Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Dan Benjamin berhasil membuat Clarissa berada dalam genggamannya. Ia pikir waktu dua tahun dalam kontrak tersebut bisa membuat Clarissa menyatakan cinta padanya dan membuat pernikahan ini menjadi sungguhan tetapi dalam kurun waktu tersebut tak ada perubahan sama sekali.
Jadi pada akhirnya ia mengoperasikan pilihan terakhir yang sangat beresiko ini, berpura-pura amnesia.
Tapi Benjamin sungguh sangat tidak mengerti, mengapa Clarissa tidak jatuh cinta padanya kembali seperti saat kecil. Kalau secara logika dia sekarang sudah lebih dari cukup di banding saat kecil. Lalu apa alasan istrinya bisa jatuh cinta padanya saat kecil tetapi tak bisa merasakan perasaan yang sama saat dewasa!
Yang lebih mengherankan sepertinya istrinya kini jatuh cinta padanya tapi saat Benjamin dalam keadaan amnesia. Apa perbedaannya? Apa yang membuat istrinya langsung tersipu saat di goda olehnya sekarang di banding dengan dulu!
Kalau begini ia benar-benar harus menjalankan sandiwara ini selama seumur hidup. Tentu sifat yang dia tunjukan dalam sandiwara ini bukan kebohongan, tapi Benjamin masih tidak tahu apa yang membuatnya berpikiran negatif.
''Kenapa? Ben kalau tidak mau, ya tidak usah bekerja. Atau saat di kantor nanti, saat rapat kamu jawab dengan anggukan saja atau iya.'' Clarissa dan Ben sedari tadi berdiri di ambang pintu ruang kerja dan Ben juga sudah memegang erat pegangan pintu ruangan tersebut. Namun Ben melamun, Clarissa pikir ini karena masalah pekerjaan. Dia kan harus bekerja besok.
Mana boleh begitu, bisa-bisa perusahaan milik keluarganya hancur total. Kalau itu terjadi Ben tak bisa membelikan apapun untuk istrinya. Ia akan membuat Clarissa sengsara, tak bisa makan enak,tak bisa tidur di tempat yang nyaman dan masih banyak lagi yang mungkin akan terjadi kalau perusahaannya bangkrut. Walau ia benci bekerja tapi setidaknya kegiatan itu menghasilkan keuntungan.
''Tidak, aku tidak apa-apa. Hanya saja aku sedikit haus.'' Benjamin berpura-pura ingin meminum air, ia ingin melihat apakah ada barang terlarang di ruangan miliknya. Jangan tanya barang apa itu, intinya bukan sesuatu yang bisa mendatangkan petugas polisi kemari.
''Oh kalau begitu aku ambilkan air untukmu, kamu mau apa lagi? Sekalian aku ambil dari lantai bawah.'' Clarissa berpikir untuk membawa buah-buahan, cemilan atau makanan lain agar Ben bisa sedikit menenangkan pikirannya dari pekerjaan. Ia tak mau suaminya sampai sakit apalagi di bagian kepala, ia sungguh tak mau Ben menderita.
''Hm mungkin anggur, bawa juga makanan yang kamu inginkan. Aku ingin kamu menemaniku di sini.'' Bukankah tempat ini juga bagus untuk bermesraan, setidaknya bisa membuat Ben tak lagi berpikir kalau ruang kerja sangat membosankan dan membuat suasana hati menurun.
Clarissa menuruni tangga perlahan, Ben segera masuk ke ruangan itu. Ia mencari sesuatu di sana, di nakas dan rak buku maupun dokumen. Untungnya ia langsung menemukannya, ia memegang sebuah dokumen pembelian restoran dan foto-foto Clarissa. Ia tak mau Clarissa curiga bahwa dirinya sudah mengamatinya sedari dulu.
Sesungguhnya ini tindakan kriminal dan Benjamin tahu itu, mau bagaimana lagi karena sudah ia lakukan hal seperti sasaeng atau stalker itu maka kalau Clarissa ingin memenjarakannya. Benjamin tak keberatan, hanya saja jangan sekarang.
Benjamin membuka laci di meja kerja yang sudah terletak komputer di atasnya, ia membuka tempat lain dari lacinya namun terkaget-kaget saat tak melihat dokumen perjanjian pernikahan kontrak miliknya.
''Tidak mungkin, jangan-jangan.'' Benjamin tak menghiraukan dokumen itu lagi, suara langkah kaki istrinya kian terdengar semakin mendekat. Ia harus menyembunyikan barang-barang di tangannya ini.
''Sial, di mana aku harus menyembunyikan ini.'' Tempat yang paling rahasia di ruangan itu sudah ketahuan oleh istrinya maka ia harus mencari tempat lain.
Benjamin kemudian mendorong rak buku sedikit, ia lalu memasukan dokumen beserta foto-foto itu ke belakang rak tadi lalu mendorong kembali ke tempat semula agar menutupi barang itu. ''Setidaknya tempat ini aman.''
Benjamin duduk di kursi kerja dan berpura-pura sedang mencari sesuatu. Clarissa sudah masuk ke ruangan, ia meletakan makanan dan air yang dia bawa di meja yang lain yang agak berjauhan dengan tempat Benjamin berada. Clarissa berdiri diam, ia tak tahu harus melakukan apa. Sepertinya tak ada yang bisa dia batu di sini.
''Bukankah kamu haus,'' Clarissa hampir melupakan hal ini. Suaminya kan ingin meminum air.
''Benar juga, aku sangat kehausan.'' Benjamin mendekati tempat Clarissa berada. ''Duduk, lihatlah keringatku bahkan sampai terlihat.'' Benjamin maupun Clarissa duduk di kursi dekat meja tadi, suaminya menunjukan keringat yang memang ada dan terlihat agak banyak.
''Apa kamu tadi mengangkat rak yang ada di sini?'' Clarissa bertanya tanpa berpikir dahulu, memang terlihat seperti Ben sudah melakukan pekerjaan yang agak berat di sini seperti mengangkat barang besar yang ada di sini misalnya.
''Uhuk... Uhuk..'' Benjamin tak sengaja tersedak air yang sedang ia minum, istrinya tahu? Secepat ini?
''Mana mungkin, hahaha.'' Benjamin tertawa kaku, ia mencoba bersikap biasa saja agar istrinya tak curiga.
Clarissa pun ikut tersenyum, membalas tawa yang terdengar di paksakan itu. Ia sama sekali tak curiga, lagipula untuk apa suaminya melakukan itu.
''Bagaimana dengan barang yang Alan bawa? Kamu sudah membukanya? Kamu tidak merasa sakit kan? Misalnya sakit kepala!'' Clarissa kembali ke topik utama, tentang pekerjaan.
''Ah belum,'' Benjamin sampai lupa tentang itu, sepertinya ia terlalu cemas tentang pernikahan ini.
''Ini dia,'' Benjamin melihat tas hitam yang di beri sekretarisnya ada di kursi tak jauh dari tempat dia duduk.
Clarissa melihat terus ke arah Benjamin, ia cemas kalau suaminya sampai sakit kepala saat membaca dokumen ini.
''Kamu penasaran?'' Benjamin sudah menyadari istrinya memperhatikan tas di tangannya. ''Mendekat lah,'' dia menepuk kusi di sampingnya yang kosong.
Clarissa agak ragu sebentar tetapi segera duduk di sana, ia tak mau terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya.
Benjamin membuka tas dan ada tiga dokumen yang sudah ia keluarkan dari sana. ''Sepertinya ini hanya dokumen kontrak perusahaan dengan investor dan beberapa aktor-aktris maupun model.''
Clarissa tampak sangat fokus, ia memang takut juga kalau Ben sampai ingat tentang model perempuan bernama Isabella itu.
Benjamin memandangi istrinya yang sedari tadi fokus membalik lembar dokumen di tangannya, ia sangat penasaran dengan bibir mungil istrinya itu. Terlihat sangat lembut bila di perhatikan dari jarak sedekat ini.
Clarissa menyadari suaminya kini berfokus padanya, ''emmm kenapa?'' Ia menjadi gugup karena Benjamin tak menjawab pertanyaannya.
Kini Benjamin malah semakin mendekatkan wajahnya, apakah kali ini ia akan berhasil mencium istrinya?
''Ben,'' Clarissa bersuara kembali. Ia merasa suaminya benar-benar akan menciumnya, ''kamu harus melihat dokumen.'' Ia tak mau melakukan itu, Clarissa masih belum siap.
To be continue....