ada satu hal yang harus ia selesaikan. Ia harus memotong tali terakhir yang mengikatnya pada masa lalu. Sebuah luka yang harus ditutup, bukan untuk disembuhkan, tetapi agar tidak lagi menganga dan mengotori niat sucinya.
Laras.
Ia meraih ponselnya, mencari kontak lama yang sudah bertahun-tahun tidak ia hubungi. Bu Ratna, kepala panti asuhan yang sudah pensiun. Setelah dering ketiga, suara serak seorang wanita tua menjawab.
“Halo, Bu Ratna? Ini Angkasa.”
Ada jeda hening sejenak, lalu suara di seberang terdengar terkejut dan hangat.
“Angkasa? Ya ampun, Nak. Apa kabarmu? Sudah lama sekali.”
“Saya baik, Bu. Maaf mengganggu malam-malam,” kata Angkasa, langsung ke inti pembicaraan.
“Saya butuh sesuatu. Ibu masih simpan data lama, kan? Saya… saya butuh alamat atau kontak ibu saya. Laras.”
Keheningan kembali menyapa, kali ini lebih berat. Angkasa bisa membayangkan kerutan di dahi wanita tua itu.
“Kamu yakin, Sa? Setelah sekian lama?”
“Saya sangat yakin, Bu. Ini penting,” jawabnya, nadanya tidak menyisakan ruang untuk perdebatan.
“Saya tidak akan mengganggunya. Saya hanya perlu mengirim sesuatu,” tegas Angkasa.
.
.
.
.
Dua hari kemudian, selembar kertas surat murah dan sebuah amplop putih tergeletak di atas nakas Angkasa. Ia meminjam pulpen dari Lila pagi tadi, dengan alasan ingin mencatat sesuatu. Ia menunggu hingga Lila pergi untuk mengambil jatah makan siang dan Gilang tertidur karena efek obat penenang.
Tangannya sedikit gemetar saat mulai menulis. Bukan karena penyakitnya, tetapi karena beban dari delapan belas tahun keheningan yang akan ia tuangkan ke dalam beberapa baris kalimat.
Untuk Ibu Laras,
Ia berhenti. Panggilan ‘Ibu’ terasa asing dan kaku di ujung penanya. Ia menarik napas, lalu melanjutkan.
Aku harap surat ini sampai pada Ibu dalam keadaan baik. Mungkin Ibu terkejut menerima surat ini. Namaku Angkasa. Aku tidak tahu apakah Ibu masih mengingatku.
Aku tidak menulis untuk meminta apa pun. Tidak uang, tidak perhatian, tidak juga penjelasan. Aku hanya merasa, setelah sekian lama, ada satu hal yang perlu Ibu tahu. Mungkin ini tidak penting bagi Ibu, tapi ini adalah penutup dari cerita yang pernah kita mulai bersama di gerbang panti asuhan delapan belas tahun yang lalu.
Aku sakit, Bu. Aku didiagnosis menderita Anemia Aplastik. Penyakit yang sama seperti yang merenggut nyawa Ayah.
Jari-jarinya berhenti bergerak. Ia menatap kalimat terakhir itu. Sebuah fakta telanjang, tanpa permohonan, tanpa tuduhan. Hanya sebuah informasi. Sebuah gema dari masa lalu yang ia kirimkan ke masa depan ibunya.
Aku akan berjuang dengan caraku sendiri. Tolong jangan khawatir. Anggap saja surat ini sebagai kabar terakhir dariku. Aku harap Ibu dan keluarga baru Ibu selalu bahagia.
Hormatku,
Angkasa.
Ia melipat surat itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop, dan menuliskan alamat sebuah griya mewah di kawasan elit Jakarta Selatan yang diberikan oleh Bu Ratna. Ia menitipkan surat itu pada salah satu petugas kebersihan rumah sakit, memberinya sedikit uang untuk membeli prangko dan mengirimkannya.
Saat amplop itu meninggalkan tangannya, ia merasakan beban yang begitu berat terangkat dari pundaknya. Ia sudah berdamai.
.
.
.
.
.
.
Di sebuah apartemen penthouse dengan pemandangan cakrawala kota, Laras sedang menata syal sutranya di depan cermin. Aroma parfum Baccarat Rouge menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih gading dan emas.
“Sayang, kamu yakin tidak apa-apa aku tinggal ke Singapura tiga hari?” Suara suaminya, Bima, terdengar dari ruang tengah.
“Tentu saja, Mas. Urusan bisnis lebih penting,” jawab Laras, suaranya terdengar manis dan tenang.
“Lagipula aku juga sibuk menyiapkan acara penggalangan dana untuk yayasan. Jadwalku padat sekali minggu ini.”
Seorang asisten rumah tangga masuk, membawa nampan perak berisi segelas jus dan setumpuk surat.
“Ini surat untuk Nyonya.”
“Letakkan saja di meja, Bi,” kata Laras tanpa menoleh.
Ia menyemprotkan sedikit lagi parfum ke pergelangan tangannya, puas dengan penampilannya. Sosialita yang sempurna, istri pengusaha yang berbakti, filantropis yang dermawan. Semua peran itu ia mainkan dengan begitu apik hingga terkadang ia lupa siapa dirinya di balik topeng itu.
Sambil menunggu suaminya siap, ia duduk di sofa dan mulai memilah surat-suratnya. Undangan pesta, tagihan kartu kredit, katalog perhiasan. Rutinitas yang membosankan. Lalu, matanya menangkap sebuah amplop putih sederhana yang tampak salah tempat di antara kemewahan itu. Tidak ada kop surat, hanya tulisan tangan yang sedikit miring dan prangko biasa. Alamat pengirimnya hanya mencantumkan nama sebuah rumah sakit umum.
Karena penasaran, ia membukanya terlebih dahulu.
Ia membaca kalimat pertama dengan kening berkerut.
Angkasa.
Nama itu. Sebuah bisikan dari masa lalu yang terkubur begitu dalam hingga ia pikir sudah menjadi fosil. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
Ia membaca surat itu dengan cepat, matanya melompati baris-baris kalimat dengan tidak sabar, seolah ingin segera sampai di akhir dan menyingkirkan gangguan ini. Pikirannya sudah melayang pada desain gaun untuk acara yayasan dan reservasi restoran untuk akhir pekan.
Lalu, matanya terpaku pada satu baris kalimat.
Aku sakit, Bu. Aku didiagnosis menderita Anemia Aplastik.
Dunia Laras berhenti berputar. Suara denting lift di luar, suara suaminya yang memanggil dari kamar, dering ponsel asistennya—semua suara itu memudar menjadi dengung tak berarti.
Anemia Aplastik.
Dua kata itu seperti kunci yang membuka sebuah ruang bawah tanah di benaknya, sebuah ruang gelap dan pengap yang telah ia segel rapat-rapat selama hampir dua dekade. Ruang yang berbau disinfektan, dipenuhi suara tangis tertahan, dan bayangan seorang pria yang tubuhnya digerogoti oleh penyakit yang sama persis.
Gelas kristal berisi jus jeruk di meja sampingnya terlepas dari genggamannya yang tiba-tiba lemas, jatuh dan pecah berderai di lantai marmer yang dingin.
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras