NovelToon NovelToon
Dia Dan 14 Tahun Lalu

Dia Dan 14 Tahun Lalu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers / Cintapertama / Romantis / Romansa / TimeTravel
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Spam Pink

ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 26

Malam semakin larut ketika Reymon berdiri sendirian di taman belakang kampus. Angin lembut berhembus, namun tidak cukup untuk menurunkan ketegangan yang masih mengendap di dadanya. Pertemuan dengan Ares memang telah selesai—tapi Reymon tahu, itu baru awal dari semua yang harus ia lakukan untuk membuat Clara akhirnya merasa aman.

Ia mengucek wajahnya, menarik napas panjang.

“Sekarang tinggal Clara.”

Ia ingin menemuinya. Memeluknya. Meyakinkannya bahwa semua sudah lewat.

Tapi ia juga ingat suara Clara tadi—ketakutan, panik, dan tangisannya yang membuat Reymon merasa dadanya seperti diremas.

“Aku nggak mau kamu apa-apa.”

Itu yang Clara bilang.

Jadi Reymon memutuskan untuk tidak mendatangi rumah Clara sekarang. Tidak malam ini. Ia ingin Clara istirahat, menenangkan diri, dan merasa aman dulu bersama Dinda.

Reymon memutuskan kembali ke penginapan kecil yang ia pesan. Namun begitu ia menginjak trotoar jalanan kota, sesuatu bergetar di kantongnya.

HP Dinda.

Satu pesan masuk.

Dari Clara.

Clara:

Rey… kamu di mana?

Reymon menghentikan langkahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia mengetik pelan.

Rey:

Masih di kota kamu. Kenapa belum tidur?

Pesan balasan masuk hampir seketika, seolah Clara sudah menunggu.

Clara:

Din udah tidur… aku nggak bisa tidur…

Rey, please… kamu bisa datang?

Reymon menutup mata.

Clara memintanya.

Clara yang selalu takut membebani.

Clara yang selalu menahan semua sendiri.

Clara yang jarang sekali meminta sesuatu padanya.

Dan malam ini… Clara meminta Reymon datang.

Reymon menelan ludah. Ia tahu apa pun alasannya, dia harus datang.

Rey:

Tunggu aku. Aku jalan sekarang.

Rumah Dinda – Clara yang Menunggu dengan Tangan Gemetar

Clara duduk di ujung sofa kecil ruang tamu rumah Dinda. Lampu temaram membuat bayangan wajahnya tampak semakin sayu. Pipinya yang masih merah bekas tamparan terasa perih setiap kali disentuh angin.

Tapi yang paling sakit bukan itu.

Yang paling sakit adalah rasa takutnya sendiri—yang masih menempel kuat, menyesakkan di dada.

Tiba-tiba pintu diketuk pelan.

Tok.

Tok.

Clara langsung berdiri. Tangannya gemetar lagi. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah kecil. Ketika ia membukanya…

Reymon.

Berdiri di sana dengan hoodie gelap, rambut sedikit berantakan, wajah tegang namun lembut ketika melihatnya.

“Clar…”

Dan Clara tidak berpikir apa-apa.

Ia melompat ke arah Reymon dan memeluknya.

Erat.

Sangat erat.

Pelukan yang bukan hanya karena rindu—tapi karena hancur, takut, dan butuh tempat pulang.

Reymon terkejut satu detik—hanya satu detik—lalu kedua lengannya langsung membungkus tubuh Clara, menempel erat seolah ia takut Clara hilang lagi.

“Clar… hey… aku di sini…” bisiknya.

Clara menangis lagi. Namun tangisnya kali ini berbeda… bukan panik, bukan ketakutan—tapi lega.

Sangat lega.

Ia menyerukan nama Reymon berulang kali—pelan, terisak, tetapi seolah itu satu-satunya nama yang bisa menyelamatkannya.

“Rey… Rey… aku takut banget…”

Reymon mengusap belakang kepala Clara dengan lembut. “Aku tahu… aku tahu. Sini… sini sama aku.”

Mereka masih berdiri di pintu—Clara memeluk pinggang Reymon, wajahnya tertanam di dadanya, sementara Reymon mengusap punggungnya berulang-ulang.

“Dia udah selesai, Clar,” ucap Reymon tanpa melepaskan pelukannya. “Dia nggak bakal ganggu kamu lagi.”

Clara menangis lebih pelan.

“Makasih…” bisiknya. “Makasih udah datang…”

“Selalu.”

Reymon mengecup pucuk kepala Clara. Lembut. Hangat. Spontan.

Clara meremas hoodie Reymon.

“Boleh aku—boleh aku peluk kamu begini aja dulu…?” Clara bertanya pelan, suara hampir tak terdengar.

Reymon tersenyum kecil. “Peluk aku seberapa lama pun kamu mau.”

“Kamu Pasti Lapar, Clar.”

Setelah beberapa menit, Reymon akhirnya membawa Clara masuk ke ruang tamu. Mereka duduk berdua di sofa. Reymon duduk dekat—tidak terlalu dekat, tapi cukup dekat agar Clara merasa aman.

Clara menunduk, menyeka air matanya. “Rey… makasih udah bela aku…”

Reymon menatap wajah Clara yang sembab. Ada bekas air mata di pipi, ada sedikit memar tipis dari tamparan tadi, dan itu membuat Reymon menggenggam lututnya sendiri untuk menahan marah yang kembali naik.

Clara menangkap itu.

“Jangan marah lagi…” katanya lirih.

Reymon memaksa tersenyum. “Aku nggak marah, kok.”

“Kamu marah.. karena aku nggak cerita dari awal…”

Reymon menatapnya lama. “Aku cuma takut kamu harus ngelewatin itu sendirian.”

Clara menghela napas, menggigit bibir. “Aku malu…”

“Jangan pernah malu cerita sama aku.”

Clara menunduk. “Aku… kamu tau sendiri… aku nggak kuat kalau orang marah sama aku… aku takut…”

Reymon mengulurkan tangan, memegang pelan jemari Clara yang pucat. “Aku nggak bakal marah sama kamu.”

Clara menatap Reymon. Lama. Dalam.

“Benar?”

Reymon mengangguk. “Satu-satunya hal yang bikin aku marah cuma satu…”

Clara mengernyit. “Apa?”

“Orang lain yang bikin kamu nangis.”

Clara menggigit bibir lagi, menahan tangis yang hampir jatuh—tapi kali ini bukan tangis sedih, tapi sesuatu yang hangat.

Reymon melihat tangan Clara yang gemetar.

“Kamu udah makan?” tanya Reymon lembut.

Clara menggeleng.

“Harusnya kamu makan.”

“Aku… nggak selera…”

Reymon berdiri. “Tunggu sini.”

Ia masuk dapur, menggeledah kulkas kecil milik Dinda, dan menemukan roti, telur, mentega.

Clara mengintip dari sofa. “Kamu ngapain?”

“Masakin kamu,” jawab Reymon sambil mengaduk telur.

“Rey…” Clara tersenyum kecil untuk pertama kalinya malam itu. “Kamu… kamu nggak perlu…”

“Aku mau.”

Clara terdiam.

Ada sesuatu yang hangat menyelimuti dadanya—perasaan yang selama ini dia tahan, dia kubur, dia takutkan… tapi Reymon memecahkan semuanya hanya dengan satu kalimat sederhana itu.

Beberapa menit kemudian, Reymon keluar membawa sepiring roti telur dan segelas teh hangat.

“Ini bukan enak-enak banget, tapi harusnya cukup bikin kamu nggak pingsan.”

Clara terkekeh kecil. “Kenapa lucu banget sih kamu…”

Reymon tersentak kecil. “Aku lucu?”

Clara langsung panik. “Enggak! Maksudnya—bukan lucu—maksudnya kamu… ya ampun… Rey…”

Reymon tertawa kecil. “Makan sana.”

Clara makan perlahan sambil diperhatikan Reymon. Dan untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan… ia merasa aman.

Setelah makan, Clara merebahkan diri di sofa, memeluk bantal. Wajahnya jauh lebih tenang.

Reymon duduk di karpet di depannya. “Kamu ngantuk?”

“Sedikit…” gumam Clara. “Tapi aku nggak mau tidur kalau kamu nggak di sini.”

Reymon kaget kecil. “Aku di sini kok.”

Clara membuka mata, menatap Reymon. “Duduk sini dekat aku?”

Reymon pindah ke sofa tanpa ragu.

Clara spontan bersandar ke bahu Reymon.

Ia mendekat lebih dalam.

Reymon tidak bergerak. Takut gerakannya membuat Clara menjauh. Tapi ketika Clara menggenggam lengan Reymon dan meletakkan kepalanya di dada Reymon—

Reymon akhirnya mengangkat tangan dan memeluknya pelan.

“Ini nyaman…” Clara berbisik.

“Hm?”

“Deket kamu…”

Reymon menelan ludah. “Aku senang kamu nyaman.”

Clara mengusap dada Reymon dengan ujung jari—gerakan kecil, pelan, tapi membuat Reymon hampir kehilangan napas.

“Rey…”

“Hm?”

“Boleh aku nanya sesuatu?”

“Tanya aja.”

Clara mengangkat wajahnya sedikit, menatap mata Reymon dari dekat.

“Sampai kapan… kamu mau jagain aku?”

Reymon memegang wajah Clara dengan lembut—sangat lembut, berbeda jauh dengan tangan Ares tadi.

“Sampai kamu nggak mau dijagain lagi.”

Clara tertegun.

Lalu ia berbisik pelan, nyaris seperti pengakuan.

“Kalau aku mau dijagain selamanya… boleh?”

Reymon tercengang.

Clara menatap dengan mata berkaca-kaca, tapi tersenyum kecil. “Aku serius, Rey… aku… aku lelah sendirian. Dan kamu selalu ada buat aku…”

Reymon memegang pipi Clara—dua tangannya—mengusap memar kecil di sana dengan ibu jarinya.

“Clara…”

“Hm…”

“Aku sayang kamu.”

Clara menghirup napas cepat—kejut, tapi bahagia.

“Aku… aku juga…”

Clara memejam mata. “…aku sayang kamu, Rey…”

Clara masih bersandar di dada Reymon, napasnya mulai teratur, meski sesekali tubuhnya bergetar kecil akibat sisa-sisa emosi yang belum hilang. Reymon mengusap lengannya dengan lembut, berusaha memberi ketenangan tanpa satu kata pun.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang nyaman.

Sampai akhirnya Clara mengangkat wajahnya perlahan.

Matanya bertemu dengan mata Reymon.

Dekat.

Sangat dekat.

Reymon menelan ludah, terkejut oleh tatapan Clara yang mendadak begitu lembut… tapi juga penuh sesuatu yang selama ini ditahan.

“Rey…” Clara berbisik.

“Hm?” Reymon menjawab pelan, takut suara keras sedikit saja bisa membuat Clara kembali rapuh.

“Aku boleh… sesuatu?”

Reymon mengernyit tipis. “Sebutin aja, Clar.”

Clara memandang bibir Reymon sebentar, lalu kembali menatap matanya.

“Aku boleh… nyium kamu?”

Reymon terdiam.

Napasnya tersekat.

Dan sebelum ia sempat menjawab apa pun—Clara sudah bergerak.

Pelan.

Ragu.

Tapi penuh perasaan.

Ia mendekatkan wajahnya… semakin dekat… sampai Reymon bisa merasakan hangat napas Clara di bibirnya.

Dan Clara mencium Reymon.

Lembut.

Hati-hati.

Penuh rasa takut akan ditolak… dan penuh rasa sayang yang tidak terbendung lagi.

Reymon membeku.

Ia tidak bergerak.

Tidak menarik diri.

Tidak membalas.

Clara menutup mata rapat, jantungnya berdetak begitu keras sampai ia merasa seluruh tubuhnya bergetar.

Ciuman itu hanya beberapa detik…

Tapi bagi Clara, rasanya seperti seluruh dunia berhenti.

Ketika ia menarik diri—perlahan, malu, dan sedikit gemetar—Clara langsung menunduk.

“S… sorry…” ucapnya terbata. “Aku… kebawa suasana… maaf kalo—”

Namun Clara tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Karena tiba-tiba…

Reymon memegang wajahnya.

Dengan kedua tangan.

Lalu menarik Clara kembali.

Tanpa ragu.

Tanpa berpikir.

Tanpa jeda.

Dan Reymon mencium Clara.

Dalam.

Hangat.

Penuh cinta yang selama ini ia tahan.

Clara terkejut sejenak—napasnya tersedak kecil—tapi tangannya langsung naik memegang hoodie Reymon, menariknya lebih dekat. Reymon membalas dengan lembut, seolah ia mengungkapkan semua hal yang tidak pernah ia ucapkan dengan kata-kata.

Ciuman itu tidak tergesa.

Tidak liar.

Tidak terburu-buru.

Justru perlahan… seakan setiap detik adalah sesuatu yang Reymon ingin ingat selamanya.

Clara merasakan seluruh tubuhnya melemah dalam pelukan itu, seakan semua ketakutan dan luka di hari-hari yang lalu berubah menjadi sesuatu yang hangat dan aman.

Setelah beberapa detik, mereka berdua melepaskan diri—napas tersengal, wajah memerah, dan mata sama-sama berkilat.

“Rey…” Clara berbisik.

Reymon menempelkan keningnya ke kening Clara.

“Aku diam tadi bukan karena nggak mau…” ucap Reymon pelan, suaranya bergetar. “Tapi karena aku nggak percaya kamu beneran nyium aku.”

Clara tertawa kecil, masih terengah.

“Terus… yang barusan itu…?”

Reymon mengusap pipi Clara yang masih memerah.

“Kebodohan aku kalau nggak balas.”

Clara tersenyum.

BERSAMBUNG......

1
mindie
lanjut dong author ceritanya, ga sabar part selanjutnya
mindie
AAAAAA saltinggg bacanya😍😍🤭
Caramellmnisss: terimakasih kak☺️
total 1 replies
mindie
layak di rekomendasikan
Charolina Lina
novel ini bagus banget 👍🏻
Caramellmnisss: terimakasih kak😍🙏
total 1 replies
mindie
baguss bngt tidak sabar menenunggu updatetanny author🤩
Caramellmnisss
kami update tiap malam yah kak, jangan ketinggalan setiap eps nya yah☺️
Miu miu
Jangan lupa terus update ya, author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!